Pentingnya Sertifikasi Halal bagi Pelaku Usaha
PERDATA


Pendahuluan
Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia yang mencapai 87,18% dari total penduduk memiliki posisi strategis dalam industri halal global dengan nilai konsumsi mencapai USD 214 miliar. Implementasi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal telah mengubah paradigma sertifikasi halal dari sukarela menjadi wajib, yang resmi berlaku mulai 18 Oktober 2024 dengan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai lembaga penyelenggara utama. Pencapaian Indonesia sebagai peringkat kedua dunia dalam indikator pangan halal dengan skor 94,4 dan pertumbuhan ekspor produk halal yang mencapai USD 41,42 miliar pada periode Januari-Oktober 2024 menunjukkan pentingnya pemahaman mendalam tentang sistem jaminan produk halal bagi pelaku usaha, praktisi hukum, dan seluruh stakeholder dalam ekosistem halal Indonesia.
Pembahasan
Definisi Produk Halal
Produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, produk halal merupakan produk yang sudah dinyatakan halal sesuai dalam syariat Islam. Produk halal harus memenuhi kriteria ketat yang meliputi seluruh aspek produksi, mulai dari bahan baku hingga proses pembuatan. Produk ini harus bebas dari bahan-bahan yang diharamkan dalam Islam, seperti babi dan alkohol, serta tidak tercampur atau terkontaminasi dengan bahan haram selama proses produksi, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian.
Dasar Hukum Produk Halal
Dasar hukum penyelenggaraan jaminan produk halal di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal merupakan landasan hukum utama yang mengatur penyelenggaraan jaminan produk halal di Indonesia. Undang-undang ini telah mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal merupakan peraturan pelaksanaan yang memberikan pedoman teknis penyelenggaraan JPH.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (pengganti PP 39/2021)
Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2023 tentang Sertifikasi Halal Obat, Produk Biologi, dan Alat Kesehatan
Peraturan Menteri Agama Nomor 26 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal
Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 2021 tentang Kerja Sama Internasional dan Lembaga Halal Luar Negeri
Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2021 tentang Sertifikasi Halal bagi Pelaku UMK dan Pelaksanaan Pendampingan PPH
Keputusan Menteri Agama Nomor 748 Tahun 2021 tentang Jenis Produk yang Wajib Bersertifikat Halal
Keputusan Menteri Agama Nomor 1360 Tahun 2021 tentang Bahan yang Dikecualikan dari Kewajiban Bersertifikat Halal
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.05/2021 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum BPJPH
Peraturan BPJPH Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pembayaran Tarif BLU BPJPH
Kepkaban BPJPH Nomor 141 Tahun 2021 tentang Penetapan Tarif Layanan BLU BPJPH
Kepkaban BPJPH Nomor 145 Tahun 2022 tentang Penggunaan Logo dan Label Halal
Kepkaban BPJPH Nomor 120 Tahun 2022 tentang Standar Pelayanan BPJPH
Kepkaban BPJPH Nomor 65 Tahun 2022 tentang Penetapan Lembaga dan Nomor Registrasi Pendamping PPH UMKM
Kepkaban BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal
Kepkaban BPJPH Nomor 33 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Pendamping PPH Bagi UMKM Self Declare Halal
Kepkaban BPJPH Nomor 150 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Pendamping PPH bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil
Kepkaban BPJPH Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Kepkaban 150/2022 (Juknis Pendamping PPH Self Declare)
Kepkaban BPJPH Nomor 20 Tahun 2023 tentang Perubahan Kriteria Sistem Jaminan Produk Halal
Kepkaban BPJPH Nomor 57 Tahun 2023 tentang Manual SJPH untuk Sertifikasi Halal dengan Pernyataan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil (Self Declare)
Kepkaban BPJPH Nomor 80 Tahun 2024 tentang Standar Operasional Prosedur Layanan Permohonan Sertifikat Halal dan Fasilitasi Sertifikasi bagi UMK
Kepkaban BPJPH Nomor 22 Tahun 2024 tentang Perubahan Keempat atas Kepkaban 141/2021 (Penyesuaian Tarif Layanan)
Kepkaban BPJPH Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penetapan Tarif Layanan BLU BPJPH (Perubahan Ketiga atas Kepkaban 141/2021)
Kewajiban Sertifikasi Halal
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 dengan tegas menyatakan bahwa "produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal". Ketentuan ini mengubah sifat sertifikasi halal dari yang semula bersifat sukarela (voluntary) menjadi wajib (mandatory).
