Sertifikat Girik Tidak Akan Diakui Lagi di Tahun 2026

PERDATA

Insyirah Fatihah Hidayat

8/8/20255 min read

Pendahuluan

Selama bertahun-tahun, sertifikat girik menjadi dokumen penting bagi ribuan pemilik tanah adat sebagai bukti penguasaan sekaligus dasar pembayaran pajak. Namun, seiring dengan upaya pemerintah memperkuat sistem pertanahan nasional dan mencegah sengketa, sertifikat girik akan kehilangan kekuatan hukumnya mulai tahun 2026. Kondisi ini menuntut pemilik girik untuk segera menyiapkan langkah konversi menjadi Sertifikat Hak Milik resmi agar hak kepemilikan tetap terlindungi.

Pembahasan

Pengertian Sertifikat Girik

Sertifikat girik merupakan dokumen kepemilikan tanah tradisional yang telah ada sejak zaman kolonial Belanda. Berbeda dengan sertifikat tanah resmi, girik pada dasarnya adalah bukti tertulis berupa surat yang menunjukkan penguasaan seseorang atas sebidang tanah. Dokumen ini berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB) serta menunjukkan bahwa pemilik memiliki hak untuk menguasai tanah dan sebagai pembayar pajak atas bidang tanah tersebut.

Dalam konteks hukum agraria Indonesia, girik bukanlah tanda bukti kepemilikan hak seseorang atas tanah, melainkan hanya sebagai bukti bahwa pemilik girik menguasai tanah milik adat. Hal ini dikarenakan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), tanda bukti kepemilikan atas tanah seharusnya ditunjukkan melalui sertifikat tanah resmi yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Karakteristik Surat Girik

Girik memiliki beberapa karakteristik khusus yang membedakannya dari sertifikat tanah resmi:

  • Status Hukum: Girik tidak memiliki kekuatan hukum yang sama dengan sertifikat hak milik (SHM)

  • Asal-usul: Biasanya diperoleh secara turun-temurun atau melalui warisan keluarga

  • Pencatatan: Hanya tercatat di kantor kelurahan atau desa, bukan di BPN

  • Fungsi Pajak: Berfungsi sebagai dasar pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Perbedaan Girik dengan Sertifikat Resmi

  1. Status Hukum

    • Girik tidak diakui secara resmi oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), sehingga kekuatan hukumnya lebih lemah.

    • SHM diterbitkan dan diakui penuh oleh negara melalui BPN, memberikan kepastian hukum yang kuat.

  2. Bukti Kepemilikan

    • Girik hanya berfungsi sebagai bukti penguasaan tanah adat dan dasar pembayaran PBB, bukan tanda kepemilikan resmi.

    • SHM adalah bukti resmi hak milik atas tanah, menjamin hak eksklusif pemilik untuk menggunakan, mengalih­kan, dan menjaminkan tanah.

  3. Jangka Waktu

    • Girik tidak memiliki batas waktu; namun nilainya menurun karena tidak diakui resmi.

    • SHM berlaku tanpa batas waktu (perpetual), selama tidak dicabut atau dialihkan secara hukum.

  4. Jaminan Kredit

    • Girik tidak dapat dijadikan jaminan perbankan atau lembaga keuangan karena status hukumnya tidak resmi.

    • SHM dapat digunakan sebagai agunan untuk pinjaman dan kredit investasi.

  5. Proses Peralihan

    • Perpindahan hak atas tanah girik harus melewati proses sertifikasi melalui BPN untuk menjadi SHM.

    • Perpindahan SHM dapat dilakukan langsung melalui Akta Jual Beli (AJB) dan pendaftaran di BPN tanpa prosedur tambahan.

Sertifikat Girik Tidak Berlaku Lagi pada Tahun 2026

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, sertifikat girik dan dokumen tanah adat lainnya tidak akan berlaku lagi sebagai alat bukti kepemilikan tanah mulai tahun 2026.

Ketentuan ini diperkuat oleh Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 16 Tahun 2021 yang menyatakan bahwa alat bukti tertulis tanah bekas milik adat yang dimiliki perorangan wajib didaftarkan dalam jangka waktu paling lama 5 tahun sejak berlakunya PP Nomor 18 Tahun 2021.

