Unsur Delik dalam Pasal yang Menurut Pengadilan Terpenuhi dalam Kasus Tom Lembong

NEWS

Insyirah Fatihah Hidayat

8/1/20259 min read

Pendahuluan

Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang berimplikasi serius terhadap pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merusak tatanan sosial, ekonomi, dan politik suatu bangsa. Oleh karena itu, penting untuk memahami secara mendalam unsur-unsur yang membentuk suatu tindakan sebagai korupsi, sebagaimana akan dianalisis dalam konteks kasus yang melibatkan Tom Lembong.

Pembahasan

Definisi Tindak Pidana Korupsi

Secara umum, tindak pidana korupsi dapat dipahami sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau amanah publik untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Beberapa ahli memberikan definisi yang bervariasi namun saling melengkapi:

  1. Robert Klitgaard: Mendefinisikan korupsi sebagai monopoli ditambah diskresi dikurangi akuntabilitas (C = M + D - A). Formula ini menekankan bahwa korupsi muncul ketika individu atau lembaga memiliki kekuasaan tunggal (monopoli), kebebasan untuk mengambil keputusan (diskresi), namun minim pertanggungjawaban (akuntabilitas).

  2. Jeremy Pope (Transparency International): Mengartikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi. Definisi ini menyoroti aspek penyalahgunaan wewenang yang melekat pada jabatan publik.

  3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor): Tidak memberikan definisi tunggal tentang korupsi, melainkan merumuskan 30 jenis tindakan yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Ke-30 jenis tersebut dikelompokkan menjadi 7 kategori besar, yaitu:

    • Kerugian keuangan negara.

    • Suap-menyuap.

    • Penggelapan dalam jabatan.

    • Pemerasan.

    • Perbuatan curang.

    • Benturan kepentingan dalam pengadaan.

    • Gratifikasi.

Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa inti dari korupsi adalah penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Unsur-Unsur Tindakan yang Dikategorikan sebagai Korupsi dalam Perundang-undangan

Berdasarkan UU Tipikor, suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai korupsi apabila memenuhi unsur-unsur sebagaimana dirumuskan dalam pasal-pasal tertentu. Meskipun jenis korupsi beragam, secara umum terdapat beberapa unsur pokok yang seringkali melekat:

  1. Melawan Hukum: Unsur ini merujuk pada perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik berupa tindakan positif (melakukan sesuatu yang dilarang) maupun tindakan negatif (tidak melakukan sesuatu yang wajib dilakukan). Perbuatan melawan hukum dapat bersifat formil (bertentangan dengan prosedur) atau materiil (bertentangan dengan rasa keadilan atau kepatutan).

  2. Memperkaya Diri Sendiri atau Orang Lain atau Korporasi: Unsur ini merupakan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan melawan hukum, yaitu adanya keuntungan finansial atau non-finansial yang diperoleh oleh pelaku, pihak lain, atau suatu badan hukum.

  3. Dapat Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara: Unsur ini menekankan pada dampak dari perbuatan korupsi. Kerugian keuangan negara dapat berupa berkurangnya pendapatan negara atau bertambahnya pengeluaran negara secara tidak sah. Kerugian perekonomian negara lebih luas, mencakup dampak negatif terhadap stabilitas ekonomi, kepercayaan investor, atau alokasi sumber daya yang tidak efisien. Unsur "dapat" menunjukkan bahwa kerugian tersebut tidak harus sudah terjadi secara aktual, namun potensi kerugian saja sudah cukup untuk memenuhi unsur ini.

Pasal yang Didakwakan terhadap Tom Lembong dalam Kasus Impor Gula

Untuk menganalisis delik, perlu diketahui secara spesifik pasal-pasal yang didakwakan kepada Tom Lembong. Tom Lembong, yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), terlibat dalam kasus impor gula yang menyebabkan kerugian negara. Tindak pidana korupsi yang dilakukan Tom Lembong, antara lain dengan menerbitkan surat pengajuan atau persetujuan impor gula kristal mentah periode 2015–2016 kepada 10 perusahaan tanpa didasarkan rapat koordinasi antarkementerian serta tanpa disertai rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.

Adapun Jaksa Penuntut Umum mendakwakan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan rincian bunyi pasal:

  1. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001:

    "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."

    Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana:

    "Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

    1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;”

Pasal 2 ayat (1) menitikberatkan pada perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian negara, sedangkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 menitikberatkan pada penyertaan dalam tindak pidana, terkhusus pada mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan.

