RUU KUHAP dan Jerat Upaya Paksa Tanpa Batas
NEWS


Pendahuluan
Sebagai pilar utama dalam sistem peradilan pidana, KUHAP harus mampu menjamin keseimbangan antara kepentingan penegakan hukum dan perlindungan hakhak dasar warga negara. Prinsip-prinsip due process of law, presumption of innocence, dan akuntabilitas aparat menjadi fundamental. Namun, beberapa ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menuai berbagai sorotan, karena dinilai justru menggerus prinsip-prinsip tersebut, terutama dalam hal upaya paksa. Beberapa pasal dinilai memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada aparat penegak hukum tanpa batasan yang jelas, berpotensi membuka ruang bagi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hak asasi manusia. Koalisi masyarakat sipil, yang terdiri dari berbagai organisasi pegiat HAM, advokat, dan akademisi, secara konsisten menyuarakan keprihatinan mereka.
Pembahasan
Berikut adalah pasal-pasal yang menjadi sorotan utama:
Pasal 85 ayat (1) RUU KUHAP
“Penetapan Tersangka dilakukan Penyidik terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti.”
Tanggapan Koalisi:
Koalisi masyarakat sipil menilai ketentuan ini bermasalah karena tidak ada kejelasan perbedaan antara syarat dua alat bukti untuk penetapan Tersangka (Pasal 85 ayat (1)) dan penangkapan (Pasal 88). Dalam praktiknya, dua alat bukti yang menjadi dasar untuk penetapan Tersangka sangat rawan serta-merta dijadikan dasar upaya paksa lainnya (penahanan, penggeledahan, penyitaan), tanpa pengujian lebih lanjut sehingga mengancam hak asasi seseorang.
Selain itu, tidak adanya penjelasan standar atau definisi dari “alat bukti” dan bagaimana alat bukti tersebut diuji. Akibatnya, praktik penetapan tersangka menjadi rawan multitafsir oleh aparat penegak hukum dan berpotensi digunakan represif terhadap warga negara.
Pasal 88 RUU KUHAP
“Penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti.”
Tanggapan Koalisi:
Koalisi menilai Pasal 88 yang mensyaratkan "dua alat bukti" untuk melakukan penangkapan merupakan penurunan standar dari prinsip “bukti permulaan cukup” yang digunakan selama ini. Istilah “dua alat bukti” tanpa disertai pengujian kualitas dan relevansi dianggap terlalu formalistik dan tidak menjamin substansi perlindungan hak. Hal ini berpotensi membuat siapa pun bisa langsung ditangkap hanya karena ada dua bentuk bukti apa saja, walaupun belum diverifikasi secara substansial.
Selain itu, pendekatan kuantitatif (jumlah alat bukti) tanpa memperhatikan aspek urgensi dan keadaan obyektif atas kebutuhan membatasi kemerdekaan seseorang mendapat penolakan oleh koalisi. Dalam prinsip hak asasi manusia, penangkapan seharusnya hanya dilakukan ketika benar-benar ada alasan kuat bahwa penangkapan itu perlu, bukan hanya berdasar angka minimal alat bukti. Penangkapan dengan alasan yang cukup diperlukan untuk menjelaskan pembatasn ruang gerak lewat penangkapan dengan tujuan untuk melakukan pemeriksaan.
Pasal 89 RUU KUHAP
Ayat (1) “Penangkapan dilakukan oleh Penyidik dengan memperlihatkan surat tugas kepada Tersangka.”
Ayat (2) “Selain surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik harus memberikan surat perintah Penangkapan kepada Tersangka yang berisi:
identitas Tersangka;
alasan Penangkapan;
uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan; dan
tempat Tersangka diperiksa.
Ayat (3) “Tembusan surat perintah Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diberikan kepada Keluarga Tersangka atau orang yang ditunjuk Tersangka paling lama 1 (satu) Hari terhitung sejak Penangkapan dilakukan.”
Ayat (4) “Dalam hal Tertangkap Tangan, Penangkapan dilakukan tanpa surat perintah Penangkapan.”
Ayat (5) “Pihak yang melakukan Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti kepada Penyidik atau Penyidik Pembantu.”
Tanggapan Koalisi:
Koalisi menilai, hal ini membuka ruang penangkapan sewenang-wenang oleh penyidik karena tidak ada mekanisme kontrol dari hakim di tahap awal. Standar internasional mengharuskan penangkapan harus mendapat atau diverifikasi segera oleh otoritas yudisial yang independen untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Karena minimnya pengawasan yudisial, Pasal 89 dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Koalisi menyoroti pengalaman-pengalaman orang yang pernah menjadi korban salah tangkap atau penangkapan sewenang-wenang. Ketika kewenangan besar diberikan ke penyidik tanpa “checks and balances”, potensi praktik penyiksaan, intimidasi, dan kriminalisasi meningkat.
Pasal 90 ayat (2) dan ayat (3) RUU KUHAP
Ayat (2): “Dalam hal tertentu, Penangkapan dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) Hari.”
