Remisi: Pengurangan Masa Pidana dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia
PIDANA


Pendahuluan
Sistem pemasyarakatan di Indonesia tidak hanya memandang narapidana sebagai pihak yang harus menerima hukuman, tetapi juga sebagai individu yang berpeluang untuk melakukan perubahan dan reintegrasi ke dalam masyarakat. Remisi, yang berarti pengurangan masa pidana bagi narapidana yang berkelakuan baik, merupakan bagian penting dari proses ini sebagai wujud penghargaan negara atas upaya perbaikan diri narapidana selama masa pidana. Meskipun remisi diatur secara jelas dalam berbagai peraturan perundang-undangan, penerapannya kerap menimbulkan beragam respons dari masyarakat, terutama terkait pemberian remisi kepada narapidana kasus-kasus berat seperti korupsi dan terorisme.
Pembahasan
Definisi Remisi
Remisi dalam sistem hukum Indonesia merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh narapidana dalam rangka pembinaan dan reintegrasi sosial. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), remisi adalah pengurangan hukuman yang diberikan kepada orang yang terhukum. Namun, pengertian ini perlu dipahami lebih mendalam melalui perspektif para ahli hukum dan regulasi yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999, remisi didefinisikan sebagai pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana, terkecuali yang dipidana mati atau seumur hidup. Sementara menurut Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 6, remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Andi Hamzah, dalam karyanya tentang Kamus Hukum, memberikan pengertian yang lebih luas bahwa remisi adalah pembebasan untuk seluruhnya atau sebagian atau dari hukuman seumur hidup menjadi hukuman terbatas yang diberikan setiap tanggal 17 Agustus. Sementara Soedarsono dalam Kamus Hukum mendefinisikan remisi sebagai pengampunan hukuman yang diberikan kepada seseorang yang dijatuhi hukuman pidana.
Dari perspektif teori hukum, remisi merupakan manifestasi dari filosofi pemasyarakatan yang tidak lagi menekankan pada aspek balas dendam dan penjeraan semata, melainkan sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial narapidana. Sistem pemasyarakatan yang dianut Indonesia bertujuan agar narapidana menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat.
Pemberian remisi bukan dimaksudkan untuk mengurangi arti pemidanaan atau mempermudahnya, melainkan memiliki tujuan yang lebih konstruktif. Tujuan tersebut antara lain untuk memotivasi narapidana berkelakuan baik secara terus-menerus, mengurangi dampak psikis akibat perampasan kemerdekaan, menekan tingkat frustasi untuk meminimalisir gangguan keamanan di lapas, dan memberikan harapan bagi narapidana untuk kembali ke masyarakat melalui proses pemasyarakatan yang sehat.
Dasar Hukum Remisi
Dasar hukum utama remisi adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, khususnya Pasal 14 ayat (1) huruf i yang menyatakan bahwa narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Sebagai peraturan pelaksana, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Peraturan ini kemudian mengalami dua kali perubahan, yaitu melalui PP Nomor 28 Tahun 2006 dan PP Nomor 99 Tahun 2012.
PP Nomor 99 Tahun 2012 merupakan regulasi yang memperketat syarat pemberian remisi, khususnya bagi narapidana tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika, dan kejahatan luar biasa lainnya. Namun, peraturan ini kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 28/P/HUM/2021 karena dianggap diskriminatif.
Pemberian remisi diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi. Keppres ini mengatur secara detail mengenai jenis-jenis remisi, besaran remisi, dan mekanisme pemberiannya. Selain itu, terdapat pula Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018 yang telah diubah dengan Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 dan Permenkumham Nomor 7 Tahun 2022 yang mengatur syarat dan tata cara pemberian remisi secara lebih rinci.
Landasan konstitusional pemberian remisi dapat ditelusuri dari Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pemberian remisi merupakan salah satu bentuk perlindungan hak asasi narapidana dalam sistem pemasyarakatan.
Dengan berlakunya UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, Indonesia memiliki regulasi pemasyarakatan yang lebih komprehensif dan sesuai dengan perkembangan zaman. Undang-undang ini memperkuat konsep reintegrasi sosial dan keadilan restoratif dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.
