Pewarisan Menurut KUH Perdata: Definisi, Unsur, dan Cara Memperoleh Warisan

PERDATA

Insyirah Fatihah Hidayat

7/7/20252 min read

Pendahuluan

Di Indonesia, terdapat pluralisme hukum pewarisan yang berlaku, yakni Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam, dan Hukum Waris berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Artikel ini akan memfokuskan secara spesifik pada sistem pewarisan yang diatur dalam Buku Kedua KUH Perdata, yang pada prinsipnya berlaku bagi warga negara indonesia non-muslim dan mereka yang secara sukarela menundukkan diri padanya. Artikel ini bertujuan untuk menguraikan secara sistematis mengenai asas-asas fundamental dan mekanisme perolehan warisan menurut KUH Perdata.

Pembahasan

Asas dan Unsur Fundamental Pewarisan

Peristiwa hukum pewarisan timbul karena kematian, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 830 KUH Perdata yang menyatakan, "Pewarisan hanya berlangsung karena kematian." Sejak saat pewaris meninggal dunia, maka seketika itu pula segala hak dan kewajibannya beralih kepada para ahli warisnya. Hal ini dikenal dengan asas le mort saisit le vif, yang berarti orang yang meninggal dunia mewariskan haknya kepada orang yang masih hidup.

Berdasarkan ketentuan hukum, terdapat tiga unsur utama dalam pewarisan:

  1. Pewaris: Subjek hukum yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan.

  2. Ahli Waris (Erfgenaam): Subjek hukum, baik perorangan maupun badan hukum, yang berdasarkan undang-undang atau surat wasiat ditunjuk untuk menggantikan kedudukan hukum Pewaris dalam bidang hukum kekayaan.

  3. Harta Warisan (Boedel): Keseluruhan hak dan kewajiban pewaris yang dapat dinilai dengan uang, yang meliputi aktiva dan pasiva. Berdasarkan Pasal 833 ayat (1) KUH Perdata, para ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang orang yang meninggal.

Cara Memperoleh Warisan

KUH Perdata mengatur dua landasan yuridis bagi seseorang untuk dapat menjadi ahli waris. Hal ini secara eksplisit diatur dalam Pasal 832 KUH Perdata:

"Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau istri yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini. Bila keluarga sedarah dan suami atau istri yang hidup terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik negara, yang wajib melunasi semua utang orang yang meninggal tersebut, sejauh harga harta peninggalan mencukupi untuk itu."

Berdasarkan pasal tersebut dan ketentuan lainnya, cara memperoleh warisan dibagi menjadi:

  1. Pewarisan Berdasarkan Undang-Undang (Successio Ab Intestato)

    Terjadi apabila pewaris tidak membuat suatu kehendak terakhir dalam bentuk surat wasiat (testament), atau apabila surat wasiat yang dibuat tidak sah atau tidak dapat dilaksanakan. Dalam hal ini, undang-undang secara langsung menunjuk siapa saja yang berhak menjadi ahli waris.

  2. Pewarisan Berdasarkan Surat Wasiat (Successio Testamentair)

    Terjadi apabila Pewaris semasa hidupnya telah membuat surat wasiat yang isinya menunjuk seseorang atau beberapa orang untuk menerima harta peninggalannya. Pengertian surat wasiat diatur dalam Pasal 875 KUH Perdata sebagai suatu akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, dan yang olehnya dapat dicabut kembali.

Penutup

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan kerangka hukum mengenai peralihan hak dan kewajiban akibat kematian, KUH Perdata memberikan perlindungan hukum kepada ahli waris melalui hak untuk memilih sikap terhadap warisan yang jatuh kepadanya, guna menghindari akibat hukum yang merugikan. Pemahaman dan penerapan ketentuan-ketentuan ini secara tepat adalah fundamental untuk menjamin terlaksananya kepastian hukum dan mencegah timbulnya sengketa di kemudian hari.

Referensi

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesiƫ).

Subekti, R. (2003). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.