Sertifikasi Halal
Sertifikat halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Produk yang Wajib Bersertifikat Halal
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021, produk yang wajib memiliki sertifikat halal meliputi:
Makanan dan minuman
Bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong
Produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan
Obat-obatan
Kosmetik
Produk kimiawi, biologi, dan rekayasa genetik
Barang gunaan yang dipakai atau dimanfaatkan masyarakat
Pemberlakuan Bertahap
Kewajiban sertifikasi halal diberlakukan secara bertahap. Penahapan pertama yang berakhir pada 17 Oktober 2024 mencakup produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan untuk usaha menengah dan besar.
Proses Sertifikasi Halal
Alur Sertifikasi Halal
Proses sertifikasi halal melibatkan tiga pihak utama: BPJPH, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan MUI. Tahapan prosesnya adalah sebagai berikut:
Permohonan Sertifikasi Halal: Pelaku usaha mengajukan permohonan ke BPJPH melalui sistem online (SIHALAL)
Verifikasi Dokumen oleh BPJPH: Pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran dokumen
Penetapan Biaya Pemeriksaan oleh LPH: Perhitungan dan penetapan biaya audit
Penerbitan Tagihan oleh BPJPH: Tagihan pembayaran kepada pelaku usaha
Pembayaran oleh Pelaku Usaha: Transfer ke rekening BPJPH dengan bukti pembayaran
Verifikasi Pembayaran: BPJPH menerbitkan Surat Tanda Terima Dokumen (STTD)
Pemeriksaan oleh LPH: Audit lapangan dan pengujian kehalalan produk
Sidang Fatwa oleh Komisi Fatwa MUI: Penetapan kehalalan produk
Penerbitan Sertifikat Halal oleh BPJPH: Berdasarkan ketetapan halal MUI
Dokumen yang Diperlukan
Dokumen persyaratan sertifikasi halal meliputi:
Surat permohonan dan formulir pendaftaran
Data pelaku usaha dan Nomor Induk Berusaha (NIB)
Dokumen penyelia halal (KTP, CV, SK, sertifikat pelatihan)
Daftar bahan baku, tambahan, dan penolong
Daftar produk dan matriks bahan vs produk
Diagram alir proses produksi
Manual Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH)
Dokumen pendukung bahan (sertifikat halal supplier, CoA, dll)
Peran BPJPH, MUI, dan LPH dalam Pengelolaan Sertifikasi dan Labelisasi Halal
Peran BPJPH (Badan Pengelenggara Jaminan Produk Halal)
BPJPH adalah badan yang dibentuk pemerintah untuk menyelenggarakan JPH, berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama. Kewenangan BPJPH meliputi:
Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH
Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH
Menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal
Melakukan registrasi sertifikat halal produk luar negeri
Melakukan akreditasi terhadap LPH
Melakukan pengawasan terhadap JPH
Melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri
Peran MUI (Majelis Ulama Indonesia)
MUI berwenang menetapkan kehalalan produk melalui sidang fatwa halal. Ketetapan halal MUI merupakan pemenuhan aspek hukum agama (syariah Islam), yang menjadi dasar bagi BPJPH untuk menerbitkan sertifikat halal.
Peran MUI dalam sertifikasi halal:
Menyelenggarakan sidang fatwa halal
Menerbitkan Keputusan Penetapan Halal Produk
Melakukan kerja sama dengan BPJPH dalam akreditasi LPH
Menyelenggarakan sertifikasi auditor halal dan penyelia halal
Peran LPH (Lembaga Pemeriksa Halal)
Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) bertugas melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk. LPH harus memperoleh akreditasi dari BPJPH yang bekerja sama dengan MUI.
Tugas LPH meliputi:
Pemeriksaan dokumen dan audit lapangan
Pengujian kehalalan produk di laboratorium
Penyusunan laporan hasil audit
Penyampaian hasil pemeriksaan kepada BPJPH untuk sidang fatwa MUI
Pengawasan dan Penegakan Hukum Sertifikasi Halal
Berdasarkan Pasal 49 UU JPH, pengawasan terhadap Jaminan Produk Halal dilaksanakan oleh BPJPH. BPJPH melakukan pengawasan terhadap:
Lembaga Pemeriksa Halal (LPH)
Masa berlaku sertifikat halal
Kehalalan produk
Pencantuman label halal
Pencantuman keterangan tidak halal
Pemisahan lokasi, tempat, dan alat pengolahan produk halal dan tidak halal
Keberadaan penyelia halal
Kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH
Pengawasan JPH dilakukan melalui tiga sistem:
Sistem Pengawasan Preventif: Pengawasan dini melalui kegiatan pendaftaran untuk meminimalisir penyelewengan sejak awal
Sistem Pengawasan Khusus: Pengawasan aktif terhadap kasus yang dapat mengakibatkan dampak luas
Sistem Pengawasan Insidental: Inspeksi mendadak (sidak) terhadap keamanan dan keselamatan pangan halal
Selain BPJPH, UU JPH juga memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengawasan JPH. Peran serta masyarakat berbentuk pengaduan atau pelaporan ke BPJPH melalui website resmi https://halal.go.id.