Kriteria Utama Untuk Mendapatkan Remisi
Pemberian remisi kepada narapidana tidak bersifat otomatis, melainkan harus memenuhi sejumlah kriteria yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Kriteria utama ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa remisi diberikan kepada narapidana yang benar-benar menunjukkan perubahan perilaku positif dan komitmen untuk tidak mengulangi tindak pidana.
Syarat umum yang harus dipenuhi oleh setiap narapidana berdasarkan Pasal 34 ayat (2) PP Nomor 99 Tahun 2012 adalah berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan. Kriteria berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 bulan terakhir sebelum tanggal pemberian remisi, dan telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan lembaga pemasyarakatan dengan predikat baik.
Persyaratan berkelakuan baik merupakan aspek dasar dalam pemberian remisi. Narapidana harus menunjukkan konsistensi dalam mematuhi tata tertib lembaga pemasyarakatan, tidak melakukan pelanggaran yang dicatat dalam buku register pelanggaran, dan aktif mengikuti program-program pembinaan yang tersedia. Program pembinaan ini meliputi kegiatan kerohanian, pendidikan, keterampilan, dan aktivitas sosial lainnya yang bertujuan untuk mempersiapkan reintegrasi narapidana ke masyarakat.
Batas waktu minimal menjalani masa pidana selama 6 bulan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada lembaga pemasyarakatan melakukan penilaian yang objektif terhadap perkembangan perilaku narapidana. Periode ini dianggap cukup untuk mengamati konsistensi perubahan sikap dan komitmen narapidana dalam mengikuti program pembinaan.
Untuk narapidana tindak pidana khusus seperti terorisme, narkotika, dan korupsi, sebelumnya diberlakukan syarat tambahan berdasarkan Pasal 34A PP Nomor 99 Tahun 2012. Namun, setelah pembatalan oleh Mahkamah Agung, syarat-syarat khusus tersebut tidak lagi berlaku.
Narapidana terorisme sebelumnya harus memenuhi syarat tambahan berupa: telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh lembaga pemasyarakatan dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, menyatakan ikrar kesetiaan kepada NKRI secara tertulis (bagi WNI), atau berjanji tidak mengulangi tindak pidana terorisme secara tertulis (bagi WNA).
Narapidana korupsi sebelumnya diwajibkan untuk bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya (justice collaborator) dan telah membayar lunas denda serta uang pengganti sesuai putusan pengadilan. Syarat justice collaborator dimaksudkan untuk mendorong narapidana korupsi memberikan informasi yang dapat membantu mengungkap jaringan korupsi yang lebih luas.
Pengecualian pemberian remisi diberlakukan untuk narapidana yang sedang menjalani cuti menjelang bebas, sedang menjalani pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda, atau narapidana yang dikenakan hukuman disiplin dan terdaftar dalam buku pelanggaran tata tertib lembaga pemasyarakatan dalam kurun waktu yang diperhitungkan untuk pemberian remisi.
Penilaian berkelakuan baik dilakukan oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan mengenai program pembinaan narapidana. TPP terdiri dari unsur lembaga pemasyarakatan, tokoh masyarakat, dan instansi terkait yang melakukan penilaian komprehensif terhadap perkembangan narapidana.
Prosedur Pemberian Remisi
Prosedur pemberian remisi di Indonesia mengikuti mekanisme yang sistematis dan melibatkan berbagai institusi untuk memastikan objektivitas dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan. Proses ini dimulai dari tingkat lembaga pemasyarakatan hingga tingkat pusat di Kementerian Hukum dan HAM.
Tahap inisiasi dimulai dengan penilaian oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Daerah di lembaga pemasyarakatan tempat narapidana menjalani pidana. TPP melakukan sidang untuk membahas kelayakan narapidana mendapatkan remisi berdasarkan data-data pendukung yang meliputi: salinan daftar F yang memuat pelanggaran tata tertib selama masa tahanan, salinan vonis atau fotokopi yang disahkan Kepala Lapas, laporan penelitian masyarakat dari Balai Pemasyarakatan, dan fotokopi kartu pembinaan.
Kepala Lembaga Pemasyarakatan memiliki peran sentral dalam proses pengusulan remisi. Setelah mendapat rekomendasi dari TPP Daerah, Kepala Lapas meneruskan usulan remisi kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM dalam jangka waktu 14 hari sejak diterimanya rekomendasi. Usulan tersebut harus dilengkapi dengan berbagai dokumen administratif dan substantif yang menunjukkan kelayakan narapidana.
