Pewarisan Menurut KUH Perdata: Berdasarkan Surat Wasiat

PERDATA

Insyirah Fatihah Hidayat

7/11/20253 min read

Pendahuluan

Pada hakikatnya, hukum pewarisan dalam KUH Perdata mengenal dua cara untuk memperoleh warisan. Pertama adalah pewarisan berdasarkan undang-undang atau disebut juga dengan ab intestato. Cara kedua, yang menjadi fokus utama artikel ini, adalah pewarisan berdasarkan surat wasiat atau testament. Menurut Pasal 875 KUH Perdata, wasiat adalah "sebuah akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya". Melalui wasiat, pewaris diberikan keleluasaan untuk menyimpangi aturan pewarisan menurut undang-undang, misalnya dengan menunjuk orang lain di luar ahli waris sebagai penerima warisan atau memberikan bagian yang berbeda dari yang seharusnya diterima menurut hukum.

Pembahasan

Untuk dapat dianggap sah dan memiliki kekuatan hukum, pembuatan surat wasiat harus memenuhi serangkaian syarat yang telah diatur secara rinci dalam KUH Perdata. Syarat syarat ini dapat diklasifikasikan menjadi syarat bagi si pembuat wasiat (testator) dan syarat formal terkait bentuk wasiat itu sendiri.

Syarat Sah Pembuatan Wasiat

Seorang pembuat wasiat haruslah cakap secara hukum. Pasal 895 KUH Perdata mensyaratkan bahwa pembuat wasiat harus sehat akal budinya. Selain itu, berdasarkan Pasal 897 KUH Perdata, ia harus telah mencapai usia 18 tahun atau telah menikah sebelum usia tersebut. Hal ini untuk memastikan bahwa kehendak yang dituangkan dalam wasiat merupakan cerminan dari keinginan yang bebas dan sadar, tanpa adanya paksaan, penipuan, ataupun kekhilafan.

Selanjutnya, KUH Perdata mengakui beberapa jenis wasiat, yang masing-masing memiliki prosedur pembuatannya sendiri. Secara umum, dikenal tiga bentuk utama wasiat, yaitu:

  1. Wasiat Olografis (Olographis Testament): Diatur dalam Pasal 932 KUH Perdata, wasiat ini harus seluruhnya ditulis tangan dan ditandatangani oleh pewaris sendiri. Untuk keabsahannya, wasiat ini wajib disimpan pada seorang notaris yang kemudian akan membuatkan akta penyimpanan (acte van depot).

  2. Wasiat Umum (Openbaar Testament): Bentuk wasiat ini dianggap memiliki kekuatan pembuktian yang paling kuat. Dibuat di hadapan notaris dan dihadiri oleh dua orang saksi, pewaris menyatakan kehendaknya kepada notaris, yang kemudian akan menuliskannya dalam bentuk akta otentik sesuai ketentuan Pasal 938 dan 939 KUH Perdata.

  3. Wasiat Rahasia atau Tertutup (Geheim Testament): Pewaris dapat menulis sendiri wasiatnya atau menyuruh orang lain menuliskannya, tetapi harus ditandatangani oleh pewaris. Kertas yang memuat wasiat tersebut kemudian disegel dan diserahkan kepada notaris di hadapan empat orang saksi. Notaris lantas membuat akta penjelasan (acte van superscriptie) di atas sampul tersebut yang menyatakan bahwa sampul itu berisi wasiat si pewaris.

Batasan Kebebasan: Legitieme Portie

Meskipun pewaris memiliki kebebasan untuk menyatakan kehendaknya melalui wasiat, KUH Perdata memberikan pembatasan atau bersifat tidak mutlak. KUH Perdata melindungi hak para ahli waris dalam garis lurus ke atas dan ke bawah (anak, cucu, orang tua) melalui sebuah konsep yang disebut legitieme portie atau bagian mutlak. Berdasarkan Pasal 913 KUH Perdata, legitieme portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang tidak dapat dikesampingkan oleh pewaris, baik melalui hibah semasa hidup maupun melalui wasiat.

Artinya, pewaris tidak dapat memberikan seluruh hartanya kepada orang lain jika ia masih memiliki ahli waris yang berhak atas bagian mutlak. Besaran legitieme portie ini bervariasi tergantung pada jumlah ahli waris yang ditinggalkan. Misalnya, jika seorang pewaris meninggalkan satu orang anak yang sah, maka legitieme portie anak tersebut adalah setengah dari bagian yang seharusnya ia terima menurut undang-undang. Adanya ketentuan ini bertujuan untuk melindungi kepentingan ahli waris terdekat dari kemungkinan pewaris mengalihkan seluruh hartanya kepada pihak lain.

Penutup

Pewarisan berdasarkan wasiat menurut KUH Perdata menyeimbangkan antara kebebasan individu untuk menentukan nasib hartanya dan perlindungan hukum bagi para ahli waris terdekat. Wasiat memungkinkan seorang pewaris untuk mendistribusikan kekayaannya sesuai dengan kehendak terakhirnya, yang mungkin tidak terakomodasi oleh jalur pewarisan berdasarkan undang-undang. Namun demikian, kebebasan ini dibatasi oleh adanya legitieme portie yang memastikan bahwa hak-hak para ahli waris dalam garis lurus tetap terjamin.

Referensi

Anisutus Amanat. (2004). Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-pasal Hukum Perdata BW. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).

Maman Suparman. (2015). Hukum Waris Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.

Mulyadi. (2011). Hukum Waris Dengan Adanya Surat Wasiat. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.