Sejarah dan Perkembangan Perseroan Terbatas (PT) di Indonesia

PERDATA

Insyirah Fatihah Hidayat

8/3/20258 min read

Pendahuluan

Perseroan Terbatas (PT) merupakan bentuk badan hukum yang paling umum dipilih oleh pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan komersial secara formal dan terorganisir. Kehadiran PT tidak hanya mencerminkan kebutuhan dunia bisnis terhadap struktur yang akuntabel dan berkelanjutan, tetapi juga menjadi cerminan evolusi hukum perusahaan nasional yang dipengaruhi oleh sejarah, sistem hukum asing, serta tuntutan globalisasi.

Secara hukum, konsep PT berakar pada sistem hukum Belanda yang diperkenalkan pada masa kolonial, khususnya melalui Wetboek van Koophandel (WvK) dan Burgerlijk Wetboek (BW), yang menjadi fondasi pengaturan perusahaan hingga munculnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. UU ini kemudian direvisi dan digantikan oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 yang berlaku hingga hari ini, dengan berbagai pembaruan melalui regulasi turunan, seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri terkait.

Pembahasan

Era Kolonial Belanda: Fondasi Awal (Sebelum 1945)

Konsep badan usaha dengan tanggung jawab terbatas, yang menjadi ciri khas PT, telah dikenal sejak masa penjajahan Belanda. Landasan hukum utamanya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel (WvK), yang diberlakukan di Hindia Belanda pada tahun 1848 berdasarkan asas konkordansi (concordantiebeginsel). Asas ini berarti hukum yang berlaku di Belanda juga diterapkan di wilayah jajahannya.

Dalam KUHD, pengaturan mengenai perseroan terbatas (yang pada masa itu dikenal dengan istilah Naamloze Vennootschap, disingkat NV) diatur dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 56. Aturan ini membuktikan bahwa bentuk perseroan terbatas sudah lama dikenal dan diakui secara hukum di Indonesia.

Deskripsi dan Karakteristik NV di Era Kolonial:

  • Persekutuan Tanpa Nama (Naamloze Vennootschap): Istilah "Naamloze Vennootschap" secara harfiah berarti "persekutuan tanpa nama". Ini menunjukkan bahwa identitas para pemilik (pemegang saham) tidak selalu menjadi fokus utama, melainkan entitas perusahaan itu sendiri. Konsep ini merupakan pengecualian dari aturan umum yang termaktub dalam Pasal 16 KUHD yang mengatur persekutuan dengan nama.

  • Badan Hukum yang Terpisah: NV diakui sebagai badan hukum yang mandiri, artinya ia memiliki harta kekayaan tersendiri yang terpisah dari harta kekayaan pribadi para pengurus dan pemegang sahamnya. Ini adalah fondasi dari prinsip tanggung jawab terbatas.

  • Tanggung Jawab Terbatas Pemegang Saham: Pemegang saham NV hanya bertanggung jawab sebesar nilai nominal saham yang mereka miliki atau yang telah mereka setorkan. Harta pribadi mereka aman dari risiko kerugian atau utang perusahaan. Hal ini menjadi daya tarik utama bagi para pengusaha, terutama untuk perusahaan dengan modal besar.

  • Modal Terbagi Atas Saham: Modal NV dibagi menjadi saham-saham atau "sero-sero" atas nama atau blangko. Kepemilikan saham dapat diperdagangkan, dan perubahan kepemilikan saham tidak mengakibatkan pembubaran perseroan, sehingga menjamin kontinuitas usaha.

  • Tujuan Mencari Keuntungan: NV didirikan untuk melakukan kegiatan usaha secara berkelanjutan dengan tujuan mencari keuntungan.

  • Organisasi Terstruktur: Meskipun pengaturannya lebih singkat dibandingkan UU PT (hanya 21 pasal dalam KUHD), NV sudah memiliki struktur organisasi yang tercermin dalam Anggaran Dasar (AD), yang mencakup pengaturan tentang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) serta pengurus (Direksi) dan pengawas (Komisaris).