Kepala Kantor Wilayah selanjutnya melakukan verifikasi dan penilaian dengan melibatkan TPP Wilayah. Setelah mempertimbangkan masukan dari TPP Wilayah, Kepala Kantor Wilayah memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak usulan dalam jangka waktu 14 hari setelah menerima usulan dari Kepala Lapas. Apabila disetujui, usulan diteruskan kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan di tingkat pusat.
Di tingkat pusat, Direktur Jenderal Pemasyarakatan melakukan kajian final dengan melibatkan TPP Pusat. Setelah mempertimbangkan seluruh aspek hukum, administratif, dan substantif, Direktur Jenderal Pemasyarakatan dapat menetapkan pemberian remisi atau meneruskan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk kasus-kasus tertentu yang memerlukan pertimbangan khusus.
Sistem pemberian remisi di Indonesia mengenal beberapa jenis yang diberikan pada waktu tertentu. Remisi umum diberikan setiap tanggal 17 Agustus dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Remisi khusus diberikan pada hari besar keagamaan yang dianut narapidana, dengan ketentuan apabila suatu agama memiliki lebih dari satu hari besar keagamaan dalam setahun, maka dipilih hari besar yang paling dimuliakan.
Besaran remisi yang diberikan bervariasi tergantung pada lamanya masa pidana yang telah dijalani. Untuk remisi umum, narapidana yang telah menjalani pidana 6-12 bulan mendapat remisi 1 bulan, sedangkan yang telah menjalani pidana 12 bulan atau lebih mendapat remisi 2 bulan pada tahun pertama. Pada tahun-tahun berikutnya, besaran remisi meningkat secara bertahap: tahun kedua 3 bulan, tahun ketiga 4 bulan, tahun keempat dan kelima masing-masing 5 bulan, dan tahun keenam seterusnya 6 bulan setiap tahun.
Remisi tambahan dapat diberikan kepada narapidana yang berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan, atau membantu kegiatan pembinaan di lembaga pemasyarakatan. Besaran remisi tambahan adalah setengah dari remisi umum yang diperoleh pada tahun bersangkutan untuk yang berbuat jasa kepada negara, dan sepertiga dari remisi umum untuk yang membantu kegiatan pembinaan sebagai pemuka.
Modernisasi sistem pemberian remisi kini telah menggunakan Sistem Database Pemasyarakatan (SDP) yang memungkinkan pengajuan remisi secara online. Sistem ini meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam proses pemberian remisi, serta memudahkan monitoring dan evaluasi.
Pemberian Remisi oleh Presiden
Sepanjang sejarah Indonesia, terdapat berbagai contoh pemberian remisi yang mencerminkan kebijakan dan pertimbangan khusus dari pemerintah. Pemberian remisi ini tidak hanya terbatas pada narapidana umum, tetapi juga melibatkan kasus-kasus yang mendapat perhatian publik tinggi.
Abu Bakar Ba'asyir, terpidana kasus terorisme, merupakan salah satu contoh yang paling dikenal publik. Ba'asyir divonis 15 tahun penjara pada tahun 2011 atas keterlibatannya dalam pendanaan pelatihan terorisme di Aceh. Selama menjalani hukuman di Lapas Gunung Sindur, Ba'asyir mendapatkan berbagai jenis remisi yang totalnya mencapai 55 bulan, terdiri dari remisi umum, dasawarsa, khusus, Idul Fitri, dan remisi sakit berkepanjangan. Ba'asyir akhirnya dibebaskan pada 8 Januari 2021 setelah menjalani masa tahanan yang dipotong remisi.
Gayus Tambunan, mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang terlibat kasus penggelapan pajak, juga mendapat remisi 6 bulan saat peringatan HUT RI ke-75 tahun 2020. Pemberian remisi ini menunjukkan bahwa narapidana korupsi yang memenuhi syarat administratif dan berkelakuan baik selama di lapas tetap dapat memperoleh haknya.