Sanksi Hukum
Sanksi Administratif
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 25 UU JPH dikenai sanksi administratif berupa:
Peringatan tertulis dari BPJPH
Denda administratif yaitu kewajiban membayar sejumlah uang tertentu
Pencabutan sertifikat halal bagi yang sudah tidak mengindahkan peringatan
Penarikan produk dari peredaran termasuk penutupan usaha untuk skala menengah dan besar
Sanksi Pidana
Pelaku usaha yang tidak mengindahkan kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal sebagaimana dimaksud Pasal 25 huruf (b) UU JPH dapat dipidana dengan:
Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun, atau
Pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000 (dua miliar rupiah)
Sanksi pidana ini diterapkan jika produk bersertifikat halal ternyata mengandung bahan tidak halal atau haram yang dapat merugikan dan membahayakan masyarakat.
Biaya Sertifikasi Halal
Berdasarkan Keputusan Kepala BPJPH Nomor 141 Tahun 2021, tarif layanan sertifikasi halal terdiri dari:
Usaha Mikro dan Kecil (UMK)
Biaya BPJPH: Rp300.000
Biaya LPH (Maksimal): Rp350.000
Total Estimasi: Rp650.000
Usaha Menengah
Biaya BPJPH: Rp5.000.000
Biaya LPH (Maksimal): Rp3.000.000 - Rp7.652.500
Total Estimasi: > Rp8.000.000
Usaha Besar/Luar Negeri
Biaya BPJPH: Rp12.500.000
Biaya LPH (Maksimal): Variatif
Total Estimasi: > Rp13.000.000
Skema Self Declare
Untuk UMK tertentu, pemerintah menyediakan skema self declare (pernyataan mandiri) dengan biaya Rp0 (gratis). Syarat untuk mendapatkan fasilitas ini:
Memiliki NIB (Nomor Induk Berusaha)
Usaha termasuk skala mikro atau kecil
Produk tidak berisiko dan proses produksi sederhana
Sudah diverifikasi oleh Pendamping Proses Produk Halal (PPPH)
Perpanjangan Sertifikat Halal
Tarif perpanjangan sertifikat halal lebih rendah dari sertifikasi baru:
UMK: Rp200.000
Usaha Menengah: Rp2.400.000
Usaha Besar/Luar Negeri: Rp5.000.000
Komponen Biaya Pemeriksaan Kehalalan
Perhitungan biaya pemeriksaan kehalalan produk oleh LPH terdiri dari beberapa komponen:
Untuk UMK:
Mandays (hari kerja auditor)
Unit cost per hari
Biaya operasional LPH
Uang harian perjalanan dinas (UHPD)
Transportasi dan tiket pesawat
Akomodasi/hotel
Untuk Usaha Menengah dan Besar:
Komponen sama dengan UMK
Biaya operasional lebih tinggi (Menengah: Rp960.000, Besar: Rp1.440.000)
Unit cost bervariasi berdasarkan jenis produk
Beberapa komponen yang mempengaruhi tarif layanan sertifikasi halal:
Skala pelaku usaha
Penggunaan alat uji laboratorium
Lokasi pelaku usaha yang diaudit
SDM auditor dan tenaga syariah yang dibutuhkan
Kompleksitas produk dan proses produksi
Biaya sertifikasi halal tidak termasuk:
Pengujian kehalalan produk melalui laboratorium (dibayar langsung ke lab)
Jasa penyelia halal (dibayar langsung ke penyelia)
Transportasi lokal, tiket, dan akomodasi untuk audit luar kota/negeri
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11%
Konsekuensi Jika Sertifikat Halal Tidak Diperpanjang
Dampak Bisnis
Jika sertifikat halal kadaluarsa dan tidak diperpanjang, pelaku usaha akan menghadapi berbagai konsekuensi serius:
Kehilangan Kepercayaan Konsumen: Konsumen Muslim sangat bergantung pada sertifikat halal untuk memastikan produk sesuai syariat. Tanpa sertifikat yang valid, kepercayaan konsumen akan menurun drastis.
Kerugian Finansial: Produk tanpa sertifikat halal yang berlaku tidak dapat dijual di pasar tertentu, terutama di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia. Produk berisiko ditarik dari rak toko atau dilarang dijual.
Konsekuensi Hukum
Masalah Hukum: Pemerintah dapat mengambil tindakan berupa denda, penutupan bisnis sementara, atau pencabutan izin usaha jika dianggap pelanggaran serius.
Sanksi Administratif: Pelaku usaha dapat dikenai peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan produk dari peredaran.
