Pengabaian Prinsip FPIC: Legalitas Tanpa Etika

NEWS

Insyirah Fatihah Hidayat

6/20/20253 min read

Di balik keindahan Raja Ampat yang tersohor sebagai surga biodiversitas laut dunia, tersimpan ironi yang mencemaskan: ekspansi tambang nikel yang mengancam ekosistem dan mengabaikan suara masyarakat adat. Fenomena ini bukan sekadar konflik lingkungan, melainkan cerminan dari pengabaian Prinsip Free, Prior, Informed, and Consent (FPIC)—sebuah prinsip etis dan hukum yang seharusnya menjadi fondasi dalam pengambilan keputusan pembangunan di wilayah adat.

Penolakan yang Diabaikan

Masyarakat adat di Raja Ampat sejak lama telah menyuarakan penolakan terhadap aktivitas pertambangan nikel. Namun, suara mereka seolah tenggelam di tengah derasnya arus investasi dan kepentingan industri. Investigasi Greenpeace Indonesia mengungkapkan bahwa setidaknya lima perusahaan tambang nikel telah melakukan eksplorasi di pulau-pulau kecil Raja Ampat, seperti PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Nurham. Beberapa di antaranya bahkan beroperasi tanpa dokumen lingkungan yang sah dan di luar izin kawasan hutan. Kerusakan lingkungan pun tak terelakkan. Pembukaan lahan tanpa pengelolaan limbah yang memadai, eksplorasi di kawasan hutan lindung, hingga pencemaran perairan menjadi bukti nyata bahwa pembangunan ini menyalahi Undangundang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP3K).

Yang lebih mengkhawatirkan adalah munculnya fenomena legalitas tanpa etika—di mana proyek-proyek besar memperoleh legitimasi hukum, namun mengabaikan nilai-nilai keadilan sosial dan ekologis. Bahwa legalitas administratif yang dimiliki perusahaan tambang tidak serta-merta menjamin keadilan ekologis. Dalam konteks Raja Ampat, beberapa perusahaan tambang memang memiliki izin formal, tetapi tetap melanggar prinsip-prinsip dasar perlindungan lingkungan dan hak masyarakat adat.

Legalitas semacam ini menciptakan ilusi kepatuhan hukum, padahal secara substansi justru merusak tatanan hukum yang berkeadilan. Ketika hukum dijalankan tanpa etika, maka yang terjadi bukanlah pembangunan berkelanjutan, melainkan perampasan ruang hidup yang sah secara administratif tetapi cacat secara moral. Hal ini menunjukkan kegagalan negara dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan perlindungan hak masyarakat adat dan lingkungan.

FPIC: Prinsip Fundamental Masyarakat Adat yang Dilanggar

Free, Prior, Informed, Consent (FPIC) merupakan salah satu mekanisme atau prinsip yang dikembangkan dalam upaya penguatan hak masyarakat adat dan/atau lokal atas sumber daya alam, yang meliputi penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), pemenuhan (to fulfill) dan penegakan hak masyarakat adat atas sumber daya alamnya dalam setiap tindakan yang dilakukan pihak luar terhadap masyarakat adat. Prinsip ini menjamin hak masyarakat adat untuk memberikan atau menolak persetujuan terhadap proyek yang berdampak pada wilayah dan kehidupan mereka. Prinsip ini telah diakui dalam United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People (UNDRIP) dan diadopsi dalam kerangka hukum nasional melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Lebih lanjut, FPIC memiliki empat elemen utama, yaitu:

1. Free, bermakna bahwa dalam memberikan persetujuan atau penolakan terhadap suatu rencana kegiatan tidak berasal dari paksaan dari pihak manapun. Masyarakat bebas berpendapat dan dari ancaman, tekanan, Masyarakat bebas berpendapat dan bebas dari ancaman, tekanan (waktu dan tempat) untuk bernegosiasi serta bebas untuk memilih siapa saja yang mewakili mereka;

2. Prior, bermakna bahwa persetujuan atau penolakan dilakukan sebelum kebijakan atau kegiatan dilakukan. Namun, dalam keadaan memaksa persetujuan atau penolakan Masyarakat juga dapat diperoleh ketika kegiatan berlangsung;

3. Informed, bermakna bahwa sebelum memberikan pesetujuan atau penolakan, masyarakat berhak untuk memperoleh informasi yang utuh, lengkap, objektif, dan mudah dimengerti.

4. Consent, bermakna bahwa keputusan masyarakat diperoleh melalui proses terbuka dan bertahap yang menghargai hukum adat secara kolektif dengan segala otoritas yang dianut oleh masyarakat itu sendiri.

Namun, dalam kasus Raja Ampat, prinsip ini tampak hanya menjadi formalitas administratif tanpa substansi partisipatif. Tidak adanya konsultasi yang bermakna, minimnya transparansi informasi, dan pengabaian terhadap keberatan masyarakat adat menunjukkan bahwa FPIC belum benar-benar diterapkan secara substansial. Bahkan, menurut pakar hukum Henry Indraguna, pelanggaran terhadap prinsip ini dapat menjadi dasar pencabutan izin tambang karena bertentangan dengan Putusan MK No. 35/PUUX/2012 yang mengakui hak kolektif masyarakat adat atas wilayahnya.

Seberapa Kuatkah FPIC di Indonesia?

Pertanyaan besar pun muncul: Seberapa kuatkah prinsip FPIC diterapkan di Indonesia? Jawabannya, meskipun FPIC telah diakui secara normatif, tetapi hingga kini, masih jauh dari kata kuat. Meskipun telah diakui dalam berbagai regulasi, implementasinya kerap berbenturan dengan kepentingan ekonomi, lemahnya pengawasan, dan minimnya keberpihakan terhadap masyarakat adat.

Tanpa komitmen politik yang kuat, pengawasan yang ketat, dan mekanisme penegakan hukum yang tegas, FPIC akan terus menjadi jargon kosong. Padahal, penguatan prinsip ini bukan hanya soal perlindungan hak masyarakat adat, tetapi juga tentang menjaga keberlanjutan lingkungan dan martabat hukum itu sendiri.

Referensi:

Dimi Darmawan, 2025, Tambang Nikel di Raja Ampat: Pembangunan atau Perusakan, URL: https://www.lead.co.id/tambang-nikel-di-raja-ampat-pembangunan-atauperusakan/, diakses pada 19 Juni 2025.

Fina Nailur Rohmah, 2025, Masa Depan Raja Ampat di Tengah Ekspansi Tambang Nikel, URL: https://tirto.id/masa-depan-raja-ampat-di-tengah-ekspansi-tambang-nikelhcNR?utm_medium=Share&via=TirtoID&utm_source=Whatsapp, diakses pada 20 Juni 2025.

Golar, Rizal Mahfud, Syamsul Saifudin, Muslim Kusdaryono, Mutmainah Korona, Lodewyk Wanundo, Rukmini P. Toheke, Salma Masri, Ade Junaedi, dan Nurudin. 2012. Panduan Pelaksanaan Free Prior Informed Consent (FPIC) - Program UNREDD+ Di Sulawesi Tengah. Palu: Un-Redd Programme Indonesia.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tentang Pengakuan Hak Masyarakat Adat.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil.