Pentingnya Sertifikasi Halal bagi Pelaku Usaha

PERDATA

Insyirah Fatihah Hidayat

8/11/20258 min read

Pendahuluan

Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia yang mencapai 87,18% dari total penduduk memiliki posisi strategis dalam industri halal global dengan nilai konsumsi mencapai USD 214 miliar. Implementasi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal telah mengubah paradigma sertifikasi halal dari sukarela menjadi wajib, yang resmi berlaku mulai 18 Oktober 2024 dengan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai lembaga penyelenggara utama. Pencapaian Indonesia sebagai peringkat kedua dunia dalam indikator pangan halal dengan skor 94,4 dan pertumbuhan ekspor produk halal yang mencapai USD 41,42 miliar pada periode Januari-Oktober 2024 menunjukkan pentingnya pemahaman mendalam tentang sistem jaminan produk halal bagi pelaku usaha, praktisi hukum, dan seluruh stakeholder dalam ekosistem halal Indonesia.

Pembahasan

Definisi Produk Halal

Produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, produk halal merupakan produk yang sudah dinyatakan halal sesuai dalam syariat Islam. Produk halal harus memenuhi kriteria ketat yang meliputi seluruh aspek produksi, mulai dari bahan baku hingga proses pembuatan. Produk ini harus bebas dari bahan-bahan yang diharamkan dalam Islam, seperti babi dan alkohol, serta tidak tercampur atau terkontaminasi dengan bahan haram selama proses produksi, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian.

Dasar Hukum Produk Halal

Dasar hukum penyelenggaraan jaminan produk halal di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan:

  • Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal merupakan landasan hukum utama yang mengatur penyelenggaraan jaminan produk halal di Indonesia. Undang-undang ini telah mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

  • Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal merupakan peraturan pelaksanaan yang memberikan pedoman teknis penyelenggaraan JPH.

  • Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (pengganti PP 39/2021)

  • Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2023 tentang Sertifikasi Halal Obat, Produk Biologi, dan Alat Kesehatan

  • Peraturan Menteri Agama Nomor 26 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal

  • Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 2021 tentang Kerja Sama Internasional dan Lembaga Halal Luar Negeri

  • Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2021 tentang Sertifikasi Halal bagi Pelaku UMK dan Pelaksanaan Pendampingan PPH

  • Keputusan Menteri Agama Nomor 748 Tahun 2021 tentang Jenis Produk yang Wajib Bersertifikat Halal

  • Keputusan Menteri Agama Nomor 1360 Tahun 2021 tentang Bahan yang Dikecualikan dari Kewajiban Bersertifikat Halal

  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.05/2021 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum BPJPH

  • Peraturan BPJPH Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pembayaran Tarif BLU BPJPH

  • Kepkaban BPJPH Nomor 141 Tahun 2021 tentang Penetapan Tarif Layanan BLU BPJPH

  • Kepkaban BPJPH Nomor 145 Tahun 2022 tentang Penggunaan Logo dan Label Halal

  • Kepkaban BPJPH Nomor 120 Tahun 2022 tentang Standar Pelayanan BPJPH

  • Kepkaban BPJPH Nomor 65 Tahun 2022 tentang Penetapan Lembaga dan Nomor Registrasi Pendamping PPH UMKM

  • Kepkaban BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal

  • Kepkaban BPJPH Nomor 33 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Pendamping PPH Bagi UMKM Self Declare Halal

  • Kepkaban BPJPH Nomor 150 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Pendamping PPH bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil

  • Kepkaban BPJPH Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Kepkaban 150/2022 (Juknis Pendamping PPH Self Declare)

  • Kepkaban BPJPH Nomor 20 Tahun 2023 tentang Perubahan Kriteria Sistem Jaminan Produk Halal

  • Kepkaban BPJPH Nomor 57 Tahun 2023 tentang Manual SJPH untuk Sertifikasi Halal dengan Pernyataan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil (Self Declare)

  • Kepkaban BPJPH Nomor 80 Tahun 2024 tentang Standar Operasional Prosedur Layanan Permohonan Sertifikat Halal dan Fasilitasi Sertifikasi bagi UMK

