Pentingnya Perlindungan Merek bagi Pelaku Usaha

PERDATA

Insyirah Fatihah Hidayat

8/12/20259 min read

Pendahuluan

Dalam era perdagangan global dan transformasi digital yang pesat, merek telah menjadi salah satu aset yang penting bagi pelaku usaha. Merek bukan hanya sekedar tanda pengenal produk atau jasa, melainkan juga representasi dari reputasi, kualitas, dan kepercayaan konsumen terhadap suatu usaha. Perlindungan terhadap merek semakin utama dalam konteks persaingan usaha yang semakin ketat dan maraknya praktik pelanggaran merek. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) pada triwulan pertama 2025, terdapat lonjakan permohonan pendaftaran merek sebesar 15,29% dengan total 88,893 permohonan baru, menunjukkan kesadaran masyarakat yang meningkat akan pentingnya perlindungan merek. Fenomena ini mencerminkan urgensi pemahaman yang komprehensif tentang sistem perlindungan hak merek di Indonesia.

Pembahasan

Dasar Hukum Perlindungan Hak Merek di Indonesia

  1. Kerangka Peraturan Perundang-undangan

    Perlindungan hukum terhadap hak merek di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG) yang telah mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU MIG ini menggantikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang dianggap sudah tidak mampu mengakomodir perkembangan kebutuhan masyarakat di bidang merek dan indikasi geografis serta belum cukup menjamin perlindungan potensi ekonomi lokal dan nasional.

    Salah satu pertimbangan mendasar diundangkannya UU MIG adalah karena dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan merek dan indikasi geografis menjadi sangat penting terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat, berkeadilan, perlindungan konsumen, serta perlindungan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan industri dalam negeri.

  2. Definisi dan Ruang Lingkup Merek

    Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU MIG, merek didefinisikan sebagai tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Merek yang dilindungi terdiri atas tanda berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari dua atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.

  3. Prinsip First to File dan Hak Eksklusif

    Indonesia menganut sistem konstitutif yang bersifat mutlak berdasarkan prinsip first to file, yang berarti perlindungan hak atas suatu merek dapat diperoleh apabila merek yang bersangkutan telah didaftarkan. Ketentuan ini diatur dengan jelas dalam Pasal 3 UU MIG yang menyatakan bahwa "Hak atas Merek diperoleh setelah Merek tersebut terdaftar".

    Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Hak eksklusif ini memberikan pemilik merek kewenangan untuk menggunakan sendiri, memberikan izin kepada pihak lain, dan melarang pihak lain untuk menggunakan merek tersebut.

Sistem Pendaftaran dan Perlindungan Merek

  1. Prosedur Pendaftaran Merek

    Prosedur pendaftaran merek di Indonesia telah mengalami penyederhanaan dan percepatan seiring dengan implementasi transformasi digital. Berdasarkan UU MIG, permohonan pendaftaran merek dapat diajukan secara elektronik atau non-elektronik dalam bahasa Indonesia. Proses pendaftaran meliputi beberapa tahapan utama:

    • Pengajuan Permohonan

      Permohonan diajukan kepada Menteri Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dengan mencantumkan informasi yang diperlukan sesuai Pasal 4 UU MIG.

    • Pemeriksaan Administratif dan Substantif

      Setelah pengajuan, DJKI melakukan pemeriksaan administratif dan substantif. Berdasarkan perubahan melalui UU Cipta Kerja, proses pemeriksaan substantif dipercepat menjadi 90 hari jika mendapat keberatan dari pihak lain, dan 30 hari apabila tidak diterima keberatan.

    • Pengumuman untuk Oposisi

      Salah satu perubahan signifikan dalam UU MIG adalah perubahan sistem publikasi. Berbeda dengan undang-undang sebelumnya yang melakukan publikasi setelah pemeriksaan substantif, UU MIG menerapkan publikasi sebelum pemeriksaan substantif selama 2 (dua) bulan. Perubahan ini bertujuan untuk mempercepat proses pendaftaran dengan mengeliminasi tahap reexamination.

    • Penerbitan Sertifikat

      Apabila tidak ada keberatan atau keberatan ditolak, DJKI menerbitkan sertifikat merek yang memberikan perlindungan hukum selama 10 tahun dan dapat diperpanjang.

  2. Jangka Waktu Perlindungan dan Perpanjangan

    Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. Permohonan perpanjangan dapat diajukan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan, atau paling lama 6 (enam) bulan setelah berakhirnya jangka waktu perlindungan dengan dikenai biaya tambahan. Persyaratan perpanjangan meliputi surat pernyataan bahwa merek yang bersangkutan masih digunakan pada barang atau jasa sebagaimana dicantumkan dalam sertifikat merek tersebut masih diproduksi dan/atau diperdagangkan.

