Pemberian Abolisi oleh Presiden kepada Tom Lembong
NEWS


Pendahuluan
Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan Indonesia, terjerat dalam kasus korupsi terkait impor gula yang menjadi sorotan publik. Kasus ini bermula dari indikasi penyimpangan dalam proses pemberian izin impor gula, yang diduga menyebabkan kerugian negara. Tom Lembong diduga terlibat dalam pengambilan keputusan yang kontroversial, meski menurut beberapa pihak, termasuk dalam proses hukum, dia tidak menikmati keuntungan pribadi dari tindakan tersebut. Proses hukum terhadapnya berjalan hingga tahap penuntutan, namun muncul perdebatan mengenai keadilan prosedur dan motif di balik kasus ini, yang dinilai memiliki dimensi politis dan administratif.
Dalam situasi tersebut, Presiden Prabowo Subianto mengajukan abolisi kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dasar utama keputusan ini adalah hak prerogatif presiden sesuai Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, yang mengatur bahwa presiden dapat memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan dari DPR. Pada kasus Tom Lembong, seluruh fraksi di DPR telah menyetujui permohonan abolisi yang diajukan Presiden setelah melewati proses konsultasi politik dan administratif antara presiden, DPR, serta pihak terkait lainnya.
Presiden menilai ada permasalahan dalam proses hukum yang dijalani Tom Lembong, terutama karena putusan pengadilan menyatakan ia terbukti melakukan tindak pidana tetapi tidak menikmati keuntungan pribadi dari kasus tersebut. Keputusan ini juga diusulkan atas masukan dari Menteri Hukum dan HAM, serta pertimbangan soal “kehadiran negara untuk menjunjung aspek keadilan dan HAM,” meski detail pertimbangannya tidak dijabarkan secara penuh ke publik.
Namun, muncul beberapa pertanyaan mendasar atas keputusan ini, seperti:
Apakah tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai extraordinary crime pantas mendapat pengampunan melalui abolisi?
Abolisi didasarkan pada kepentingan negara, tetapi apakah kepentingan negara yang dimaksud benar-benar lebih penting daripada menjaga konsistensi penegakan hukum terhadap korupsi?
Apakah pemberian abolisi kepada Tom Lembong dimanfaatkan sebagai bentuk intervensi politik terhadap proses hukum?
Pembahasan
Definisi Abolisi
Abolisi adalah hak prerogatif Presiden untuk menghapuskan proses hukum pidana yang sedang berjalan atau baru akan berlangsung terhadap seseorang atau kelompok sebelum ada putusan hukum tetap dari pengadilan. Dengan kata lain, abolisi merupakan penghapusan penuntutan pidana, sehingga semua proses hukum terhadap yang bersangkutan langsung dihentikan dan segala akibat hukum pidananya ditiadakan. Hal ini berbeda dengan amnesti (yang menghapus hukuman pidana setelah vonis) maupun grasi (yang meringankan hukuman setelah ada keputusan pengadilan).
Abolisi menurut para ahli, yaitu:
Abdul Ficar Hadjar menjelaskan bahwa abolisi berarti menghentikan proses hukum yang sedang berjalan. Abolisi bukan menghapuskan seluruh akibat hukum (seperti amnesti), melainkan difokuskan untuk menghentikan penuntutan pada kasus pidana tertentu yang masih berlangsung. Ia menegaskan bahwa abolisi bisa diberikan pada tahap proses hukum yang belum berkekuatan hukum tetap, contohnya ketika masih di tingkat banding.
Gandjar Laksmana Bonaprapta mengurai abolisi sebagai penghentian proses hukum. Dalam praktiknya, jika seseorang masih dalam proses banding, abolisi tetap bisa diberikan karena prosesnya belum inkracht (berkekuatan hukum tetap).
Chudry Sitompul memberikan penjelasan bahwa abolisi sebagai penghentian proses hukum atau peradilan yang sedang berlangsung. Biasanya, alasan utama pemberian abolisi terkait dengan latar belakang politis atau untuk menjaga stabilitas negara. Ia menekankan bahwa abolisi dapat diberikan selama kasusnya masih berjalan dan belum putusan inkracht. Ia juga menyoroti abolisi umumnya terjadi dalam kasus yang dianggap berdampak pada kepentingan umum atau politik.
Dalam tinjauan sosial, abolisi seringkali dipahami sebagai instrumen rekonsiliasi dan koreksi sosial-politik. Abolisi dapat digunakan untuk menghentikan proses hukum yang dinilai tidak adil, penuh nuansa politik, atau bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, misalnya pada kasus-kasus yang menyangkut kepentingan umum atau stabilitas nasional. Dari sisi sosial, abolisi juga dimaknai sebagai alat presiden menjaga harmoni sosial dan mencegah konflik berkepanjangan di masyarakat.