Alasan Penghapusan Girik

Menteri ATR/Kepala BPN menjelaskan beberapa alasan mengapa girik tidak akan berlaku lagi:

  1. Mencegah Konflik dan Sengketa Tanah

    Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (Dirjen PHPT) Asnaedi menyatakan bahwa selama ini banyak sengketa dan konflik tanah yang berawal dari girik. Dokumen girik sering menjadi sumber permasalahan karena:

    • Status kepemilikannya yang tidak jelas secara hukum

    • Rentan terhadap klaim ganda dari berbagai pihak

    • Mudah disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab

  2. Memberantas Mafia Tanah

    Salah satu alasan utama penghapusan girik adalah untuk memberantas praktik mafia tanah. Asnaedi menjelaskan bahwa "girik seringkali menjadi celah yang dimanfaatkan oleh mafia tanah melalui dokumen palsu". Modus operandi mafia tanah menggunakan girik meliputi:

    • Pemalsuan dokumen girik: Mafia tanah membuat girik palsu dengan modal sekitar 12 juta rupiah

    • Strategi bertahap: Membeli sebagian lahan, kemudian menguasai lahan sekitar dengan girik palsu

    • Kolusi dengan oknum: Bekerja sama dengan oknum desa untuk mengesahkan girik palsu

  3. Meningkatkan Kepastian Hukum

    Penghapusan girik bertujuan untuk menciptakan sistem pertanahan yang lebih tertib dan memberikan kepastian hukum bagi pemilik tanah. Ketika suatu kawasan sudah dinyatakan lengkap dan semua tanah telah bersertifikat, girik otomatis tidak berlaku lagi.

Klarifikasi Penting

Kementerian ATR/BPN memberikan klarifikasi penting bahwa tanah dengan girik tidak akan diambil alih oleh negara. Dirjen PHPT Asnaedi menegaskan: "Jadi informasi terkait tanah girik yang tidak didaftarkan hingga 2026 nanti tanahnya akan diambil negara, itu tidak benar". Yang terjadi adalah girik tidak lagi dapat digunakan sebagai alat bukti kepemilikan, namun pemilik tanah tetap dapat menguasai tanahnya dan mengurus sertifikat melalui mekanisme pengakuan hak.

Upaya Hukum untuk Menjadikan Sertifikat Girik Berlaku

Proses Konversi Girik ke Sertifikat Hak Milik (SHM)

Untuk memberikan kepastian hukum dan melindungi hak atas tanah, pemilik girik harus segera melakukan konversi menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM). Proses ini melibatkan dua tahapan utama:

  1. Tahap 1: Pengurusan di Kantor Kelurahan/Desa

    Langkah pertama adalah mengunjungi kantor kelurahan atau desa setempat untuk mengurus dokumen-dokumen berikut:

    • Surat Keterangan Tidak Sengketa

      • Ditandatangani oleh kepala desa/lurah beserta saksi (RT, RW, tokoh adat)

      • Menyatakan bahwa tanah tidak dalam sengketa hukum

      • Memastikan pemohon adalah pemilik sah atas tanah tersebut

    • Surat Keterangan Riwayat Tanah

      • Berisi penjelasan tertulis mengenai riwayat penguasaan tanah dari awal hingga sekarang

      • Mencakup proses peralihan tanah secara berturut-turut

    • Surat Keterangan Penguasaan Tanah Secara Sporadik

      • Menyatakan waktu perolehan penguasaan tanah

      • Mencantumkan tanggal dan cara perolehan tanah

      • Dibuat oleh pemohon dan diketahui kepala desa/lurah

  2. Tahap 2: Pengurusan di Kantor Pertanahan (BPN)

    Setelah dokumen dari kelurahan lengkap, proses dilanjutkan ke Kantor Pertanahan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

    • Persiapan Dokumen

      Dokumen yang harus disiapkan meliputi:

      • Dokumen asli girik atau fotokopi letter C

      • Ketiga surat dari kelurahan (sudah diurus pada tahap 1)

      • Fotokopi KTP dan Kartu Keluarga

      • Fotokopi SPPT PBB tahun berjalan dan bukti pembayaran

      • Bukti-bukti peralihan tanah (seperti AJB/surat waris) jika ada

      • Surat kuasa jika diwakilkan

      • Surat pernyataan telah memasang tanda batas

    • Proses di BPN

      Tahapan proses di BPN mencakup:

      • Pengajuan Permohonan

        • Menyerahkan berkas di loket pendaftaran

        • Mengisi formulir permohonan pendaftaran tanah pertama kali

        • Pembayaran biaya permohonan

    • Pengukuran Tanah

      • Petugas BPN melakukan pengukuran ke lokasi tanah

      • Pemohon wajib hadir saat pengukuran

      • Menghadirkan saksi batas dari pemilik tanah yang berbatasan

      • Pemasangan patok batas permanen jika diperlukan

    • Penerbitan Surat Ukur

      • Hasil pengukuran dicetak dan dipetakan di BPN

      • Disahkan oleh pejabat yang berwenang

    • Penelitian oleh Panitia A

      • Pembentukan Panitia A untuk meneliti surat ukur

      • Penelitian data fisik dan yuridis

      • Pemeriksaan di lapangan dan di kantor

    • Pengumuman Data Yuridis

      • Pengumuman selama 60 hari di kelurahan dan BPN

      • Memastikan tidak ada pihak lain yang keberatan

      • Sesuai Pasal 26 PP Nomor 24 Tahun 1997

    • Penerbitan Surat Keputusan (SK)

      • Kepala kantor pertanahan menerbitkan SK pemberian hak atas tanah

      • SK menjadi dasar penerbitan sertifikat

    • Pembayaran BPHTB

      • Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

      • Berdasarkan NJOP dan luas tanah hasil pengukuran

    • Penerbitan Sertifikat

      • Pendaftaran SK untuk penerbitan sertifikat

      • Pengambilan sertifikat di loket BPN

Alternatif Melalui Aplikasi

Pemerintah telah menyediakan aplikasi "Sentuh Tanahku" yang dapat diunduh di app store untuk memudahkan proses pengurusan sertifikat. Aplikasi ini juga menyediakan simulasi biaya pengurusan.

Mekanisme Pengakuan Hak Setelah 2026

Meskipun girik tidak berlaku lagi sebagai alat bukti kepemilikan setelah 2026, masyarakat masih dapat mendaftarkan tanah adat melalui mekanisme pengakuan hak dengan melengkapi persyaratan tertentu. Namun, proses ini kemungkinan akan lebih kompleks dan memakan waktu lebih lama dibandingkan jika dilakukan sebelum batas waktu 2026.

Penutup

Sertifikat girik merupakan dokumen kepemilikan tanah tradisional yang telah lama digunakan masyarakat Indonesia, namun tidak memiliki kekuatan hukum yang setara dengan sertifikat tanah resmi. Mulai tahun 2026, berdasarkan PP Nomor 18 Tahun 2021, girik tidak akan berlaku lagi sebagai alat bukti kepemilikan tanah. Hal ini bertujuan untuk mencegah konflik pertanahan, memberantas mafia tanah, dan meningkatkan kepastian hukum.

Bagi pemilik tanah girik, upaya hukum yang dapat dilakukan adalah segera melakukan konversi ke Sertifikat Hak Milik (SHM) melalui proses yang melibatkan pengurusan di kelurahan dan BPN. Proses ini memerlukan persiapan dokumen yang lengkap, waktu yang cukup, dan biaya yang proporsional, namun akan memberikan kepastian hukum dan perlindungan yang kuat atas kepemilikan tanah. Mengingat pentingnya kepastian hukum dalam kepemilikan tanah dan terbatasnya waktu yang tersisa, sangat disarankan bagi pemilik tanah girik untuk segera memulai proses konversi sebelum batas waktu 2 Februari 2026.

Referensi

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.

Prima Novianti Salma dan Habib Adjie. Penyelesaian Sengketa Tanah Mengenai Sertipikat Ganda Akibat Tindak Pidana Mafia Tanah. Jurnal Pendidikan dan Konseling 5 (1), 2023.

Andi Surya Wijaya. (2025). Apa itu Girik dan Proses Ubah ke SHM. ILS Law Firm. URL: https://www.ilslawfirm.co.id/apa-itu-girik-dan-prosedur-ubah-jadi-shm/. Diakses pada 4 Agustus 2025.

Seventina Monda Devita. Perkembangan Hak Pengelolaan atas Tanah Sebelum dan Setelah Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Rewang Rencang: Jurnal Hukum Lex Generalis 2 (9), September 2021.