Perubahan Regulasi Masa Berlaku
Berdasarkan Rancangan Peraturan Pemerintah terbaru, sertifikat halal akan diterbitkan dengan masa berlaku tetap seumur hidup, dengan ketentuan tidak terjadi perubahan komposisi bahan dan/atau Proses Produk Halal. Namun, jika ada perubahan komposisi bahan atau proses, pelaku usaha wajib memperbarui sertifikasi halalnya.
Peran Penyelia Halal, Auditor Halal, dan PPH
Penyelia Halal
Penyelia halal adalah orang yang bertanggung jawab terhadap Proses Produk Halal (PPH) di perusahaan. Setiap pelaku usaha yang mengajukan sertifikasi halal wajib memiliki penyelia halal.
Persyaratan Penyelia Halal:
Beragama Islam
Memiliki wawasan luas dan memahami syariat tentang kehalalan
Memiliki sertifikat pelatihan dan/atau sertifikat kompetensi penyelia halal
Tugas Penyelia Halal:
Mengawasi Proses Produk Halal (PPH) di perusahaan
Menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan jika terjadi masalah
Mengoordinasikan PPH kepada Lembaga Pemeriksa Halal
Mendampingi auditor halal pada saat pemeriksaan
Tanggung Jawab Penyelia Halal:
Menerapkan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH)
Menerapkan manajemen risiko pengendalian PPH
Mengusulkan penggantian bahan yang tidak halal
Mengusulkan penghentian produksi yang tidak memenuhi ketentuan PPH
Membuat laporan pengawasan PPH
Melakukan kaji ulang pelaksanaan PPH
Menyiapkan bahan dan sampel untuk auditor halal
Auditor Halal
Auditor halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan produk. Terbagi menjadi dua kategori:
Auditor Halal Eksternal: Perangkat dari Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang bertugas melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk
Auditor Halal Internal: Diangkat oleh perusahaan untuk melakukan pengawasan internal (dalam UU JPH disebut sebagai Penyelia Halal)
Tugas Auditor Halal Eksternal:
Memeriksa dan mengkaji bahan yang digunakan
Memeriksa proses pengolahan produk
Memeriksa sistem penyembelihan
Meneliti lokasi produksi
Memeriksa Sistem Jaminan Halal pelaku usaha
Melaporkan hasil audit kepada LPH
Pendamping Proses Produk Halal (PPPH)
Pendamping PPH adalah orang perorangan yang telah dilatih untuk melakukan proses pendampingan PPH, khususnya untuk skema self declare UMK.
Tugas PPPH:
Memverifikasi dan validasi pernyataan kehalalan pelaku usaha
Memeriksa dokumen dan komposisi bahan
Melakukan verifikasi lapangan
Membuat rekomendasi kepada BPJPH
Melakukan koreksi jika ada ketidaksesuaian
Penutup
Sertifikasi halal kini bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan strategis yang wajib dipenuhi oleh setiap pelaku usaha untuk dapat beroperasi dan berkompetisi di pasar Indonesia. Dengan implementasi UU No. 33/2014 yang berlaku penuh sejak Oktober 2024, pelaku usaha yang mengabaikan kewajiban sertifikasi halal akan menghadapi sanksi administratif hingga pidana penjara 5 tahun atau denda Rp 2 miliar, sekaligus kehilangan akses ke pasar domestik yang bernilai USD 214 miliar. Lebih dari sekadar pemenuhan regulasi, sertifikat halal telah terbukti memberikan keunggulan kompetitif yang signifikan melalui peningkatan kepercayaan konsumen Muslim yang mencapai 87,18% populasi Indonesia, membuka peluang ekspor ke pasar halal global senilai USD 2,8 triliun, dan memperkuat positioning brand di era ekonomi syariah yang terus berkembang.
Referensi
Evrin Lutfika, Lia Amalia, dan Mardiah. (2023). Buku Panduan Pendamping PPH (Proses Produk Halal). Jakarta: Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah.
Hayyun Durrotul Faridah. Sertifikasi Halal di Indonesia: Sejarah, Perkembangan, dan Implementasi. Journal of Halal Product and Research 2 (2): Desember 2019.
Muhammad Fahmul Iltiham dan Muhammad Nizar. (2019). Label Halal Bawa Kebaikan. Pasuruan: PAI Press.
Novita Nurul Islam dan Wildan Khisbullah Suhma. (2024). Jaminan Halal Produk Olahan Pangan: Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk UMKM di Indonesia. Jember: Khas Press.
Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (PP terbaru, mengganti PP No. 39/2021).
Sukoso, Adam Wiryaman, Joni Kusnadi, dan Sucipto. (2020). Ekosistem Industri Halal. Jakarta: Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (mengubah sebagian UU 33/2014).
Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Warto dan Samsuri. Sertifikasi Halal dan Implikasinya Bagi Bisnis Produk Halal di Indonesia. Al Maal: Journal of Islamic Economics and Banking 2 (1), 2020.