Revolusi Anti-Korupsi: Menguak Kegagalan Asumsi Rasionalitas dengan Behavioural Economics

PIDANA

Insyirah Fatihah Hidayat

7/22/20253 min read

Pendahuluan

Korupsi, layaknya penyakit kronis, terus menggerogoti sendi-sendi pembangunan di Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari penguatan regulasi, peningkatan kapasitas penegak hukum, hingga penerapan sanksi pidana yang berat. Namun, mengapa prevalensinya masih tinggi? Tingkat kasus korupsi pun semakin merajarela di Indonesia disebabkan oleh dasar hukum yang tidak diatur secara tegas, contohnya private sector corruption, illicit enrichment, trading of influence, dan foreign bribery. Pertanyaan ini bermuara pada suatu titik refleksi: apakah pendekatan yang kita gunakan selama ini sudah cukup komprehensif?

Diskursus anti-korupsi umumnya didominasi oleh hukum formal dan pendekatan institusional. Meskipun krusial, perspektif ini seringkali abai terhadap faktor kunci: bagaimana manusia sebenarnya membuat keputusan, terutama di tengah godaan dan dilema etika? Di sinilah behavioural economics atau ekonomi perilaku menawarkan perspektif baru yang memadukan antara psikologi dan ekonomi, menantang asumsi klasik tentang "manusia rasional" (homo economicus) dan menunjukkan bahwa keputusan kita seringkali dipengaruhi oleh bias kognitif, emosi, dan konteks sosial.

Pembahasan

Kegagalan Asumsi Rasionalitas dalam Kebijakan Anti-Korupsi Konvensional

Kebijakan anti-korupsi tradisional seringkali dibangun di atas asumsi sederhana: jika biaya (risiko tertangkap dan hukuman) lebih besar dari manfaat (keuntungan dari korupsi), maka individu rasional tidak akan korupsi. Teori deterrence klasik ini mengandaikan bahwa calon koruptor akan menghitung probabilitas tertangkap, tingkat hukuman, dan potensi keuntungan secara matematis.

Namun, behavioural economics menunjukkan bahwa asumsi ini terlalu simplistis:

  1. Rasionalitas Terbatas (Bounded Rationality): Manusia tidak selalu memiliki kapasitas kognitif, waktu, atau informasi yang sempurna untuk membuat keputusan optimal. Dalam konteks korupsi, individu mungkin meremehkan risiko tertangkap (optimism bias), atau tidak sepenuhnya memahami konsekuensi jangka panjang dari tindakan mereka.

  2. Bias Kognitif:

    • Optimism Bias: Individu cenderung meyakini bahwa mereka lebih tidak mungkin mengalami nasib buruk dibandingkan orang lain. Seorang calon koruptor mungkin berpikir, "Orang lain tertangkap, tapi saya tidak."

    • Framing Effect: Cara informasi disajikan dapat memengaruhi pilihan. Sanksi yang difokuskan pada "kerugian" (misalnya, denda besar) mungkin lebih efektif daripada "kehilangan kesempatan" (misalnya, kehilangan reputasi), tergantung pada preferensi risiko individu.

    • Discounting Masa Depan (Present Bias/Hyperbolic Discounting): Manusia cenderung lebih menghargai keuntungan instan daripada konsekuensi negatif di masa depan. Keuntungan tunai dari korupsi terasa nyata saat ini, sementara risiko hukuman penjara adalah prospek yang jauh.

    • Sunk Cost Fallacy: Setelah melakukan tindakan korupsi awal, individu mungkin merasa "terlanjur basah" dan terus melanjutkan tindakan serupa untuk membenarkan investasi awal mereka, meskipun risikonya meningkat.

  3. Pengaruh Sosial dan Norma: Keputusan individu sangat dipengaruhi oleh apa yang dilakukan atau diyakini orang lain di sekitarnya. Jika korupsi dianggap sebagai "norma" atau "hal biasa" di suatu lingkungan, atau jika ada persepsi bahwa "semua orang melakukannya," maka individu akan lebih cenderung mengikutinya, terlepas dari risiko hukum. Konformitas sosial (social conformity) dapat menekan moralitas individu.

Menggali Akar Korupsi dari Perspektif Perilaku
Dengan memahami bias-bias di atas, kita dapat menggali akar korupsi secara lebih mendalam:
  1. Dilema Sosial Korupsi: Korupsi seringkali merupakan dilema tahanan (prisoner's dilemma) skala besar. Setiap individu memiliki insentif untuk berkolusi (korupsi) demi keuntungan pribadi, meskipun jika semua orang melakukan itu, hasil akhirnya adalah kerugian kolektif (rusaknya sistem, pembangunan terhambat). Namun, karena ketidakpastian dan kurangnya kepercayaan, sulit bagi individu untuk secara unilateral memilih untuk jujur.

  2. Moral Licensing: Individu yang telah melakukan tindakan positif (misalnya, menjadi sukarelawan) kadang merasa "berhak" untuk melakukan tindakan negatif berikutnya. Dalam konteks korupsi, seorang pejabat yang merasa telah bekerja keras atau melakukan banyak hal baik, mungkin merasa dibenarkan untuk menerima suap kecil.

  3. Motivasi Intrinsik vs. Ekstrinsik: Kebijakan anti-korupsi sering hanya berfokus pada motivasi ekstrinsik (hukuman dan insentif finansial). Namun, moralitas, etika, dan kebanggaan diri adalah motivasi intrinsik yang kuat. Jika kebijakan terlalu menekankan kontrol dan hukuman, hal itu dapat mengikis motivasi intrinsik untuk berlaku jujur.

  4. Fenomena "Slippery Slope": Korupsi jarang dimulai dengan tindakan besar. Seringkali, individu memulai dengan pelanggaran kecil, yang kemudian secara bertahap memburuk menjadi tindakan yang lebih besar karena adanya penyesuaian moral dan normalisasi perilaku yang salah.

Penutup

Korupsi adalah fenomena kompleks yang berakar pada interaksi antara individu, sistem, dan lingkungan sosial. Pendekatan hukum dan institusional konvensional, meskipun fundamental, seringkali gagal menangkap nuansa perilaku manusia. Dengan mengintegrasikan wawasan dari behavioural economics, kita dapat bergerak melampaui sanksi semata menuju kebijakan anti-korupsi yang lebih cerdas dan efektif.

Referensi

Ariely, Dan. (2008). Predictably Irrational: The Hidden Forces That Shape Our Decisions. Harper Perennial.

Gino, Francesca, & Bazerman, Max H. When Misconduct Goes Unnoticed: The Acceptability of Gradually Increasing Unethical Actions. Journal of Experimental Social Psychology Vol. 45 No. 4, 2009.

Kahneman, Daniel. (2011). Thinking, Fast and Slow. Farrar, Straus and Giroux.

Lambsdorff, Johann Graf. (2007). The New Institutional Economics of Corruption. Routledge.

Putra, Nino Eka. (2021). Webinar Series LPEM FEB UI, IBEF, Nudge Plus, Behavioural Economics and Laboratory Experiment: Interaction and Game. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada. URL: https://feb.ui.ac.id/2021/02/06/webinar-series-lpem-feb-ui-ibef-nudge-plus-behavioural-economics-and-laboratory-experiment-interaction-and-game/.