Dasar Hukum Abolisi
Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
“Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi”
Pasal 1 Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi
“Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana…”
Asas Check and Balances, bahwa pemberian abolisi oleh Presiden tidak dapat dilakukan secara sepihak, melainkan harus melalui mekanisme yang diatur dalam konstitusi dan undang-undang. Presiden wajib memperhatikan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebelum menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) terkait abolisi.
Tujuan Abolisi
Tujuan pemberian abolisi secara umum, yaitu:
Menjaga Kepentingan Negara dan Stabilitas Nasional
Menurut para ahli, tujuan utama abolisi adalah melindungi kepentingan negara yang lebih besar. Dalam perspektif siyasah dusturriyah, abolisi sangat mengedepankan kepentingan rakyat atau umat suatu negara, sehingga dengan adanya hak untuk mengeluarkan abolisi tersebut, pertahanan suatu negara atau keamanan bisa terjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Mencegah Konflik dan Ketegangan Politik
Para akademisi menekankan bahwa abolisi dalam praktiknya sering digunakan untuk mencegah ketegangan politik atau konflik yang lebih besar. Tujuan ini sejalan dengan fungsi rekonsiliasi nasional, di mana abolisi dapat membantu menciptakan perdamaian dan memulihkan stabilitas wilayah, seperti yang terjadi dalam kasus pemberian abolisi kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Koreksi Sistem Peradilan dan Keadilan Substantif
Abolisi sebagai instrumen koreksi ketika proses peradilan dinilai mengalami kekeliruan atau tidak memenuhi rasa keadilan. Abolisi diberikan atas pertimbangan khusus dari Presiden untuk menghentikan penuntutan atas perkara yang sedang berjalan, terutama ketika ada indikasi ketidakadilan prosedural.
Pemenuhan Hak Asasi Manusia
Dalam Naskah Akademik RUU Grasi, Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi, disebutkan bahwa pemberian abolisi oleh Presiden memberikan gambaran terpenuhinya hak asasi sebagai warga negara dengan tercapainya rasa keadilan. Tujuan ini menekankan aspek humanis dari abolisi sebagai perlindungan HAM.
Check and Balance Antar Lembaga Negara
Abolisi dengan pertimbangan DPR bertujuan menciptakan sistem checks and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif. DPR berfungsi sebagai pengontrol kebijakan pemerintah dalam rangka mewujudkan keseimbangan kekuasaan antar lembaga negara.
Penyelesaian Kasus dengan Dimensi Khusus
Abolisi ditujukan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang memiliki dimensi politik, ideologi, atau kepentingan umum yang tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme peradilan biasa. Hal ini sejalan dengan pengaturan dalam UU Darurat No. 11/1954 yang menyebutkan abolisi diberikan "atas kepentingan negara".
Tujuan abolisi bukan sekadar membebaskan individu dari proses hukum, melainkan untuk mencapai tujuan yang lebih besar: stabilitas nasional, keadilan substantif, rekonsiliasi politik, perlindungan HAM, dan menjaga keseimbangan kekuasaan. Namun, para ahli juga menekankan bahwa penggunaan abolisi harus sangat selektif dan transparan agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik sempit atau melemahkan supremasi hukum.
Dalam konteks kasus korupsi khususnya, mayoritas ahli berpandangan bahwa tujuan-tujuan mulia abolisi tersebut sulit dibenarkan karena korupsi merupakan kejahatan yang justru merugikan kepentingan negara dan rakyat yang seharusnya dilindungi oleh abolisi.
Kriteria Utama Pertimbangan Pemberian Abolisi
Pemberian abolisi oleh Presiden didasarkan pada sejumlah kriteria yang harus dipenuhi agar hak prerogatif ini tidak disalahgunakan dan tetap sejalan dengan prinsip keadilan dan kepentingan umum. Berikut beberapa kriteria yang menjadi pertimbangan dalam prosedur abolisi:
Kepentingan Negara dan Umum, bahwa abolisi harus diberikan dengan pertimbangan yang melibatkan kepentingan negara secara luas atau kepentingan umum dan bukan sekadar demi kepentingan individu. Hal ini diatur dan sejalan dalam Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1945 tentang Amnesti dan Abolisi, serta dipertegas dalam praktik ketatanegaraan bahwa abolisi hanya layak diberikan jika terdapat alasan strategis atau urgensi nasional yang nyata, seperti menjaga stabilitas negara, mencegah konflik berkepanjangan, atau mengoreksi tindak pidana yang proses atau motifnya berdimensi politik atau sosial secara luas.