  3. Non-Use Period dan Penghapusan Merek

    Dalam perkembangan terbaru, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 144/PUU-XXI/2023 telah memperpanjang batas waktu non-use period dari 3 (tiga) tahun menjadi 5 (lima) tahun berturut-turut. Perubahan ini mempertimbangkan kondisi kekhususan perekonomian Indonesia yang bertumpu pada UMKM dan memberikan ruang waktu yang cukup bagi pemilik merek terdaftar yang mengalami keadaan di luar batas kemampuan manusia (force majeure). Ketentuan ini memberikan perlindungan yang lebih baik bagi pelaku UMKM yang mungkin menghadapi hambatan dalam melanjutkan usahanya karena berbagai faktor eksternal seperti pandemi atau krisis ekonomi.

Merek Terkenal dan Well-Known Mark

  1. Konsep dan Kriteria Merek Terkenal

    Merek terkenal (well-known mark) mendapat perlindungan khusus dalam sistem hukum Indonesia berdasarkan Pasal 21 UU MIG. Merek terkenal adalah merek yang memiliki reputasi tinggi, memiliki daya tarik besar pada masyarakat dan sugestif karena sudah dikenal secara luas di dunia serta bernilai tinggi. Untuk membuktikan suatu merek sebagai merek terkenal, diperlukan bukti-bukti antara lain: pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan; reputasi merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran; investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya; dan bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara.

  2. Perlindungan Merek Terkenal dalam Sistem First to File

    Meskipun Indonesia menganut sistem first to file, merek terkenal mendapat perlindungan khusus bahkan sebelum didaftarkan di Indonesia. Hal ini sesuai dengan ketentuan internasional dalam Perjanjian TRIPs dan Konvensi Paris yang telah diratifikasi Indonesia. Perlindungan ini mencegah pihak yang tidak berhak mendaftarkan merek yang sama atau memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek terkenal, meskipun untuk barang atau jasa yang berbeda.

Lisensi Merek dan Pengalihan Hak

  1. Konsep dan Pengaturan Lisensi Merek

    Lisensi merek adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu. Perjanjian lisensi wajib dicatatkan kepada Menteri Hukum dan HAM baik secara elektronik maupun non-elektronik. Pencatatan ini penting untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada kedua belah pihak. Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2018, perjanjian lisensi paling sedikit harus memuat: tanggal, bulan, tahun, dan tempat perjanjian; nama dan alamat pemberi dan penerima lisensi; objek perjanjian; ketentuan mengenai sifat lisensi; jangka waktu; wilayah berlaku; dan pihak yang melakukan pembayaran biaya tahunan.

  2. Prosedur Pencatatan Lisensi

    Prosedur pencatatan lisensi merek meliputi: pengajuan permohonan secara elektronik melalui laman resmi DJKI; pemeriksaan permohonan dalam maksimal 5 hari sejak dokumen dinyatakan lengkap; dan penerbitan surat pencatatan dalam jangka waktu 2 hari setelah pemeriksaan dinyatakan lengkap dan sesuai. Perjanjian lisensi yang telah dicatat kemudian diumumkan dalam Berita Resmi Merek.

Pelanggaran Hak Merek dan Sanksi Hukum

  1. Jenis-Jenis Pelanggaran Merek

    Pelanggaran hak merek dapat berupa penggunaan tanpa hak atas merek yang sama pada keseluruhannya atau memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis. UU MIG mengategorikan pelanggaran merek sebagai delik aduan, yang berarti hanya dapat diproses apabila ada pengaduan dari pemilik merek yang dirugikan.

    Contoh beberapa kasus-kasus pelanggaran merek, antara lain:

    • Sengketa Merek "Joyko" dan "Joyco"

      Kasus ini bermula ketika PT. Citra Arga Mas, pemegang hak merek Joyko, menggugat PT. Murni Jaya Mas yang menggunakan merek Joyco. Kedua merek ini digunakan untuk produk alat tulis, seperti pulpen, pensil, dan buku.

      Inti dari sengketa ini adalah persamaan pada pokoknya antara kedua merek. Meskipun ada perbedaan satu huruf ("k" dan "c"), pengucapan dan kesan visual yang ditimbulkan sangat mirip. Pengadilan Niaga mengabulkan gugatan PT. Citra Arga Mas dan menyatakan bahwa merek "Joyco" memiliki kesamaan dengan "Joyko" dan berpotensi menyesatkan konsumen. Putusan ini diperkuat hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

    • Sengketa Merek "Gajah Duduk"

      Merek sarung Gajah Duduk telah menjadi merek yang sangat terkenal dan melegenda di Indonesia. Sengketa ini muncul ketika ada pihak lain yang mencoba mendaftarkan merek serupa, seperti "Gajah Duduk Dihormati" atau "Gajah Duduk Jantan", untuk produk yang sama.