  • Prosedur Pendirian yang Rumit: Pada era ini, pendirian NV cenderung rumit dan memerlukan persetujuan dari otoritas kolonial. Hal ini membatasi akses bagi banyak pihak, terutama penduduk pribumi, untuk mendirikan badan usaha berbadan hukum.

  • Dualisme Hukum: Terdapat dualisme hukum yang berlaku. KUHD berlaku bagi golongan Eropa atau yang dipersamakan dengannya, sementara bagi golongan pribumi seringkali berlaku hukum adat. Namun, beberapa ketentuan KUHD juga bisa diberlakukan untuk penduduk asli Indonesia jika mereka menundukkan diri pada hukum Eropa.

Salah satu contoh "perseroan" dalam bentuk primitif di Hindia Belanda adalah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Meskipun VOC bukan PT dalam pengertian modern, ia memiliki sendi-sendi bisnis dan korporat yang kuat, termasuk modal yang terbagi dan keberlanjutan usaha yang tidak terpengaruh oleh individu. Lamanya VOC memonopoli perdagangan di Indonesia menunjukkan bahwa struktur korporat telah menjadi alat yang efektif untuk mengorganisir kegiatan ekonomi berskala besar. Pada era ini, dasar-dasar penting seperti pemisahan harta kekayaan perusahaan dari pribadi pemilik dan konsep modal saham sudah mulai terbentuk.

Pasca-Kemerdekaan dan Awal Pembaharuan Hukum (1945-1995)

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, terjadi pergeseran dari status kolonial ke kedaulatan. Namun, pergeseran ini tidak serta-merta membawa perubahan langsung dan meluas pada status hukum di Republik Indonesia yang baru merdeka. Pada saat proklamasi, hukum di Indonesia pada dasarnya tidak banyak berubah sejak pendudukan Jepang.

Aturan Peralihan UUD 1945 dan Keberlakuan Hukum Kolonial:

Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa "Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini," banyak peraturan peninggalan kolonial, termasuk KUHD dan ketentuan mengenai NV, tetap berlaku. Hal ini dilakukan untuk menghindari kekosongan hukum dan memastikan kelangsungan administrasi negara dan kegiatan ekonomi.

Karakteristik dan Tantangan Periode 1945-1955:

Pada periode awal kemerdekaan (1945-1955), meskipun Indonesia telah merdeka, kerangka hukum perusahaan, termasuk PT (NV), masih sangat bergantung pada warisan kolonial.

  • Ketergantungan pada KUHD: Pengaturan mengenai NV masih mengacu pada Pasal 36 sampai dengan Pasal 56 KUHD. Ini berarti karakteristik NV yang telah dijelaskan di era kolonial (tanggung jawab terbatas, modal saham, badan hukum terpisah) masih menjadi acuan.

  • Dualisme Hukum Berlanjut: Dualisme hukum antara golongan Eropa dan pribumi, meskipun secara politis tidak lagi relevan, secara de facto masih memengaruhi penerapan hukum, termasuk hukum perusahaan.

  • Fokus pada Nasionalisasi dan Ekonomi Rakyat: Pada periode ini, pemerintah Indonesia lebih banyak berfokus pada upaya konsolidasi kemerdekaan, pembangunan ekonomi yang berbasis kerakyatan, dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing (terutama Belanda) yang dianggap vital bagi negara. Contohnya adalah nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia.

  • Belum Ada Undang-Undang PT Spesifik: Urgensi untuk memiliki undang-undang PT yang spesifik dan komprehensif belum menjadi prioritas utama. Perhatian lebih banyak tertuju pada sektor-sektor strategis dan pembentukan fondasi ekonomi negara yang baru. Oleh karena itu, hukum perusahaan masih bersifat tersebar dan belum terkodifikasi secara modern.

  • Perkembangan Hukum Ketenagakerjaan: Meskipun hukum perusahaan belum banyak berubah, pada periode ini mulai muncul undang-undang yang melindungi hak-hak buruh dan mengatur hubungan ketenagakerjaan, seperti Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan Kerja dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja. Ini menunjukkan pergeseran prioritas pemerintah dalam melindungi pekerja, meskipun kerangka hukum korporasi secara umum masih statis.