Pertimbangan Keadilan dan Kemanusiaan, bahwa keadilan substantif harus menjadi landasan, terutama jika proses hukum yang berjalan dinilai mengandung kekeliruan, penyalahgunaan wewenang, kriminalisasi, atau berpotensi menimbulkan ketidakadilan berat bagi yang bersangkutan. Seringkali abolisi dipertimbangkan pada kasus yang menonjolkan adanya pelanggaran hak asasi manusia atau prosedur hukum yang cacat.
Pengawasan dan Pertimbangan DPR, bahwa Presiden wajib meminta dan memperoleh pertimbangan serta persetujuan DPR sebagai mekanisme “check and balances”, memastikan bahwa alasan pemberian abolisi diuji secara kolektif di ruang legislatif, bukan semata-mata keputusan satu pihak.
Aspek Prosedural, bahwa abolisi tidak dapat diberikan apabila telah ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Biasanya, abolisi diberikan sebelum ada keputusan akhir pengadilan, ketika proses penegakan hukum masih berjalan atau baru dalam tahap penuntutan.
Kriteria-kriteria inilah yang menjadi fondasi pertimbangan apakah abolisi layak diberikan atau justru berpotensi mengganggu prinsip keadilan dan rule of law.
Pemberian Abolisi pada Kasus Tindak Pidana Korupsi
Korupsi sebagai Kejahatan Luar Biasa (Extraordinary Crime)
Korupsi merupakan kejahatan yang merusak sendi-sendi negara dan kepercayaan publik, sehingga tidak semestinya mendapatkan abolisi. Dalam diskursus politik, pemberian abolisi untuk koruptor dianggap sebagai bentuk intervensi kekuasaan eksekutif terhadap proses penegakan hukum, yang berpotensi menimbulkan abuse of power dan melemahkan prinsip rule of law.
Abolisi Berpotensi Mengakali Hukum
Novel Baswedan (eks Penyidik KPK) secara tegas menyatakan keprihatinan dan penolakan terhadap amnesti dan abolisi untuk koruptor, menilai hal ini sebagai preseden buruk dan pengkhianatan atas komitmen pemberantasan korupsi. Ia menegaskan bahwa korupsi adalah kejahatan serius dan pengampunan lewat jalur politik akan melemahkan upaya anti korupsi serta menggerus kepercayaan public terhadap negara dan penegakan hukum
Lebih lanjut, IM57+ Institute juga mengecam pemberian abolisi sebagai “upaya terang-terangan mengakali hukum”. Mereka mengingatkan bahwa penyelesaian kasus korupsi tidak boleh dijadikan objek transaksi politik, dan jika dibiarkan akan meruntuhkan rule of law serta membuka ruang impunitas bagi pejabat.
Abolisi Bukan Untuk Kasus Korupsi
Dalam perkembangan sejarah perundang-undangan di Indonesia, abolisi (dan amnesti) hampir tidak pernah diberikan untuk tindak pidana korupsi, melainkan lebih sering untuk kasus politik atau keamanan negara. Banyak akademisi menekankan, pemberian abolisi kepada pelaku korupsi justru bertolak belakang dengan spirit pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia yang telah menjadi perhatian nasional.
Ahli hukum pidana dari UI, Chudry Sitompul, mengingatkan bahwa proses pemberian abolisi sangat sarat motif politik, terutama jika proses hukum masih berjalan. Namun dalam kasus korupsi, tekanan moral dan hukum agar abolitif tidak dilakukan sangat besar, karena korupsi dianggap merusak kepentingan rakyat secara luas.
Abolisi Rentan Dipolitisasi
Abolisi dalam kasus korupsi sangat rentan digunakan sebagai alat tawar-menawar atau kompromi politik di lingkaran elite. Hal ini memperburuk citra hukum di mata publik karena menimbulkan kesan adanya perlakuan istimewa bagi pelaku korupsi yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan atau kepentingan politik tertentu. Tindakan seperti ini dinilai berbahaya karena bisa merusak integritas institusi negara dan menjadikan hukum sebagai alat transaksional.
Tidak Adanya Kepentingan Negara yang Membenarkan
Dari kacamata hukum tata negara, dasar filosofis abolisi ialah melindungi kepentingan negara yang lebih besar, misalnya rekonsiliasi nasional pasca-konflik atau stabilitas nasional. Namun dalam kasus korupsi, para ahli menilai hampir tidak pernah ada kebaikan publik yang terlayani oleh pengampunan bagi koruptor. Justru sebaliknya, abolisi merugikan kepentingan umum karena memperlemah upaya bersama melawan korupsi.