      Pemilik sah merek Gajah Duduk, PT Pismatex Textile Industry, melakukan berbagai upaya hukum untuk melindungi mereknya dari pihak-pihak yang berusaha mendompleng popularitas. Kasus ini menegaskan pentingnya perlindungan merek terkenal (well-known mark). Merek terkenal mendapatkan perlindungan yang lebih luas, bahkan jika merek lain hanya memiliki kemiripan sebagian atau digunakan untuk kelas barang yang berbeda. Pengadilan mengabulkan gugatan PT Pismatex dan memerintahkan penghapusan merek-merek yang meniru.

    • Sengketa Merek "Gudang Garam" dan "Gudang Baru"

      Merek rokok Gudang Garam merupakan merek yang sangat terkenal di Indonesia. Sengketa ini melibatkan produsen rokok lain yang menggunakan merek Gudang Baru.

      PT. Gudang Garam Tbk, sebagai pemilik merek asli, menggugat produsen rokok Gudang Baru karena adanya kemiripan pada unsur visual dan pengucapan. Meskipun ada perbedaan kata, unsur "Gudang" dan gambar yang mirip dengan ikon Gudang Garam dinilai dapat mengecoh masyarakat.

      Mahkamah Agung memutuskan bahwa merek "Gudang Baru" memiliki kemiripan dengan "Gudang Garam" dan dapat menyesatkan konsumen. Oleh karena itu, pengadilan membatalkan pendaftaran merek "Gudang Baru". Kasus ini menunjukkan bahwa pelanggaran merek tidak hanya terjadi pada kesamaan nama secara keseluruhan, tapi juga pada unsur-unsur visual dan kesan yang dapat menimbulkan kebingungan di masyarakat.

  2. Sanksi Pidana

    UU MIG menerapkan sanksi pidana yang cukup berat untuk pelanggaran merek:

    • Penggunaan Merek Sama pada Keseluruhannya

      Setiap orang yang tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

    • Penggunaan Merek dengan Persamaan pada Pokoknya

      Setiap orang yang tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

    • Sanksi Pemberat

      Dalam hal pelanggaran merek mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan lingkungan hidup, dan/atau kematian manusia, pelaku dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

  3. Sanksi Perdata

    Pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan ganti rugi dan penghentian penggunaan merek melalui Pengadilan Niaga terhadap pelanggaran hak mereknya. Mahkamah Agung melalui putusan landmark decision menegaskan prinsip bahwa pemilik merek terdaftar memiliki hak eksklusif atas mereknya selama merek tersebut belum dibatalkan oleh putusan pengadilan.

Penyelesaian Sengketa Merek

  1. Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan Khusus

    Penyelesaian sengketa merek dilakukan melalui Pengadilan Niaga yang merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1999, terdapat lima Pengadilan Niaga yang berwenang menangani sengketa HKI, yaitu di PN Jakarta Pusat, PN Medan, PN Semarang, PN Surabaya, dan PN Ujung Pandang.

    Pengadilan Niaga memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pendaftaran merek, sengketa penghapusan merek oleh pihak ketiga, sengketa pembatalan merek, dan sengketa pelanggaran merek. Proses persidangan di Pengadilan Niaga dirancang lebih cepat dibanding peradilan umum, dengan struktur upaya hukum yang langsung dari Pengadilan Niaga ke Mahkamah Agung.

  2. Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi

    Selain jalur pengadilan, sengketa merek dapat diselesaikan melalui mekanisme alternatif penyelesaian sengketa seperti mediasi dan arbitrase. DJKI telah berhasil melakukan mediasi dalam beberapa kasus sengketa merek, seperti kasus Longchamp yang berujung kesepakatan damai dengan ganti rugi dan permintaan maaf publik, serta kasus sengketa merek Vulana vs Fulana yang diselesaikan dengan penggantian nama merek. Untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase, terdapat beberapa lembaga yang dapat dimanfaatkan, antara lain Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Singapore International Arbitration Centre (SIAC), dan WIPO Arbitration Centre. Meskipun demikian, pemanfaatan arbitrase dalam penyelesaian sengketa merek masih relatif terbatas dibanding litigasi.

Dimensi Internasional: Madrid Protocol

  1. Implementasi Madrid Protocol di Indonesia

    Indonesia telah mengaksesi Madrid Protocol pada tanggal 2 Oktober 2017 dan efektif diimplementasikan sejak Januari 2018. Madrid Protocol memungkinkan pelaku usaha Indonesia untuk mendaftarkan merek di banyak negara anggota dengan satu permohonan, satu bahasa, dan satu mata uang melalui DJKI. Sistem ini memberikan beberapa keuntungan: proses relatif murah dan cepat karena dengan satu permohonan dapat ditujukan ke beberapa negara sekaligus; mengurangi hambatan dalam aspek bahasa, biaya, dan administrasi; serta memberikan status global kepada merek yang dimiliki pelaku usaha dalam negeri.