Ayat (3): “Kelebihan waktu Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperhitungkan sebagai masa Penahanan.”
Tanggapan Koalisi:
Pasal 90 ayat (2) mengatur bahwa penangkapan dapat diperpanjang melebihi satu hari "dalam keadaan tertentu", tapi tanpa merumuskan secara detail apa yang jadi batasan “keadaan tertentu” itu serta berapa total maksimal waktu penangkapan. Hal ini dianggap bertentangan dengan prinsip due process of law dan standar hak asasi manusia internasional yang mengharuskan tersangka dihadapkan ke hakim dalam waktu singkat (umumnya tidak lebih dari 48 jam). Ketidakjelasan batas waktu membuka peluang praktik penahanan tanpa putusan yudisial secara sewenang-wenang.
Ayat (3) memang menyatakan masa penangkapan yang melebihi satu hari dihitung sebagai bagian dari masa penahanan, namun tanpa jaminan bahwa tersangka harus segera dihadapkan ke pengadilan. Artinya, tersangka tetap dapat berada dalam upaya paksa tanpa adanya pengujian yudisial atas keabsahan penangkapan dan penahanan. Koalisi menilai hal ini mengabaikan prinsip "judicial oversight" yang menjadi rambu utama perlindungan hak-hak tersangka.
Penangkapan tanpa batas waktu yang jelas membuka peluang penyalahgunaan. International Human Rights Standard mewajibkan penangkapan maksimal 48 jam, kemudian tersangka harus dihadapkan ke hakim. Tidak ada keharusan menghadapkan fisik tersangka ke hakim setelah penangkapan.
Pasal 93 ayat (5) RUU KUHAP
“Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92, dilakukan terhadap Tersangka atau Terdakwa yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti yang sah jika Tersangka atau Terdakwa:
mengabaikan panggilan Penyidik sebanyak 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan;
tidak bekerja sama dalam pemeriksaan;
menghambat proses pemeriksaan;
berupaya melarikan diri;
berupaya merusak dan menghilangkan barang bukti;
melakukan ulang tindak pidana; dan/atau
terancam keselamatannya atas persetujuan atau permintaan Tersangka atau Terdakwa.
Mempengaruhi saksi untuk tidak mengatakan kejadian sebenarnya."
Tanggapan Koalisi:
RUU KUHAP memperluas alasan penahanan dari sebelumnya 3 (di KUHAP lama) menjadi 9 alasan. Di antara alasan baru tersebut—seperti "memberikan informasi tidak sesuai fakta saat pemeriksaan," "tidak bekerja sama," atau "menghambat proses pemeriksaan"—dinilai sangat subjektif dan berpotensi multitafsir. Koalisi menilai, istilah-istilah seperti "tidak kooperatif" ataupun "menghambat proses" tidak diberi definisi jelas, sehingga berisiko besar dijadikan alat bagi penyidik untuk menahan siapa saja tanpa ukuran obyektif atau standar hukum yang pasti.
Selain itu, pasal ini dianggap bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan hukum acara pidana yang memberi hak tersangka/terdakwa untuk tidak menjawab atau memberikan keterangan yang memberatkan diri sendiri (hak ingkar). Jika tidak kooperatif atau memberikan keterangan tidak sesuai fakta bisa dijadikan alasan menahan, maka hak tersebut jadi terancam karena siapa pun yang memilih diam atau tidak mengakui tuduhan bisa langsung dikenai penahanan atas dasar interpretasi penyidik.
Pasal 105 huruf e RUU KUHAP
“Untuk kepentingan Penyidikan, Penyidik dapat melakukan Penggeledahan:
e. informasi elektronik”
Tanggapan Koalisi:
Koalisi mencatat bahwa pasal ini mengatur penggeledahan informasi elektronik, namun tidak secara tegas membedakan antara penggeledahan atas data/informasi elektronik dan perangkat penyimpannya. Dalam praktiknya, penggeledahan justru dilakukan pada perangkat, bukan data yang tersimpan. Ketidakjelasan ini dianggap membahayakan karena membuka ruang penyidik untuk menyalahgunakan kewenangannya tanpa batasan tegas apa yang dapat diperiksa atau tidak pada perangkat elektronik seseorang. Koalisi menuntut agar pengaturan lebih spesifik—bahwa setiap penggeledahan harus ditujukan pada perangkat tertentu dan dilegitimasi secara eksplisit oleh izin pengadilan.
Selain itu, penggeledahan elektronik adalah bentuk pembatasan hak privat yang sangat sensitif. Namun, Pasal 105 huruf e tidak menetapkan syarat ketat, batasan ruang lingkup, atau parameter obyektif tentang kapan dan terhadap apa penggeledahan dapat dilakukan. Hal ini membuka ruang penyalahgunaan dan berpotensi melanggar prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia serta menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pasal 106 ayat (4) RUU KUHAP
“Dalam keadaan mendesak, Penyidik dapat melakukan Penggeledahan tanpa izin dari ketua pengadilan negeri.”
