Surat Somasi: Pengertian, Dasar Hukum, dan Tujuan

PERDATA

Abraham Johan Dumanauw

5/16/20255 min read

Dalam dunia hukum perdata, istilah somasi bukanlah sesuatu yang asing. Somasi sering digunakan sebagai langkah awal sebelum seseorang membawa sengketa ke jalur litigasi (pengadilan). Namun, masih banyak masyarakat yang belum memahami secara utuh apa itu somasi, dasar hukumnya, dan tujuan sebenarnya dari tindakan ini. Artikel ini akan membahasnya secara lengkap.

Pengertian Somasi.

Somasi merupakan sebuah peringatan tertulis dengan langkah-langkah non litigasi yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain yang dianggap telah melanggar hak atau kewajibannya..

Menurut Jonaedi Effendi dalam Kamus Istilah Hukum Populer, somasi adalah teguran terhadap pihak calon tergugat.

Menurut Yahya Harahap dalam bukunya Segi-Segi Hukum Perjanjian, somasi adalah peringatan kepada debitur agar melaksanakan kewajibannya sesuai dengan teguran yang disampaikan kreditur kepada debitur.

Jadi dapat disimpulkan, singkatnya, somasi adalah surat peringatan atau surat teguran. Namun, somasi berbeda dengan surat peringatan biasa.

Perbedaan Somasi dengan surat peringatan biasa.

Surat peringatan biasa umumnya digunakan dalam konteks disiplin kerja atau dalam konteks administratif yang bersifat non-hukum. Isinya hanya berupa teguran atau peringatan yang tidak menimbulkan akibat hukum formal. Contohnya, seorang manajer memberikan surat peringatan kepada karyawan yang sering terlambat masuk kerja. Tindak lanjut dari surat peringatan biasa dapat berupa pemecatan atau tindakan disiplin lainnya.

Sedangkan somasi, digunakan dalam konteks hukum baik perdata maupun pidana (secara eksplisit diatur dalam hukum keperdataan) yang isinya berupa teguran atau peringatan terhadap pihak yang lalai untuk segera memenuhi kewajibannya. Somasi selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar untuk melangkah ke jalur hukum yang lebih serius.

Somasi konteksnya lebih serius karena bersifat hukum, menyangkut hak dan kewajiban salah satu pihak. Maka dari itu, pembuatan somasi tidak boleh sembarangan, ada strategi-strategi khusus untuk membuat somasi yang baik, agar surat somasi yang dibuat tidak diabaikan.

Dasar hukum somasi.

Dasar hukum somasi di Indonesia diatur dalam beberapa pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Pasal 1238 KUHPerdata, yang menyatakan

“Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu, atau menurut kekuatan perjanjian, yaitu jika hal itu menentukan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Pasal ini menunjukkan bahwa somasi diperlukan sebagai langkah awal dalam upaya penyelesaian sengketa secara damai, yaitu untuk memberikan peringatan kepada pihak yang dianggap lalai memenuhi kewajibannya sebelum tindakan hukum lebih lanjut dapat dilakukan.

Pasal 1243 KUHPerdata, yang menyatakan

“Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan baru mulai diwajibkan apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap lalai melakukannya.”

Pasal ini menunjukkan bahwa somasi berfungsi untuk menetapkan status wanprestasi pada pihak yang tidak memenuhi kewajibannya. Jika setelah menerima somasi pihak tersebut tetap tidak bertindak, maka ia dapat dikatakan lalai secara hukum (wanprestasi), dan menjadi dasar bagi pihak yang dirugikan untuk menuntut ganti rugi atau sanksi hukum lainnya.

Walaupun somasi adalah instrumen hukum perdata, dalam praktiknya somasi sering digunakan sebagai bukti awal atau bukti indikasi adanya niat jahat dalam perkara pidana. Misalnya dalam Pasal 372 KUHP mengenai penggelapan dan Pasal 378 KUHP mengenai penipuan.

Apabila pelaku diberikan somasi dan tidak menanggapinya, tindakan tersebut dapat dinilai sebagai bukti niat jahat (mens rea) pelaku, karena telah diberikan kesempatan menyelesaikan secara damai namun malah mengabaikannya.

Selain itu, somasi juga dapat digunakan sebagai alat bukti surat (Pasal 184 KUHAP) dalam proses penyidikan.

Tujuan somasi.

Somasi bertujuan untuk menyelesaikan suatu masalah/konflik secara damai sebelum melibatkan pengadilan. Somasi ini bertujuan untuk memberikan kesempatan dan meminta kepada pihak yang bersangkutan untuk berbuat sesuatu (segera memenuhi kewajiban) atau berhenti berbuat sesuatu (menghentikan suatu perbuatan yang merugikan).

Dengan adanya somasi, pihak yang diperingatkan diberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan atau memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu tertentu. Jika somasi tidak diindahkan, langkah hukum seperti gugatan ke pengadilan dapat menjadi langkah lanjutan yang ditempuh oleh pihak yang dirugikan.