  • Kepkaban BPJPH Nomor 22 Tahun 2024 tentang Perubahan Keempat atas Kepkaban 141/2021 (Penyesuaian Tarif Layanan)

  • Kepkaban BPJPH Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penetapan Tarif Layanan BLU BPJPH (Perubahan Ketiga atas Kepkaban 141/2021)

Kewajiban Sertifikasi Halal

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 dengan tegas menyatakan bahwa "produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal". Ketentuan ini mengubah sifat sertifikasi halal dari yang semula bersifat sukarela (voluntary) menjadi wajib (mandatory).

Sertifikasi Halal

Sertifikat halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Produk yang Wajib Bersertifikat Halal

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021, produk yang wajib memiliki sertifikat halal meliputi:

  • Makanan dan minuman

  • Bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong

  • Produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan

  • Obat-obatan

  • Kosmetik

  • Produk kimiawi, biologi, dan rekayasa genetik

  • Barang gunaan yang dipakai atau dimanfaatkan masyarakat

Pemberlakuan Bertahap

Kewajiban sertifikasi halal diberlakukan secara bertahap. Penahapan pertama yang berakhir pada 17 Oktober 2024 mencakup produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan untuk usaha menengah dan besar.

Proses Sertifikasi Halal

  1. Alur Sertifikasi Halal

    Proses sertifikasi halal melibatkan tiga pihak utama: BPJPH, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan MUI. Tahapan prosesnya adalah sebagai berikut:

    Permohonan Sertifikasi Halal: Pelaku usaha mengajukan permohonan ke BPJPH melalui sistem online (SIHALAL)

    • Verifikasi Dokumen oleh BPJPH: Pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran dokumen

    • Penetapan Biaya Pemeriksaan oleh LPH: Perhitungan dan penetapan biaya audit

    • Penerbitan Tagihan oleh BPJPH: Tagihan pembayaran kepada pelaku usaha

    • Pembayaran oleh Pelaku Usaha: Transfer ke rekening BPJPH dengan bukti pembayaran

    • Verifikasi Pembayaran: BPJPH menerbitkan Surat Tanda Terima Dokumen (STTD)

    • Pemeriksaan oleh LPH: Audit lapangan dan pengujian kehalalan produk

    • Sidang Fatwa oleh Komisi Fatwa MUI: Penetapan kehalalan produk

    • Penerbitan Sertifikat Halal oleh BPJPH: Berdasarkan ketetapan halal MUI

  2. Dokumen yang Diperlukan

    Dokumen persyaratan sertifikasi halal meliputi:

    • Surat permohonan dan formulir pendaftaran

    • Data pelaku usaha dan Nomor Induk Berusaha (NIB)

    • Dokumen penyelia halal (KTP, CV, SK, sertifikat pelatihan)

    • Daftar bahan baku, tambahan, dan penolong

    • Daftar produk dan matriks bahan vs produk

    • Diagram alir proses produksi

    • Manual Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH)

    • Dokumen pendukung bahan (sertifikat halal supplier, CoA, dll)

Peran BPJPH, MUI, dan LPH dalam Pengelolaan Sertifikasi dan Labelisasi Halal

  1. Peran BPJPH (Badan Pengelenggara Jaminan Produk Halal)

    BPJPH adalah badan yang dibentuk pemerintah untuk menyelenggarakan JPH, berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama. Kewenangan BPJPH meliputi:

    • Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH

    • Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH

    • Menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal

    • Melakukan registrasi sertifikat halal produk luar negeri

    • Melakukan akreditasi terhadap LPH

    • Melakukan pengawasan terhadap JPH

    • Melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri

  2. Peran MUI (Majelis Ulama Indonesia)

    MUI berwenang menetapkan kehalalan produk melalui sidang fatwa halal. Ketetapan halal MUI merupakan pemenuhan aspek hukum agama (syariah Islam), yang menjadi dasar bagi BPJPH untuk menerbitkan sertifikat halal.