Singkatnya, periode 1945-1955 merupakan masa transisi di mana Indonesia mewarisi sistem hukum kolonial, termasuk pengaturan NV dalam KUHD. Meskipun ada upaya untuk membangun fondasi negara yang baru, pembaharuan hukum perusahaan secara menyeluruh belum terjadi, dan karakteristik NV masih serupa dengan apa yang diatur di era kolonial, dengan tantangan adaptasi terhadap konteks kemerdekaan.

Era Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas

Titik balik penting dalam sejarah hukum PT di Indonesia adalah disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UU PT 1995). Undang-undang ini menjadi lex specialis (hukum khusus) yang mengatur secara lebih detail mengenai PT, menggantikan sebagian besar ketentuan dalam KUHD dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang sebelumnya berlaku.

UU PT 1995 membawa beberapa pembaharuan signifikan, antara lain:

  • Definisi yang Lebih Jelas: Memberikan definisi PT yang lebih modern dan sesuai dengan praktik bisnis internasional.

  • Struktur Organ yang Lebih Terdefinisi: Memperjelas fungsi dan wewenang RUPS, Direksi, dan Dewan Komisaris.

  • Pengaturan Modal: Mengatur secara lebih rinci mengenai modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor.

  • Pengenalan Bentuk PT Baru: Memperkenalkan bentuk-bentuk perseroan seperti BUMN dan BUMD yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki oleh pemerintah.

  • Kewajiban Laporan Tahunan: Menekankan pentingnya laporan keuangan dan laporan tahunan sebagai bentuk akuntabilitas.

Era Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Perkembangan ekonomi yang pesat dan tuntutan globalisasi mendorong pemerintah untuk kembali melakukan penyempurnaan terhadap regulasi PT. Pada era reformasi, disahkanlah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT 2007), yang secara resmi mencabut UU PT 1995.

UU PT 2007 membawa sejumlah inovasi dan penyesuaian penting, antara lain:

  • Penguatan Prinsip Good Corporate Governance (GCG): Lebih menekankan pada tata kelola perusahaan yang baik, transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab.

  • Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL): UU ini secara eksplisit mengatur kewajiban bagi perseroan yang menjalankan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Ini merupakan langkah progresif dalam mendorong praktik bisnis yang berkelanjutan.

  • Pengaturan Lebih Detail Mengenai Organ PT: Memperjelas wewenang dan tanggung jawab masing-masing organ perusahaan, serta mekanisme RUPS.

  • Perlindungan Pemegang Saham Minoritas: Adanya ketentuan yang lebih melindungi hak-hak pemegang saham minoritas.

  • Fleksibilitas Modal Dasar: Meskipun menetapkan modal dasar minimal Rp50.000.000,00, UU ini juga membuka ruang bagi peraturan pemerintah untuk menentukan jumlah minimum modal yang lebih besar untuk kegiatan usaha tertentu. Kemudian, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas (sebagai turunan UU Cipta Kerja) mengubah ketentuan ini, menyerahkan besaran modal dasar pada kesepakatan para pendiri, terutama untuk UMK.

  • Prosedur Pendirian: Tetap mensyaratkan minimal 2 orang pendiri dengan akta notaris dan pengesahan badan hukum oleh Menteri Hukum dan HAM.

UU PT 2007 ini dirancang untuk menjawab tantangan dan kebutuhan praktik bisnis modern, serta meningkatkan daya saing perusahaan Indonesia di kancah global.

Dampak Undang-Undang Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020) terhadap PT

Lanskap hukum PT kembali mengalami transformasi dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), yang sering disebut sebagai Omnibus Law. Undang-undang ini bertujuan untuk menyederhanakan regulasi, mendorong investasi, dan menciptakan lapangan kerja.

Beberapa dampak UU Cipta Kerja terhadap PT meliputi:

  • Kemudahan Pendirian PT Perorangan: UU Cipta Kerja memungkinkan pendirian PT dapat dilakukan oleh satu orang saja, yang sebelumnya tidak mungkin. PT Perorangan ini memiliki status badan hukum dengan tanggung jawab terbatas, tetapi dengan proses pendirian yang jauh lebih sederhana, tanpa perlu akta notaris (cukup pernyataan pendirian) dan modal dasar yang diserahkan pada kesepakatan pendiri. Ini sangat memfasilitasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) untuk mendapatkan legalitas.