Selain untuk memberikan peringatan kepada pihak yang dianggap telah lalai memenuhi kewajibannya, somasi juga memiliki fungsi lain, yaitu:

  • Menunjukkan itikad baik. Dengan mengirimkan somasi, pihak yang merasa dirugikan menunjukkan niat untuk menyelesaikan masalah secara damai tanpa langsung membawa kasus ke pengadilan. Hal ini bertujuan untuk menjaga hubungan baik di antara kedua pihak.

  • Memberikan kesempatan kepada pihak yang bersangkutan untuk menyelesaikan kewajibannya atau melakukan mediasi sebelum konflik masuk ke ranah hukum.

  • Menjadi bukti di pengadilan. Somasi memiliki nilai hukum yang membantu pengadilan menilai bahwa pihak yang dirugikan telah mengikuti prosedur hukum dengan benar dan resmi. Somasi juga berfungsi sebagai dasar gugatan perdata atau pelaporan pidana bila diperlukan.

Wajibkah melakukan somasi sebelum mengajukan gugatan ke Pengadilan?

Secara umum, perikatan yang dibuat dalam bentuk tertulis (perjanjian tertulis) menerangkan secara eksplisit kapan atau batas waktu seorang debitur dinyatakan lalai.

Namun, ketika suatu perikatan tidak menentukan batas waktu bagi debitur untuk melaksanakan prestasi yang disepakati, maka debitur hanya dapat dianggap lalai setelag kreditur yang menyatakan bahwa debitur telah lalai dengan suatu surat perintah atau akta sejenis. Surat perintah atau akta sejenis yang dimakud adalah Surat Somasi.

Pasal 1238 KUH Perdata menyatakan, “Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu, atau menurut kekuatan perjanjian, yaitu jika hal itu menentukan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Di sisi lain, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 tentang Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang menyatakan bahwa Pasal 1238 KUH Perdata tersebut tidak berlaku lagi.

Akan tetapi, secara hierarki peraturan perundang-undangan, SEMA tidak dapat mengesampingkan keberlakuan dari suatu Undang-Undang termasuk KUH Perdata. Artinya, Pasal 1238 KUH Perdata tersebut hingga saat ini masih berlaku.

Terdapat pula beberapa putusan pengadilan/yurisprudensi yang menyatakan bahwa somasi merupakan suatu kewajiban sebelum mengajukan gugatan wanprestasi di Pengadilan, yaitu:

  1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 186 K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959, yang menyatakan bahwa apabila perjanjian secara tegas menentukan kapan debitur dinyatakan lalai memenuhi kewajiban, secara hukum debitur belum dapat dikatakan alpa dalam menjalankan kewajibannya sebelum kealpaan tersebut dinyatakan oleh pihak kreditur.

  1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 17 K/Sip/1956 tanggal 12 Juni 1957 yang menyatakan bahwa dikarenakan pihak tergugat asli tidak ditegur terlebih dahulu oleh penggugat, maka gugatan penggugat tidak dapat diterima.

  1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 52 K/Sip/1972 yang menyatakan bahwa untuk menyatakan seseorang telah melakukan wanprestasi harus terlebih dahulu dilakukan suatu penagihan resmi yang dilakukan oleh juru sita (somasi). Dikarenakan somasi dalam perkara ini belum dilakukan, maka pengadilan belum dapat menghukum para tergugat yang telah melakukan wanprestasi, karena itu gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.

Sejatinya, terdapat beberapa pengecualian dimana penggugat dapat mengajukan gugatan di pengadilan tanpa didahului oleh adanya somasi.

  1. Ketika dalam suatu perjanjian, para pihak telah menentukan kapan munculnya wanprestasi. Dengan demikian, somasi atau teguran dianggap secara tidak langsung terkandung dalam suatu perjanjian atau perikatan itu sendiri.

    Contoh: Ketika A sebagai penjual dan B sebagai pembeli membuat perjanjian jual beli sebuah laptop. Di dalam perjanjian dituliskan secara eksplisit bahwa ketika B tidak membayarkan sejumlah uang sesuai kesepakatan setelah A menyerahkan laptop, maka B dianggap wanprestasi.

  2. Ketika debitur lalai melakukan prestasi dalam batas waktu yang disepakati dalam perjanjian.

    Contoh: Ketika A selaku kreditur dan B selaku debitur membuat perjanjian utang piutang secara tertulis dimana B diwajibkan untuk membayar Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) kepada A paling lambat 28 Januari 2025. Akan tetapi, hingga tanggal 30 Januari 2025, B tidak juga melunasi pembayarannya kepada A.

  3. Ketika salah satu pihak tidak melaksanakan suatu prestasi yang telah disepakati bersama. Hal ini sejalan dengan poin nomor 2 diatas.

  1. Ketika salah satu pihak dengan sukarela menyatakan dirinya wanprestasi.

  1. Ketika secara tegas di dalam perjanjian menyatakan bahwa para pihak dapat melakukan gugatan ke pengadilan tanpa didahului adanya somasi.