    Peran MUI dalam sertifikasi halal:

    • Menyelenggarakan sidang fatwa halal

    • Menerbitkan Keputusan Penetapan Halal Produk

    • Melakukan kerja sama dengan BPJPH dalam akreditasi LPH

    • Menyelenggarakan sertifikasi auditor halal dan penyelia halal

  3. Peran LPH (Lembaga Pemeriksa Halal)

    Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) bertugas melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk. LPH harus memperoleh akreditasi dari BPJPH yang bekerja sama dengan MUI.

    Tugas LPH meliputi:

    • Pemeriksaan dokumen dan audit lapangan

    • Pengujian kehalalan produk di laboratorium

    • Penyusunan laporan hasil audit

    • Penyampaian hasil pemeriksaan kepada BPJPH untuk sidang fatwa MUI

Pengawasan dan Penegakan Hukum Sertifikasi Halal

Berdasarkan Pasal 49 UU JPH, pengawasan terhadap Jaminan Produk Halal dilaksanakan oleh BPJPH. BPJPH melakukan pengawasan terhadap:

  • Lembaga Pemeriksa Halal (LPH)

  • Masa berlaku sertifikat halal

  • Kehalalan produk

  • Pencantuman label halal

  • Pencantuman keterangan tidak halal

  • Pemisahan lokasi, tempat, dan alat pengolahan produk halal dan tidak halal

  • Keberadaan penyelia halal

  • Kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH

Pengawasan JPH dilakukan melalui tiga sistem:

  • Sistem Pengawasan Preventif: Pengawasan dini melalui kegiatan pendaftaran untuk meminimalisir penyelewengan sejak awal

  • Sistem Pengawasan Khusus: Pengawasan aktif terhadap kasus yang dapat mengakibatkan dampak luas

  • Sistem Pengawasan Insidental: Inspeksi mendadak (sidak) terhadap keamanan dan keselamatan pangan halal

Selain BPJPH, UU JPH juga memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengawasan JPH. Peran serta masyarakat berbentuk pengaduan atau pelaporan ke BPJPH melalui website resmi https://halal.go.id.

Sanksi Hukum

Sanksi Administratif

Pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 25 UU JPH dikenai sanksi administratif berupa:

  • Peringatan tertulis dari BPJPH

  • Denda administratif yaitu kewajiban membayar sejumlah uang tertentu

  • Pencabutan sertifikat halal bagi yang sudah tidak mengindahkan peringatan

  • Penarikan produk dari peredaran termasuk penutupan usaha untuk skala menengah dan besar

Sanksi Pidana

Pelaku usaha yang tidak mengindahkan kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal sebagaimana dimaksud Pasal 25 huruf (b) UU JPH dapat dipidana dengan:

  • Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun, atau

  • Pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000 (dua miliar rupiah)

Sanksi pidana ini diterapkan jika produk bersertifikat halal ternyata mengandung bahan tidak halal atau haram yang dapat merugikan dan membahayakan masyarakat.

Biaya Sertifikasi Halal

Berdasarkan Keputusan Kepala BPJPH Nomor 141 Tahun 2021, tarif layanan sertifikasi halal terdiri dari:

  1. Usaha Mikro dan Kecil (UMK)

    • Biaya BPJPH: Rp300.000

    • Biaya LPH (Maksimal): Rp350.000

    • Total Estimasi: Rp650.000

  2. Usaha Menengah

    • Biaya BPJPH: Rp5.000.000

    • Biaya LPH (Maksimal): Rp3.000.000 - Rp7.652.500

    • Total Estimasi: > Rp8.000.000

  3. Usaha Besar/Luar Negeri

    • Biaya BPJPH: Rp12.500.000

    • Biaya LPH (Maksimal): Variatif

    • Total Estimasi: > Rp13.000.000

Skema Self Declare

Untuk UMK tertentu, pemerintah menyediakan skema self declare (pernyataan mandiri) dengan biaya Rp0 (gratis). Syarat untuk mendapatkan fasilitas ini:

  • Memiliki NIB (Nomor Induk Berusaha)