Pada HUT RI ke-74 tahun 2019, pemerintah memberikan remisi kepada 338 narapidana korupsi. Kebijakan ini menuai kritik dari berbagai kalangan, terutama Indonesia Corruption Watch (ICW), yang menilai pemberian remisi tersebut tidak memperhatikan syarat khusus yang seharusnya dipenuhi narapidana korupsi sesuai PP Nomor 99 Tahun 2012.
Anggodo Widjojo, terpidana kasus korupsi yang ditangani KPK, menjadi contoh kontroversial pemberian remisi untuk koruptor. Divonis 10 tahun penjara oleh Mahkamah Agung pada 2010, Anggodo menerima remisi sebanyak 29 bulan atau 2 tahun 5 bulan hingga 2014. Kasus ini menunjukkan bagaimana sistem remisi yang ada saat itu masih memberikan kemudahan kepada narapidana korupsi.
Aulia Tantowi Pohan (korupsi aliran dana BI), mantan Bupati Kendal Hendy Boedoro (korupsi APBD Kendal), dan Artalyta Suryani (terpidana suap terhadap jaksa) merupakan contoh-contoh lain koruptor yang mendapat remisi dalam berbagai periode. Pemberian remisi kepada para koruptor ini seringkali menimbulkan perdebatan mengenai efektivitas efek jera dalam pemberantasan korupsi.
Dalam HUT RI ke-78 tahun 2023, Kementerian Hukum dan HAM memberikan remisi kepada 175.510 narapidana, dengan 2.606 orang mendapat remisi umum II (langsung bebas) dan 172.904 orang mendapat remisi umum I (pengurangan sebagian). Data ini menunjukkan skala besar pemberian remisi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.
Narapidana terorisme juga tidak luput dari pemberian remisi. Kemenkumham mencatat sebanyak 50 narapidana terorisme mendapat remisi pada HUT RI tahun 2021. Pemberian remisi kepada narapidana terorisme ini menimbulkan perdebatan mengenai kesiapan mereka untuk kembali ke masyarakat dan efektivitas program deradikalisasi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah menyetujui penghentian pemberian remisi kepada terpidana kejahatan terorganisasi, terutama korupsi dan terorisme pada tahun 2011. Kebijakan ini menunjukkan komitmen pemerintah saat itu untuk memberikan efek jera yang lebih kuat kepada pelaku kejahatan luar biasa.
Pemberian remisi secara konsisten menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia menjalankan sistem pemasyarakatan yang berorientasi pada rehabilitasi dan reintegrasi sosial, meskipun dalam beberapa kasus menimbulkan kontroversi dan perdebatan publik mengenai keadilan dan efektivitas sistem hukum pidana.
Pemberian Remisi yang Menimbulkan Kontroversi
Beberapa kasus pemberian remisi dalam sejarah Indonesia telah menimbulkan kontroversi hebat dan perdebatan publik yang intens. Kasus-kasus ini tidak hanya mempertanyakan aspek teknis hukum, tetapi juga menyentuh rasa keadilan masyarakat dan efektivitas sistem hukum pidana Indonesia.
Kasus I Nyoman Susrama merupakan contoh paling kontroversial dalam pemberian remisi di Indonesia. Susrama, yang divonis seumur hidup atas pembunuhan wartawan Radar Bali AA Gde Bagus Narendra Prabangsa pada 2009, mendapat remisi dari Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2018. Remisi ini mengubah hukuman dari seumur hidup menjadi 20 tahun penjara, yang menuai protes keras dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan berbagai kalangan pers.
Pembunuhan Prabangsa terjadi pada Februari 2009 dan berkaitan dengan pemberitaan investigatif mengenai dugaan korupsi proyek-proyek di Dinas Pendidikan Bangli yang ditulis Prabangsa pada Desember 2008. Kasus ini menjadi satu-satunya kasus pembunuhan wartawan yang berhasil diungkap tuntas di Indonesia, sehingga pemberian remisi kepada Susrama dianggap sebagai kemunduran bagi kebebasan pers.
Protes masif dari kalangan jurnalis muncul di 15 kota di Indonesia pada 25 Januari 2019. Para wartawan menuntut Presiden Jokowi membatalkan remisi dengan alasan bahwa pemberian remisi kepada pelaku kekerasan terhadap wartawan akan memberikan sinyal buruk dan mengancam kemerdekaan pers. Ketua AJI Indonesia Abdul Manan menyatakan bahwa kasus Prabangsa awalnya menjadi preseden baik karena dalang pembunuhan diadili dan divonis seumur hidup, namun remisi melukai perasaan komunitas pers.