Tanggapan Koalisi:
Istilah “keadaan mendesak” yang menjadi dasar penggeledahan tanpa izin pengadilan tidak dijelaskan secara jelas dalam isi pasal, hanya diberikan di bagian penjelasan (atau bahkan kerap ambigu). Akibatnya, tidak ada standar objektif kapan penyidik bisa langsung melakukan penggeledahan, sehingga membuka ruang interpretasi bebas dan risiko penyalahgunaan. Koalisi menuntut agar indikator atau definisi “mendesak” dimasukkan secara langsung dalam norma pasal, bukan sekadar di penjelasan, agar bisa dibedakan dengan jelas dan dapat diuji secara yudisial.
Selain itu, kewenangan untuk menggeledah tanpa izin pengadilan dalam keadaan “mendesak” dinilai sangat rawan karena tidak ada verifikasi langsung dari lembaga independen (hakim) sebelum hak privasi warga dirampas. Koalisi menegaskan, penggeledahan adalah bentuk upaya paksa yang paling intrusif terhadap hak asasi, sehingga harus selalu dengan supervisi pengadilan kecuali benar-benar dalam situasi luar biasa dan didefinisikan ketat.
Pasal 112 ayat (2) RUU KUHAP
“Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya”
Tanggapan Koalisi:
Koalisi menyoroti ketidakjelasan makna “keadaan mendesak” yang menjadi dasar penyitaan tanpa izin pengadilan. Istilah ini hanya disebut di teks pasal atau penjelasan umum, tanpa indikator objektif atau batasan tegas di norma hukum. Akibatnya, situasi yang dapat dikategorikan sebagai “keadaan mendesak” berada sepenuhnya pada penilaian subjektif penyidik dan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang.
Selain itu, tidak cukup hanya mewajibkan penyidik melaporkan dalam 1-2 hari ke pengadilan setelah tindakan dilakukan, karena tanpa kontrol atau supervisi hakim sebelum tindakan, potensi pelanggaran hak milik dan kepastian hukum tetap tinggi. Selain itu, tata cara penolakan dan pengembalian barang hasil sita juga tidak diatur jelas, sehingga posisi korban penyitaan sangat rentan.
Penutup
Rangkaian pasal upaya paksa dalam RUU KUHAP 2025 menjadi perdebatan sengit. Kelompok Koalisi Masyarakat Sipil menilai ketidakjelasan dan perluasan makna “keadaan mendesak”, penambahan alasan yang subjektif, serta minim pengawasan hakim memperbesar risiko pelanggaran HAM dan kriminalisasi. Sementara, pemerintah dan DPR menganggap perubahan ini solusi untuk hambatan penegakan hukum dan upaya menciptakan proses hukum yang lebih efektif namun tetap akuntabel.
Referensi
Institute for Criminal Justice Reform. (2025). Meaningful Manipulation RUU KUHAP: Rancangan Kitab Undang-Undang Harapan Palsu. ICJR. URL: https://icjr.or.id/meaningful-manipulation-ruu-kuhap-rancangan-kitab-undang-undang-har/. Diakses pada 30 Juli 2025.
Institute for Criminal Justice Reform. (2025). Sembilan Masalah dalam RUU KUHAP. ICJR. URL: https://icjr.or.id/sembilan-masalah-dalam-ruu-kuhap/. Diakses pada 30 Juli 2025.
Koalisi Masyarakat Sipil. (2025). Rilis Pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP: Koalisi Menuntut Sembilan Materi Krusial dalam RUU KUHAP Dibahas Secara Mendalam dan Tidak Buru-Buru. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). URL: https://ylbhi.or.id/informasi/siaran-pers/koalisi-menuntut-sembilan-materi-krusial-dalam-ruu-kuhap-dibahas-secara-mendalam-dan-tidak-buru-buru/. Diakses pada 30 Juli 2025.
LBH Jakarta. (2025). Cek Kosong Pembaharuan KUHAP: Lima Alasan RUU KUHAP Masih Belum Menjawab Masalah Sistemik Peradilan Pidana. LBH Jakarta. URL: https://bantuanhukum.or.id/cek-kosong-pembaharuan-kuhap-lima-alasan-ruu-kuhap-masih-belum-menjawab-masalah-sistemik-peradilan-pidana/. Diakses pada 30 Juli 2025.
Naomi Lyandra dan Siska Mutakin. (2025). Revisi KUHAP: Masih Banyak Pasal Bermasalah, Cerita Korban Ketidakadilan, Desakan Perbaikan Substansi. KBR. URL: https://kbr.id/articles/indeks/revisi-kuhap-masih-banyak-pasal-bermasalah-cerita-korban-ketidakadilan-desakan-perbaikan-substansi. Diakses pada 30 Juli 2025.
Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Maret 2025.
Tri Sutrisna dan Ardito Ramadhan. (2025). Koalisi Masyarakat Datangi DPR, Desak Pembahasan RUU KUHAP Tak Tergesa-gesa. Kompas. URL: https://nasional.kompas.com/read/2025/04/08/16551601/koalisi-masyarakat-datangi-dpr-desak-pembahasan-ruu-kuhap-tak-tergesa-gesa. Diakses pada 30 Juli 2025.