  • Usaha termasuk skala mikro atau kecil

  • Produk tidak berisiko dan proses produksi sederhana

  • Sudah diverifikasi oleh Pendamping Proses Produk Halal (PPPH)

Perpanjangan Sertifikat Halal

Tarif perpanjangan sertifikat halal lebih rendah dari sertifikasi baru:

  • UMK: Rp200.000

  • Usaha Menengah: Rp2.400.000

  • Usaha Besar/Luar Negeri: Rp5.000.000

Komponen Biaya Pemeriksaan Kehalalan

Perhitungan biaya pemeriksaan kehalalan produk oleh LPH terdiri dari beberapa komponen:

  1. Untuk UMK:

    • Mandays (hari kerja auditor)

    • Unit cost per hari

    • Biaya operasional LPH

    • Uang harian perjalanan dinas (UHPD)

    • Transportasi dan tiket pesawat

    • Akomodasi/hotel

  2. Untuk Usaha Menengah dan Besar:

    • Komponen sama dengan UMK

    • Biaya operasional lebih tinggi (Menengah: Rp960.000, Besar: Rp1.440.000)

    • Unit cost bervariasi berdasarkan jenis produk

Beberapa komponen yang mempengaruhi tarif layanan sertifikasi halal:

  1. Skala pelaku usaha

  2. Penggunaan alat uji laboratorium

  3. Lokasi pelaku usaha yang diaudit

  4. SDM auditor dan tenaga syariah yang dibutuhkan

  5. Kompleksitas produk dan proses produksi

Biaya sertifikasi halal tidak termasuk:

  1. Pengujian kehalalan produk melalui laboratorium (dibayar langsung ke lab)

  2. Jasa penyelia halal (dibayar langsung ke penyelia)

  3. Transportasi lokal, tiket, dan akomodasi untuk audit luar kota/negeri

  4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11%

Konsekuensi Jika Sertifikat Halal Tidak Diperpanjang

  1. Dampak Bisnis

    Jika sertifikat halal kadaluarsa dan tidak diperpanjang, pelaku usaha akan menghadapi berbagai konsekuensi serius:

    • Kehilangan Kepercayaan Konsumen: Konsumen Muslim sangat bergantung pada sertifikat halal untuk memastikan produk sesuai syariat. Tanpa sertifikat yang valid, kepercayaan konsumen akan menurun drastis.

    • Kerugian Finansial: Produk tanpa sertifikat halal yang berlaku tidak dapat dijual di pasar tertentu, terutama di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia. Produk berisiko ditarik dari rak toko atau dilarang dijual.

  2. Konsekuensi Hukum

    • Masalah Hukum: Pemerintah dapat mengambil tindakan berupa denda, penutupan bisnis sementara, atau pencabutan izin usaha jika dianggap pelanggaran serius.

    • Sanksi Administratif: Pelaku usaha dapat dikenai peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan produk dari peredaran.

Perubahan Regulasi Masa Berlaku

Berdasarkan Rancangan Peraturan Pemerintah terbaru, sertifikat halal akan diterbitkan dengan masa berlaku tetap seumur hidup, dengan ketentuan tidak terjadi perubahan komposisi bahan dan/atau Proses Produk Halal. Namun, jika ada perubahan komposisi bahan atau proses, pelaku usaha wajib memperbarui sertifikasi halalnya.

Peran Penyelia Halal, Auditor Halal, dan PPH

  1. Penyelia Halal

    Penyelia halal adalah orang yang bertanggung jawab terhadap Proses Produk Halal (PPH) di perusahaan. Setiap pelaku usaha yang mengajukan sertifikasi halal wajib memiliki penyelia halal.

