Pewarisan Menurut KUH Perdata: Penggolongan Ahli Waris

PERDATA

Insyirah Fatihah Hidayat

7/8/20252 min read

Pendahuluan

Menurut Pasal 830 KUH Perdata, pewarisan hanya terjadi karena kematian. Selama seseorang masih hidup, hartanya adalah miliknya sepenuhnya. Ketika kematian terjadi, maka terbukalah hak-hak para ahli waris atas harta peninggalan tersebut. KUH Perdata membagi ahli waris ke dalam empat golongan utama berdasarkan hubungan darah dan perkawinan. Sistem ini bersifat individual, di mana setiap ahli waris memiliki hak dan tanggung jawab pribadi atas bagiannya, serta bilateral, yang mengakui hak waris dari garis keturunan ayah maupun ibu.

Pembahasan

KUH Perdata menetapkan sistem penggolongan ahli waris yang bersifat hierarkis dan eksklusif. Artinya, keberadaan ahli waris dari golongan yang lebih tinggi akan menutup hak waris dari golongan yang lebih rendah. Adapun golongan-golongan tersebut terdiri atas:

A. Golongan I: Pasangan dan Keturunan Langsung (Pasal 852 KUH Perdata)

Berdasarkan Pasal 852 KUH Perdata, golongan pertama terdiri atas:

  • Suami atau istri yang hidup terlama;

  • Anak-anak sah pewaris dan keturunan mereka.

Besaran bagian untuk setiap ahli waris di golongan ini adalah sama rata (in capita). Sebagai contoh, jika seorang pria meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri dan dua orang anak, maka harta warisannya akan dibagi tiga, di mana istri dan kedua anak masing-masing mendapatkan 1/3 bagian. Jika salah satu anak telah meninggal lebih dulu namun memiliki keturunan (cucu pewaris), maka cucu tersebut akan menggantikan posisi orang tuanya dan menerima bagian yang sama (plaatsvervulling).

B. Golongan II: Orang Tua dan Saudara Kandung (Pasal 854 KUH Perdata)

Apabila pewaris meninggal dunia tanpa meninggalkan pasangan maupun keturunan (ahli waris Golongan I tidak ada), maka hak waris beralih kepada Golongan II. Berdasarkan Pasal 854 KUH Perdata, golongan ini terdiri dari:

  • Ayah dan ibu kandung pewaris.

  • Saudara-saudari kandung pewaris dan keturunan mereka.

Pembagian pada golongan ini berbeda dari Golongan I. Secara khusus, bagian orang tua dijamin sekurang-kurangnya adalah 1/4 (seperempat) dari harta peninggalan.

Sebagai contoh, jika kedua orang tua masih hidup bersama dengan saudara saudara pewaris, maka ayah dan ibu masing-masing dijamin mendapatkan minimal 1/4 dari harta warisan. Sisanya kemudian dibagi rata di antara para saudara. Jika hanya ada satu orang tua, ia mendapat 1/4 bagian, dan 3/4 sisanya untuk para saudara.

C. Golongan III: Kakek, Nenek, dan Leluhur Selanjutnya (Pasal 853 dan 858 KUH Perdata)

Golongan III baru mendapatkan hak waris jika tidak ada sama sekali ahli waris dari Golongan I dan Golongan II. Golongan ini mencakup:

  • Keluarga dalam garis lurus ke atas setelah ayah dan ibu, yaitu kakek dan nenek dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.

Dalam hal ini, harta warisan akan dibagi dua secara seimbang (kloving). Setengah bagian untuk keluarga garis ayah dan setengah bagian lagi untuk keluarga garis ibu. Leluhur yang paling dekat derajatnya akan mengambil seluruh bagian dari garisnya.

D. Golongan IV: Keluarga Garis Samping (Pasal 861 KUH Perdata)

Ini adalah golongan terakhir yang berhak mewaris, yang terdiri dari keluarga dalam garis samping hingga derajat keenam. Mereka adalah:

  • Paman dan bibi pewaris, baik dari pihak ayah maupun ibu.

  • Keturunan paman dan bibi hingga derajat keenam.

Sama seperti Golongan III, pembagian waris pada Golongan IV juga menggunakan sistem kloving, di mana separuh harta diberikan kepada keluarga garis ayah dan separuh lagi kepada keluarga garis ibu.

Penutup

Penggolongan ahli waris menurut KUH Perdata menggunakan sistem prioritas dan bertujuan memberikan perlindungan utama kepada keluarga inti (pasangan dan anak), sebelum beralih ke kerabat yang lebih jauh. Dengan memahami struktur ini, kita dapat memiliki gambaran yang lebih pasti mengenai hak dan kewajiban dalam hukum waris perdata, yang pada akhirnya dapat meminimalisir potensi konflik dan memastikan peralihan harta berjalan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku di Indonesia.

Referensi

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), khususnya Buku Kedua, Bab Kedua Belas tentang Pewarisan karena Kematian (Pasal 830-1130).