Pewarisan Menurut KUH Perdata: Sikap Hukum Ahli Waris Terhadap Warisan

PERDATA

Insyirah Fatihah Hidayat

7/11/20253 min read

Pendahuluan

Kematian seseorang adalah peristiwa pasti yang membawa konsekuensi hukum, salah satunya adalah peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan (warisan) kepada para penerusnya (ahli waris). Menurut KUH Perdata Indonesia, seorang ahli waris tidak serta merta mewajibkan seseorang untuk menerima warisan. Hukum memberikan pilihan atau sikap hukum (attitude) kepada ahli waris untuk menentukan nasib hak warisnya. Pilihan ini sangat penting karena warisan, atau yang dikenal sebagai boedel waris, tidak hanya terdiri dari aset (aktiva), seperti tanah, rumah, atau tabungan, tetapi juga mencakup utang-piutang (passiva) yang ditinggalkan oleh pewaris.

Pembahasan

Menurut Pasal 1045 KUHPerdata, tidak seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh kepadanya. Berdasarkan prinsip ini, seorang ahli waris dihadapkan pada tiga pilihan sikap hukum terhadap warisan yang terbuka baginya. Pilihan ini bersifat final; sekali ditentukan, tidak dapat diubah kembali. Ketiga sikap tersebut adalah:

  1. Menerima Penuh (Zuivere Aanvaarding), ahli waris menerima warisan tanpa syarat. Dengan memilih sikap ini, ahli waris menyatakan bersedia menerima seluruh harta peninggalan, baik itu berupa aset (aktiva) maupun utang (passiva). Akibat hukum yang timbul adalah terjadinya percampuran harta antara harta warisan dengan harta pribadi ahli waris. Apabila utang Pewaris melebihi asetnya, ahli waris wajib menanggungnya dengan harta pribadinya.

    • Proses Terjadinya: Berdasarkan Pasal 1048 KUH Perdata, penerimaan penuh dapat terjadi melalui dua cara.

      • Pertama, secara tegas, yaitu dengan membuat akta otentik atau akta di bawah tangan yang menyatakan niatnya untuk menerima warisan.

      • Kedua, secara diam-diam, yaitu ketika ahli waris melakukan perbuatan yang menunjukkan niatnya untuk menerima, seperti menjual aset warisan, menempati rumah warisan, atau mengelola harta peninggalan seolah-olah miliknya sendiri.

    • Konsekuensi Hukum: Konsekuensi terbesar dari penerimaan murni adalah tanggung jawab penuh ahli waris terhadap seluruh utang pewaris. Jika jumlah utang (passiva) ternyata lebih besar dari nilai aset warisan (aktiva), maka ahli waris wajib melunasi sisa utang tersebut dengan menggunakan harta kekayaan pribadinya. Ahli waris tidak dapat berkelit atau membatasi tanggung jawabnya hanya sebatas nilai warisan yang ia terima.

  2. Menerima dengan Hak Istimewa (Beneficiaire Aanvaarding), disebut juga penerimaan benefisir, yaitu menerima warisan dengan hak istimewa atau penerimaan benefisier. Sikap ini pada dasarnya adalah menerima warisan, namun dengan syarat dan batasan tanggung jawab yang jelas. Bahwa ahli waris bersedia menerima warisan, namun tanggung jawabnya atas utang pewaris dibatasi hanya sebesar nilai aset warisan yang diterimanya. Harta pribadi ahli waris akan terlindungi dan tidak akan tercampur dengan harta warisan untuk melunasi utang pewaris.

    • Proses Terjadinya: Berbeda dengan penerimaan murni yang bisa terjadi secara diam-diam, penerimaan benefisier wajib dilakukan secara tegas dan formal. Ahli waris harus menyampaikan pernyataan kepada Panitera Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat warisan itu terbuka (tempat tinggal terakhir pewaris). Pernyataan ini kemudian akan dicatat dalam register yang telah disediakan.

    • Konsekuensi Hukum: Konsekuensi hukum dari pilihan ini adalah adanya pemisahan tegas antara harta pribadi ahli waris dengan harta warisan. Ahli waris hanya bertanggung jawab atas utang-piutang pewaris sebatas jumlah atau nilai aset warisan yang diterimanya. Setelah pernyataan dibuat, akan dilakukan pencatatan atau inventarisasi (boedelbeschrijving) seluruh harta warisan. Sebelum pembagian, panitera akan melakukan pencatatan (inventarisasi) seluruh aset dan utang pewaris untuk memastikan kejelasan nilai bersih warisan. Aset warisan akan digunakan untuk membayar seluruh utang pewaris. Jika ada sisa setelah utang lunas, sisa tersebut menjadi hak ahli waris. Sebaliknya, jika aset tidak mencukupi untuk melunasi utang, ahli waris tidak berkewajiban menanggung sisa utang tersebut dengan harta pribadinya.

  3. Menolak Warisan (Verwerping), sikap ini berarti seorang ahli waris secara tegas menolak atau melepaskan haknya atas warisan. Seseorang yang menolak warisan akan dianggap seolah-olah tidak pernah menjadi ahli waris sejak saat pewaris meninggal dunia. Penolakan ini juga harus dilakukan dengan suatu pernyataan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat warisan itu terbuka.

    • Proses Terjadinya: Sama seperti penerimaan benefisier, penolakan warisan harus dilakukan secara tegas dan formal. Ahli waris wajib membuat pernyataan penolakan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Tidak ada penolakan yang bersifat diam-diam. Keputusan ini bersifat final dan tidak dapat ditarik kembali.

    • Konsekuensi Hukum: Ahli waris yang menolak tidak akan menerima aset apapun dan juga tidak akan dibebani tanggung jawab atas utang pewaris. Bagian warisan yang seharusnya menjadi haknya akan beralih kepada ahli waris lain dalam garis keturunan berikutnya sesuai dengan ketentuan undang-undang (prinsip plaatsvervulling atau penggantian tempat). Keputusan untuk menolak warisan bersifat final dan berlaku surut sejak saat pewaris wafat.

Penutup

Status sebagai ahli waris pada dasarnya memberikan hak, bukan paksaan, untuk menentukan sikap hukum terhadap harta peninggalan. Pilihan fundamental yang tersedia, yaitu menerima penuh, menerima dengan hak istimewa, atau menolak warisan, masing-masing memiliki konsekuensi hukum dan finansial yang berbeda secara signifikan. Keputusan ini menjadi krusial karena akan menentukan sejauh mana tanggung jawab ahli waris terhadap utang yang mungkin ditinggalkan oleh pewaris.

Referensi

J. Satrio. (2015). Hukum Waris Jilid 1 & 2. Bandung: Penerbit Alumni.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23).

Subekti. (2003). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Penerbit Intermasa.