Delik yang Terdapat dalam Pasal-pasal yang didakwakan JPU dalam kasus Tom Lembong

Dengan merujuk pada dakwaan yang dikenakan, analisis delik dalam kasus korupsi impor gula Tom Lembong dapat dilakukan sebagai berikut:

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

  1. Unsur "Setiap Orang"

    • Penjelasan: Unsur ini merujuk pada subjek hukum dari tindak pidana. Dalam konteks hukum pidana, "setiap orang" diartikan sebagai setiap individu atau subjek hukum yang cakap dan mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya di muka hukum. Unsur ini tidak membedakan status, jabatan, atau latar belakang seseorang. Siapapun yang memenuhi unsur-unsur delik lainnya dapat menjadi pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan pasal ini.

    • Teori Hukum: Unsur ini selaras dengan prinsip universalitas dalam hukum pidana, di mana hukum berlaku untuk semua tanpa terkecuali (equality before the law), sepanjang orang tersebut memiliki kapasitas pidana.

  2. Unsur "Melakukan Perbuatan Memperkaya Diri Sendiri atau Orang Lain atau Suatu Korporasi"

    • Penjelasan: Unsur ini adalah tujuan atau akibat yang ingin dicapai oleh pelaku. "Memperkaya" berarti mendapatkan keuntungan atau tambahan kekayaan secara tidak sah. Keuntungan ini tidak harus selalu berupa uang tunai, tetapi bisa juga dalam bentuk aset, fasilitas, posisi, kemudahan, atau nilai ekonomi lainnya yang seharusnya tidak didapatkan.

      • Diri Sendiri: Pelaku mendapatkan keuntungan langsung untuk dirinya pribadi.

      • Orang Lain: Pelaku sengaja menguntungkan pihak lain (individu atau kelompok) yang bukan dirinya, misalnya keluarga, teman, atau kolega. Adanya keuntungan ini harus merupakan akibat langsung dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan pelaku.

      • Suatu Korporasi: Pelaku melakukan perbuatan yang menguntungkan suatu badan hukum (perusahaan, yayasan, organisasi, dll.) secara tidak sah.

    • Teori Hukum: Unsur ini menekankan adanya causal link (hubungan sebab-akibat) antara perbuatan melawan hukum dan terjadinya keuntungan yang tidak sah. Konsep ini juga berkaitan dengan mens rea (niat jahat) pelaku untuk mendapatkan atau memberikan keuntungan secara tidak sah.

  3. Unsur "Secara Melawan Hukum"

    • Penjelasan: Ini adalah salah satu unsur kunci yang membedakan tindak pidana korupsi dengan perbuatan lain. "Melawan hukum" dapat diartikan dalam dua dimensi:

      • Melawan Hukum Formil (Formele Wederrechtelijkheid): Perbuatan tersebut secara eksplisit dilarang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik itu undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, atau peraturan lainnya. Ini mencakup pelanggaran terhadap prosedur, tata cara, atau kewajiban hukum. Misalnya, melakukan pengadaan barang/jasa tanpa melalui lelang yang disyaratkan, mengeluarkan izin tanpa memenuhi persyaratan administratif, atau menyalahgunakan anggaran yang peruntukannya sudah diatur.

      • Melawan Hukum Materiil (Materiële Wederrechtelijkheid): Perbuatan tersebut tidak secara eksplisit dilarang oleh undang-undang, namun bertentangan dengan rasa keadilan, kepatutan, norma-norma yang hidup di masyarakat, atau asas-asas umum pemerintahan yang baik. Konsep ini bersifat lebih luas dan fleksibel, memungkinkan penegakan hukum terhadap perbuatan yang secara substansi merugikan publik meskipun secara harfiah tidak ada larangan tertulis. Contohnya, menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi yang tidak diatur secara spesifik dalam peraturan, namun jelas-jelas bertentangan dengan etika dan moral publik. Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006 telah mempersempit makna "melawan hukum" hanya pada melawan hukum formil, dengan tujuan memberikan kepastian hukum dan mencegah interpretasi yang terlalu luas. Namun, praktik peradilan di Indonesia masih sering mempertimbangkan kedua dimensi ini, tergantung pada konteks kasus dan argumentasi Jaksa Penuntut Umum.

    • Teori Hukum: Unsur ini terkait erat dengan prinsip legalitas (nullum crimen sine lege), bahwa suatu perbuatan hanya dapat dipidana jika diatur oleh undang-undang. Namun, adanya dimensi materiil menunjukkan adanya pengecualian atau perluasan dari prinsip legalitas tersebut, yang dalam konteks korupsi dianggap perlu untuk menjangkau modus-modus baru kejahatan.

  4. Unsur "Yang Dapat Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara"

    • Penjelasan: Unsur ini adalah akibat kumulatif yang harus terjadi dari perbuatan sebelumnya. Kata "dapat" menunjukkan bahwa kerugian tersebut tidak harus sudah terjadi secara aktual (actual loss), tetapi potensi kerugian (potential loss) atau adanya kemungkinan kerugian sudah cukup untuk memenuhi unsur ini. Ini adalah karakteristik khusus dalam delik korupsi, yang berbeda dengan delik pidana umum yang mensyaratkan kerugian riil.