  2. Tantangan Implementasi

    Meskipun memberikan kemudahan, implementasi Madrid Protocol masih menghadapi beberapa kendala: rendahnya tingkat partisipasi pemilik merek dalam negeri untuk mendaftarkan merek secara internasional; masalah klasifikasi barang dan jenis barang; terjemahan bahasa Inggris yang baik dan benar; pembayaran dengan mata uang Swiss Franc; serta ketergantungan pada Basic Registration selama periode 5 tahun. Data menunjukkan bahwa permohonan pendaftaran merek Protokol Madrid dari Indonesia ke luar negeri masih relatif rendah, hanya 98 permohonan pada tahun 2020, meskipun mengalami peningkatan menjadi 95 permohonan pada tahun 2022.

Perkembangan Terkini dan Tantangan Masa Depan

  1. Transformasi Digital dan Efisiensi Pelayanan

    Kementerian Hukum dan HAM telah berkomitmen untuk memberikan pelayanan merek yang cepat dan terjangkau. Indonesia saat ini mampu menyelesaikan pendaftaran merek dalam maksimal 6 bulan, lebih cepat dari Amerika Serikat (12,7 bulan) dan China (12-15 bulan). Biaya pendaftaran merek di Indonesia juga lebih kompetitif, yaitu Rp 1,8 juta untuk pendaftar umum dan Rp 500 ribu untuk UMKM.

  2. Peningkatan Kesadaran Masyarakat

    Data DJKI menunjukkan peningkatan signifikan dalam permohonan kekayaan intelektual. Pada triwulan pertama 2025, terdapat peningkatan 70,87% dalam penyelesaian aplikasi kekayaan intelektual dengan total 123,933 kasus. Khusus untuk merek, terdapat peningkatan permohonan yang diselesaikan sebesar 129,86% dari 31,791 menjadi 73,074.

  3. Tantangan dalam Penegakan Hukum

    Meskipun terdapat kemajuan dalam aspek regulasi dan pelayanan, penegakan hukum merek masih menghadapi berbagai tantangan. Kendala utama meliputi: kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang perlindungan hukum merek; minimnya ahli di bidang HKI yang dapat memberikan keterangan dalam persidangan; serta inkonsistensi putusan antara perkara perdata dan pidana karena perbedaan yurisdiksi pengadilan.

Penutup

Hak merek adalah aset penting bagi pelaku usaha karena menjadi identitas, pembeda, sekaligus pelindung reputasi produk atau jasa. Melalui pendaftaran merek sesuai UU No. 20 Tahun 2016, pemilik mendapat hak eksklusif untuk menggunakan dan melindunginya dari pihak yang tidak berhak. Di tengah persaingan ketat, merek yang terlindungi tidak hanya mengamankan posisi di pasar, tetapi juga meningkatkan nilai bisnis dan peluang ekspansi, termasuk ke pasar internasional. Karena itu, pendaftaran dan perlindungan hak merek merupakan investasi strategis untuk keberlanjutan dan pertumbuhan usaha.

Referensi

Alexander Kennedy dan Fransiscus Xaverius Wartoyo. Perlindungan Merek Dagang pada Platform E-Commerce di Indonesia Ditinjau dari Perspektif HAM. JIPRO: Journal of Intellectual Property 7 (1), 2024.

Ari Juliano Gema, Achmad Faisal Rachman dan Nasya Ayudianti Ramadhani. (2024). Trademark Rules Update: Non-Use Period Extended to Five Years Before Potential Deletion. Assegaf Hamzah & Partners. URL: https://www.ahp.id/trademark-rules-update-non-use-period-extended-to-five-years-before-potential-deletion/. Diakses pada 10 Agustus 2025.

Callista Hans dan Christine S.T. Kansil. Analisis Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Penggunaan Merek pada Kelas Barang dan Jasa yang Sama. UNES Law Review 6 (2), 2023.

Falaah Saputra Siregar. (2024). Copyright and Trademark Law in Indonesia: A Comprehensive Guide. Corporate Secretarial Services. URL: https://cptcorporate.com/copyright-and-trademark-law-in-indonesia-a-comprehensive-guide/. Diakses pada 10 Agustus 2025.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 144/PUU-XXI/2023.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Wongrat Ratanaprayul. (2017). Indonesia’s Amended Trademark Law: Implications of the New Publication Process. Tilleke & Gibbins. URL: https://www.tilleke.com/insights/indonesias-amended-trademark-law-implications-new-publication-process/4/. Diakses pada 10 Agustus 2025.