  • Penyederhanaan Perizinan Usaha: UU Cipta Kerja memperkenalkan sistem Online Single Submission (OSS) yang terintegrasi, di mana NIB (Nomor Induk Berusaha) berlaku sebagai identitas usaha, pengganti izin usaha, seperti SIUP dan TDP. Ini sangat mengurangi birokrasi dan mempercepat proses perizinan bagi PT.

  • Perubahan Ketentuan Modal Dasar: Seperti yang disebutkan sebelumnya, UU Cipta Kerja melalui peraturan turunannya (PP No. 7 Tahun 2021) menghapus batasan modal dasar minimum Rp50 juta untuk PT pada umumnya, dan menyerahkannya pada kesepakatan pendiri, kecuali untuk bidang usaha tertentu yang diatur khusus. Ini memberikan fleksibilitas lebih bagi pelaku usaha.

  • Penyelarasan Berbagai Aturan: UU Cipta Kerja merevisi dan menyelaraskan berbagai pasal terkait PT yang tersebar di berbagai undang-undang, menciptakan harmonisasi hukum dan mengurangi tumpang tindih regulasi.

Meskipun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah membawa perubahan signifikan, terdapat dinamika hukum yang berujung pada disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Perppu ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

Secara esensial, disahkannya Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang ini mengukuhkan kembali dan memberikan kepastian hukum terhadap berbagai ketentuan yang sebelumnya diatur dalam UU Cipta Kerja tahun 2020, termasuk yang berkaitan dengan Perseroan Terbatas. Ketentuan-ketentuan kunci yang berdampak pada PT, seperti:

  • Kemudahan Pendirian PT Perorangan: Kebijakan ini tetap berlaku dan diperkuat, memungkinkan satu orang untuk mendirikan PT dengan proses yang lebih sederhana, tanpa akta notaris dan modal dasar yang fleksibel, khususnya untuk UMK.

  • Penyederhanaan Perizinan Usaha: Sistem Online Single Submission (OSS) yang terintegrasi, dengan NIB sebagai identitas pengganti izin usaha, seperti SIUP dan TDP, dan terus menjadi landasan utama perizinan berusaha bagi PT.

  • Perubahan Ketentuan Modal Dasar: Ketentuan mengenai fleksibilitas modal dasar, di mana besaran modal dasar diserahkan pada kesepakatan pendiri (kecuali untuk bidang usaha tertentu), tetap menjadi acuan. Hal ini ditegaskan kembali melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja.

  • Penyelarasan Berbagai Aturan: Upaya harmonisasi dan penyelarasan berbagai pasal terkait PT yang tersebar di berbagai undang-undang tetap dipertahankan untuk mengurangi tumpang tindih regulasi dan menciptakan kepastian hukum.

Pengesahan Perppu menjadi undang-undang ini bertujuan untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi dan memberikan landasan hukum yang kuat serta stabil bagi ekosistem investasi dan berusaha di Indonesia. Dengan demikian, berbagai kemudahan dan penyederhanaan yang telah diperkenalkan untuk PT melalui UU Cipta Kerja sebelumnya kini memiliki dasar hukum yang lebih kokoh dan berkelanjutan.

Penutup

Sejarah dan perkembangan Perseroan Terbatas di Indonesia adalah bukti adaptasi hukum terhadap kebutuhan zaman. Dari aturan kolonial, melalui pembaharuan signifikan di tahun 1995 dan 2007, hingga revolusi kemudahan berusaha melalui Undang-Undang Cipta Kerja, PT terus berevolusi menjadi bentuk badan usaha yang semakin responsif terhadap dinamika ekonomi dan investasi.

Referensi

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) / Wetboek van Koophandel (WvK).

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) / Burgerlijk Wetboek (BW).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas.

Rachmadi Usman. (2004). Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. Bandung: Alumni.