      • Keuangan Negara: Merujuk pada seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dikelola oleh negara atau pihak lain berdasarkan wewenang yang diberikan. Ini mencakup pendapatan dan belanja negara/daerah, kekayaan negara yang dipisahkan, serta kekayaan lain yang dikuasai negara atau daerah untuk kepentingan umum. Contoh kerugian keuangan negara:

        • Berkurangnya pendapatan negara (misalnya, pajak yang tidak disetor, retribusi yang digelapkan).

        • Bertambahnya pengeluaran negara secara tidak sah (misalnya, pembayaran proyek fiktif, markup harga barang/jasa).

        • Hilangnya aset negara (misalnya, penjualan aset di bawah harga pasar).

      • Perekonomian Negara: Merujuk pada kondisi atau potensi perekonomian nasional secara keseluruhan. Kerugian perekonomian negara bersifat lebih luas dan tidak selalu terukur secara langsung dalam bentuk uang. Ini dapat mencakup:

        • Terhambatnya pertumbuhan ekonomi.

        • Menurunnya kepercayaan investor.

        • Terciptanya distorsi pasar atau persaingan tidak sehat.

        • Kerusakan lingkungan akibat perbuatan korupsi.

        • Ketidakadilan dalam alokasi sumber daya.

        • Peningkatan angka kemiskinan atau kesenjangan sosial. Meskipun lebih abstrak, kerugian perekonomian negara dapat dibuktikan melalui analisis ekonomi dan dampak sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan korupsi.

    • Teori Hukum: Unsur ini menunjukkan bahwa korupsi adalah delik formil dan bukan delik materiil dalam konteks kerugian. Dengan demikian, penuntut tidak perlu menunggu sampai kerugian negara atau perekonomian negara itu benar-benar nyata terjadi dan terhitung jumlahnya. Cukup dengan adanya potensi kerugian, delik sudah dianggap terpenuhi. Hal ini dimaksudkan agar penegakan hukum terhadap korupsi dapat dilakukan secara proaktif dan mencegah dampak yang lebih besar.

Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana

  1. Pelaku yang “Melakukan” (Pleger)

    • Penjelasan: Ini adalah bentuk penyertaan yang paling sederhana dan langsung. Orang yang "melakukan" adalah individu yang secara fisik dan langsung melaksanakan seluruh atau sebagian besar dari perbuatan yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Ia adalah eksekutor utama dari tindak pidana.

      Contoh: Seorang pencuri yang secara langsung mengambil barang milik orang lain dengan maksud untuk menguasainya secara melawan hukum, tanpa bantuan orang lain, adalah pelaku yang "melakukan" pencurian.

    • Unsur Penting: Fokusnya adalah pada tindakan fisik yang memenuhi rumusan delik (misalnya, mengambil, membunuh, menipu, dll.). Pelaku ini memiliki niat (wilayah) untuk melakukan perbuatan tersebut dan melaksanakannya sendiri.

    • Teori Hukum: Konsep ini sering disebut sebagai pelaku langsung atau perpetrator. Ini adalah bentuk pertanggungjawaban pidana yang paling jelas karena ada kesesuaian langsung antara kehendak dan perbuatan yang dilakukan oleh satu orang.

  2. Pelaku yang "Menyuruh Melakukan" (Doen Pleger atau Middellijke Dader)

    • Penjelasan: Bentuk ini terjadi ketika seseorang (disebut sebagai "penyuruh") menggerakkan atau memerintahkan orang lain (disebut sebagai "alat" atau "orang yang disuruh") untuk melakukan suatu tindak pidana. Yang menarik adalah, dalam hal ini, orang yang disuruh tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana (atau tidak memiliki kesalahan/salah) karena beberapa alasan, sehingga pertanggungjawaban pidana sepenuhnya beralih kepada si penyuruh.

      • Kondisi Orang yang Disuruh Tidak Dapat Dipertanggungjawabkan:

        • Tidak Memiliki Kesalahan (Geen Schuld): Orang yang disuruh tidak menyadari bahwa perbuatannya adalah tindak pidana (misalnya, karena ditipu, tidak tahu hukum, atau berada di bawah pengaruh paksaan mutlak/overmacht).

        • Tidak Memiliki Kemampuan Bertanggung Jawab (Niet Toerekeningsvatbaar): Orang yang disuruh adalah anak di bawah umur yang belum dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, atau orang dengan gangguan jiwa.

        • Tidak Ada Unsur Melawan Hukum: Perbuatan yang dilakukan oleh orang yang disuruh sebenarnya tidak melawan hukum, namun karena konteksnya atas perintah penyuruh, maka si penyuruh yang dipertanggungjawabkan.