Syarat Ketat: Harus Jelas Kepentingan Negara
Meski secara konstitusi pemberian abolisi adalah hak Presiden, syarat dan praktik di negara lain dan sejarah Indonesia mensyaratkan abolisi hanya dalam situasi sangat khusus, bukan untuk perkara “extra-ordinary crime” seperti korupsi.
Beberapa pejabat pemerintah menegaskan bahwa syarat mutlak pengampunan (termasuk abolisi) terhadap koruptor adalah pengembalian kerugian negara. Namun banyak ahli menilai, pengembalian uang tidak serta-merta menghapuskan tindak pidana, dan hukuman pidana tetap harus dijalankan sebagai efek jera.
Risiko terhadap Pemberantasan Korupsi
Penggunaan abolisi pada kasus korupsi dianggap bertentangan dengan misi utama reformasi hukum dan antikorupsi di Indonesia. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa jika politisasi abolisi dibiarkan, ke depan para pelaku korupsi makin berani karena ada “jalan keluar” politik, dan masyarakat menjadi apatis terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Penutup
Pemberian abolisi kepada Tom Lembong oleh Presiden Prabowo Subianto telah memicu perdebatan mendalam yang melampaui aspek hukum semata, menyentuh dimensi politik, etika, dan masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Dari perspektif substansi dan filosofi hukum, penggunaan abolisi dalam kasus tindak pidana korupsi menimbulkan pertanyaan mendasar tentang konsistensi penegakan hukum dan komitmen pemberantasan korupsi. Para ahli hukum, akademisi, dan pegiat antikorupsi secara mayoritas mengkritik keputusan ini karena dianggap bertentangan dengan semangat reformasi hukum dan berpotensi menciptakan preseden buruk yang dapat melemahkan upaya pemberantasan korupsi di masa depan.
Referensi
Ahkam Jayadi. (2025). Analisis Hukum Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto Kristiyanto. Kompas. URL: https://nasional.kompas.com/read/2025/08/01/05320761/analisis-hukum-abolisi-tom-lembong-dan-amnesti-hasto-kristiyanto?page=all. Diakses pada 01 Agustus 2025.
Ali Syarief. (2025). Makna Abolisi dan Relevansinya dalam Sistem Hukum Indonesia. Fusilat News. URL: https://fusilatnews.com/makna-abolisi-dan-relevansinya-dalam-sistem-hukum-indonesia/. Diakses pada 01 Agustus 2025.
CNN Indonesia. (2025). Apa Pertimbangan Prabowo Beri Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto?. CNN Indonesia. URL: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250801060619-32-1257417/apa-pertimbangan-prabowo-beri-abolisi-tom-lembong-dan-amnesti-hasto. Diakses pada 01 Agustus 2025.
CNN Indonesia. (2025). Novel Baswedan Kritik Keras Amnesti-Abolisi Dipakai Buat Kasus Korupsi. CNN Indonesia. URL: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250801073833-12-1257434/novel-baswedan-kritik-keras-amnesti-abolisi-dipakai-buat-kasus-korupsi. Diakses pada 01 Agustus 2025.
Detik News. (2025). 6 Hal soal Prabowo Beri Abolisi ke Tom Lembong dan Amnesti ke Hasto. URL: https://news.detik.com/berita/d-8039577/6-hal-soal-prabowo-beri-abolisi-ke-tom-lembong-dan-amnesti-ke-hasto?page=5. Detik.com. Diakses pada 01 Agustus 2025.
Jessica Pricillia Estefin Wangkil. Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana Menurut Pasal 76 KUHP. Lex Administratum V (2), 2017.
Jonathan Pandapotan Purba. (2025). Abolisi Adalah: Memahami Penghentian Proses Hukum Tom Lembong oleh Presiden. Liputan 6. URL: https://www.liputan6.com/news/read/6120747/abolisi-adalah-memahami-penghentian-proses-hukum-tom-lembong-oleh-presiden. Diakses pada 01 Agustus 2025.
Rikiandi Sopian Maulana, Chrisdianto Eko Purnomo, Haeruman Jayadi, dan Rachman Maulana Kafrawi. Urgensi Pembentukan Undang-Undang Grasi, Amnesti, Abolisi Dan Rehabilitasi Ditinjau Dari Perspektif Kepastian Hukum. Jurnal Diskresi 3 (1), 2024.
Suyogi Imam Fauzi. Politik Hukum Pemberian Grasi, Amnesti, dan Abolisi sebagai Konsekuensi Logis Hak Prerogatif. Jurnal Hukum & Pembangunan 51 (3), 2021.
Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.