    • Persyaratan Penyelia Halal:

      • Beragama Islam

      • Memiliki wawasan luas dan memahami syariat tentang kehalalan

      • Memiliki sertifikat pelatihan dan/atau sertifikat kompetensi penyelia halal

    • Tugas Penyelia Halal:

      • Mengawasi Proses Produk Halal (PPH) di perusahaan

      • Menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan jika terjadi masalah

      • Mengoordinasikan PPH kepada Lembaga Pemeriksa Halal

      • Mendampingi auditor halal pada saat pemeriksaan

    • Tanggung Jawab Penyelia Halal:

      • Menerapkan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH)

      • Menerapkan manajemen risiko pengendalian PPH

      • Mengusulkan penggantian bahan yang tidak halal

      • Mengusulkan penghentian produksi yang tidak memenuhi ketentuan PPH

      • Membuat laporan pengawasan PPH

      • Melakukan kaji ulang pelaksanaan PPH

      • Menyiapkan bahan dan sampel untuk auditor halal

  2. Auditor Halal

    Auditor halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan produk. Terbagi menjadi dua kategori:

    • Auditor Halal Eksternal: Perangkat dari Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang bertugas melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk

    • Auditor Halal Internal: Diangkat oleh perusahaan untuk melakukan pengawasan internal (dalam UU JPH disebut sebagai Penyelia Halal)

    Tugas Auditor Halal Eksternal:

    • Memeriksa dan mengkaji bahan yang digunakan

    • Memeriksa proses pengolahan produk

    • Memeriksa sistem penyembelihan

    • Meneliti lokasi produksi

    • Memeriksa Sistem Jaminan Halal pelaku usaha

    • Melaporkan hasil audit kepada LPH

  3. Pendamping Proses Produk Halal (PPPH)

    Pendamping PPH adalah orang perorangan yang telah dilatih untuk melakukan proses pendampingan PPH, khususnya untuk skema self declare UMK.

    Tugas PPPH:

    • Memverifikasi dan validasi pernyataan kehalalan pelaku usaha

    • Memeriksa dokumen dan komposisi bahan

    • Melakukan verifikasi lapangan

    • Membuat rekomendasi kepada BPJPH

    • Melakukan koreksi jika ada ketidaksesuaian

Penutup

Sertifikasi halal kini bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan strategis yang wajib dipenuhi oleh setiap pelaku usaha untuk dapat beroperasi dan berkompetisi di pasar Indonesia. Dengan implementasi UU No. 33/2014 yang berlaku penuh sejak Oktober 2024, pelaku usaha yang mengabaikan kewajiban sertifikasi halal akan menghadapi sanksi administratif hingga pidana penjara 5 tahun atau denda Rp 2 miliar, sekaligus kehilangan akses ke pasar domestik yang bernilai USD 214 miliar. Lebih dari sekadar pemenuhan regulasi, sertifikat halal telah terbukti memberikan keunggulan kompetitif yang signifikan melalui peningkatan kepercayaan konsumen Muslim yang mencapai 87,18% populasi Indonesia, membuka peluang ekspor ke pasar halal global senilai USD 2,8 triliun, dan memperkuat positioning brand di era ekonomi syariah yang terus berkembang.

Referensi

Evrin Lutfika, Lia Amalia, dan Mardiah. (2023). Buku Panduan Pendamping PPH (Proses Produk Halal). Jakarta: Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah.

Hayyun Durrotul Faridah. Sertifikasi Halal di Indonesia: Sejarah, Perkembangan, dan Implementasi. Journal of Halal Product and Research 2 (2): Desember 2019.

Muhammad Fahmul Iltiham dan Muhammad Nizar. (2019). Label Halal Bawa Kebaikan. Pasuruan: PAI Press.

Novita Nurul Islam dan Wildan Khisbullah Suhma. (2024). Jaminan Halal Produk Olahan Pangan: Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk UMKM di Indonesia. Jember: Khas Press.

Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (PP terbaru, mengganti PP No. 39/2021).

Sukoso, Adam Wiryaman, Joni Kusnadi, dan Sucipto. (2020). Ekosistem Industri Halal. Jakarta: Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (mengubah sebagian UU 33/2014).

Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Warto dan Samsuri. Sertifikasi Halal dan Implikasinya Bagi Bisnis Produk Halal di Indonesia. Al Maal: Journal of Islamic Economics and Banking 2 (1), 2020.