      • Contoh: Seorang majikan memerintahkan pembantunya yang tidak tahu apa-apa untuk memasukkan racun ke dalam minuman seseorang, tanpa memberitahu bahwa itu racun. Pembantu tersebut melakukannya tanpa niat jahat. Dalam kasus ini, majikanlah yang "menyuruh melakukan" pembunuhan, dan pembantu tidak dapat dipidana.

    • Unsur Penting: Adanya hubungan komando atau pengaruh dominan dari penyuruh terhadap orang yang disuruh. Orang yang disuruh bertindak seperti "alat" bagi si penyuruh. Niat jahat (mens rea) berada sepenuhnya pada si penyuruh.

    • Teori Hukum: Dikenal sebagai pelaku tidak langsung atau indirect perpetrator. Ini menunjukkan bahwa kontrol dan niat jahat dapat dipisahkan dari tindakan fisik, dan yang memiliki kontrol serta niat jahatlah yang bertanggung jawab sebagai pelaku.

  3. Pelaku yang "Turut Serta Melakukan" (Mede Pleger)

    • Penjelasan: Bentuk penyertaan ini terjadi ketika dua orang atau lebih bekerja sama secara sadar dan sengaja (memiliki kesepakatan atau konsensus kehendak) untuk melakukan suatu tindak pidana, dan masing-masing memberikan kontribusi yang berarti dalam pelaksanaan perbuatan tersebut. Kontribusi tidak harus sama atau proporsional, asalkan ada kerja sama yang erat dan kesepakatan kehendak (bewuste samenwerking).

      • Syarat-syarat:

        • Ada Kerja Sama (Samenwerking): Baik kerja sama fisik (ikut melakukan bagian dari perbuatan) maupun kerja sama intelektual (perencanaan, ide, pembagian peran).

        • Kesepakatan Kehendak (Consensus): Ada tujuan bersama untuk melakukan tindak pidana, meskipun peran masing-masing berbeda. Mereka menyadari dan menghendaki terjadinya tindak pidana tersebut.

        • Pelaksanaan Bersama: Masing-masing pihak memberikan kontribusi yang bersifat esensial atau signifikan dalam mewujudkan delik. Tidak harus semua orang melakukan seluruh elemen delik, tetapi bagian yang dilakukan oleh masing-masing menjadi satu kesatuan yang menghasilkan delik tersebut.

      • Contoh: Dua orang merampok sebuah bank. Satu orang masuk ke bank dan mengancam kasir, sementara yang lain menunggu di mobil sebagai sopir pelarian. Keduanya "turut serta melakukan" perampokan karena ada kesepakatan, pembagian peran, dan tujuan bersama untuk merampok.

    • Unsur Penting: Adanya kesepakatan kehendak (gemeenschappelijke wil) dan kontribusi yang berarti dalam pelaksanaan delik. Mereka adalah mitra dalam kejahatan tersebut.

    • Teori Hukum: Disebut juga sebagai co-perpetrator atau joint perpetrator. Teori ini menekankan bahwa pertanggungjawaban pidana dapat melekat pada individu yang meskipun tidak melakukan seluruh tindakan, namun memiliki kontrol bersama atas pelaksanaan kejahatan dan berkontribusi secara signifikan.

Penutup

Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor adalah pasal inti dalam kasus Tom Lembong yang menyasar perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain/korporasi yang dilakukan secara melawan hukum dan berpotensi merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Keberadaan unsur "dapat merugikan" menunjukkan karakteristik khusus delik korupsi yang formil, mempercepat proses penindakan, dan menekankan pencegahan.

Referensi

Emerson Yuntho, Illian Deta Arta Sarian, Jeremiah Limbong, Ridwan Bakar, dan Firdaus Ilyas. (2014). Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Delik Tindak Pidana Korupsi. Jakarta Selatan: Indonesia Corruption Watch.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Mochammad Kasman. Tuduhan Pelanggaran Wewenang dalam Kasus Korupsi Tom Lembong: Perspektif Hukum. Locus: Journal of Academic Literature Review, 4 (3) Juni 2025.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006.

Shinta Agustina, Roni Saputra, Alex Argo Hernowo, dan Ariehta Eleison Sembiring. (2018). Penjelasan Hukum: Penafsiran Unsur Melawan Hukum dalam Pasal 2 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: LeIP.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Yasmirah Mandasari Saragih, Alwan Hadiyanto, Budi Yardi, Suryadi, dan Hotmaida Simanjuntak. (2024). Mengenal Delik-delik Tindak Pidana Korupsi melalui Upaya Pendidikan Anti Korupsi. Medan: Tahta Media Group.