Presiden Joko Widodo akhirnya merespons tekanan publik dengan membatalkan remisi Susrama pada 8 Februari 2019. Keputusan pembatalan ini didasarkan pada masukan dari masyarakat, khususnya kelompok jurnalis, dan pertimbangan rasa keadilan masyarakat. Pembatalan ini menjadi preseden penting bahwa tekanan publik dapat mempengaruhi keputusan politik tingkat tinggi dalam sistem hukum Indonesia.
Kasus Abu Bakar Ba'asyir juga menimbulkan kontroversi, meskipun akhirnya tidak dibatalkan. Rencana pembebasan Ba'asyir melalui remisi pada awalnya menuai kritik dari berbagai kalangan yang mempertanyakan kesiapan mantan pimpinan Jamaah Anshorut Tauhid ini untuk kembali ke masyarakat. Namun, tim kuasa hukum Ba'asyir berargumen bahwa pemberian remisi telah sesuai dengan perhitungan hukum berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi.
Kontroversi remisi untuk koruptor merupakan perdebatan yang berlangsung terus-menerus. Indonesia Corruption Watch (ICW) secara konsisten mengkritik pemberian remisi kepada narapidana korupsi dengan argumen bahwa korupsi merupakan extraordinary crime yang memerlukan penanganan khusus. ICW mencatat bahwa pada HUT RI ke-74 tahun 2019, sebanyak 338 narapidana korupsi mendapat remisi tanpa memperhatikan syarat khusus yang seharusnya dipenuhi.
Pembatalan PP Nomor 99 Tahun 2012 oleh Mahkamah Agung menjadi kontroversi tersendiri. Putusan MA yang membatalkan ketentuan syarat khusus bagi narapidana korupsi, terorisme, dan narkotika dianggap sebagai kemunduran dalam pemberantasan korupsi. Pakar hukum Herdiansyah Hamzah menilai putusan ini menunjukkan melemahnya politik hukum pemberantasan korupsi pemerintah, seiring dengan pelemahan KPK sejak 2019.
Kritik terhadap sistem pemberian remisi yang terlalu "mekanistik" juga muncul dari berbagai kalangan. Bivitri Susanti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menilai bahwa pemberian remisi seringkali hanya mempertimbangkan aspek administratif seperti kelakuan baik dan lama masa tahanan, tanpa mempertimbangkan profil kasus dan dampaknya terhadap masyarakat. Kritik ini menunjukkan perlunya reformasi sistem pemberian remisi agar lebih mempertimbangkan aspek keadilan substantif, bukan hanya keadilan prosedural.
Kontroversi-kontroversi ini menunjukkan bahwa pemberian remisi bukan hanya masalah teknis hukum, tetapi juga berkaitan dengan legitimasi sistem hukum di mata masyarakat. Kasus-kasus kontroversial tersebut telah mendorong berbagai pihak untuk mengevaluasi dan mereformasi sistem pemberian remisi agar lebih sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dan tujuan pemberantasan kejahatan.
Penutup
Remisi sebagai instrumen hukum dalam sistem pemasyarakatan Indonesia memiliki peran penting dalam upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial narapidana. Meskipun merupakan hak yang dijamin undang-undang, pemberian remisi harus tetap mempertimbangkan keseimbangan antara hak narapidana, rasa keadilan masyarakat, dan tujuan pemidanaan secara keseluruhan.
Referensi
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Anak Agung Ayu Windah Wisnu Kesuma Sari dan Sagung Putri M.E. Purwani. Pengetatan Syarat Pemberian Remisi bagi Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Ditinjau dari Perspektif HAM. Jurnal Harian Regional 8 (4), Juni 2019.
Sigit Kamseno. Tinjauan Yuridis Pemberian Remisi bagi Narapidana Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika Ditinjau dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Studi di LAPAS Klas IIA Serang). Bureauracy Journal: Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance 2 (2), Mei-Agustus 2022.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyaratan.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 28/P/HUM/2021.
Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 18 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.