Peluang Penerapan Plea Bargain dalam Hukum Acara Pidana Indonesia: Menimbang Peran Kunci Advokat

PIDANA

Insyirah Fatihah Hidayat

7/23/20254 min read

Pendahuluan

Secara umum, plea bargain adalah negosiasi antara jaksa penuntut umum dengan terdakwa atau penasihat hukum dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan di mana terdakwa mengaku bersalah atas tindak pidana yang didakwakan, atau dakwaan yang lebih ringan, sebagai imbalan atas hukuman yang lebih ringan atau konsesi lainnya dari jaksa. Praktik ini lahir dari kebutuhan untuk mengefisiensikan penyelesaian perkara dan mengurangi penumpukan kasus di pengadilan. Manfaatnya bersifat multidimensional, dimana terdakwa dapat menghindari proses persidangan yang panjang, mahal, dan berisiko hukuman yang lebih berat, sementara penegak hukum dapat menghemat waktu, tenaga, dan biaya.

Dalam praktiknya, plea bargain dapat bermanifestasi dalam beberapa bentuk, termasuk charge bargaining (negosiasi pasal yang didakwakan), fact bargaining (negosiasi fakta hukum), dan sentencing bargaining (negosiasi hukuman). Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa kesepakatan ini idealnya didasarkan pada kesukarelaan terdakwa untuk mengakui perbuatannya dan kesediaan penuntut umum untuk memberikan ancaman hukuman yang lebih ringan.

Pembahasan

Pengaturan dan Konsep Plea Bargain di Berbagai Negara

Sistem plea bargain telah menyebar luas ke berbagai negara, berasal dari Inggris (abad ke-18) dan Amerika Serikat (abad ke-19) hingga menyebar dan diadopsi oleh 53 negara pada tahun 2020. Masing-masing negara mengadaptasi konsep ini sesuai dengan sistem hukum yang berlaku di negara masing-masing, baik common law maupun civil law. Di Amerika Serikat, plea bargain memberikan diskresi besar kepada jaksa dan negosiasi umumnya dilakukan tanpa keterlibatan hakim secara langsung. Hakim baru akan terlibat pada proses untuk memastikan pengakuan bersalah dilakukan secara sukarela dan dengan pemahaman penuh akan konsekuensinya. Efisiensi sistem peradilan pidana Amerika Serikat seringkali dikaitkan dengan keberhasilan plea bargain, di mana sekitar 95% kasus pidana diselesaikan melalui mekanisme ini.

Berbeda dengan Amerika Serikat, negara-negara civil law seperti Jerman dan Prancis mengadopsi plea bargain dengan melakukan modifikasi yang signifikan menyesuaikan sistem hukum di negara mereka. Adapun di Jerman, dikenal istilah Verstandigung atau Absprache (kesepakatan), di mana hakim memiliki peran yang lebih besar dalam meninjau dan mengesahkan kesepakatan. Konsep ini juga membatasi jenis tindak pidana yang dapat menggunakan mekanisme plea bargain. Kemudian, di negara Prancis memperkenalkan comparution sur reconnaissance prealable de culpabilite (CRPC) pada tahun 2004, yang memungkinkan jaksa merekomendasikan hukuman yang lebih ringan untuk tindak pidana ringan, dengan persetujuan hakim. Meskipun demikian, penerapan plea bargaining di negara-negara tersebut disesuaikan dengan prinsip-prinsip sistem hukum inquisitorial yang menekankan pada pencarian kebenaran materiil.

Indonesia sendiri, melalui “Jalur Khusus” dalam Undang-undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada Pasal 199, mengadopsi semangat efisiensi plea bargain tetapi dengan perbedaan fundamental dari model Amerika Serikat. “Jalur Khusus” hanya berlaku untuk tindak pidana dengan ancaman hukuman tidak lebih dari 7 tahun, dan pengakuan bersalah terdakwa dilakukan di hadapan hakim setelah pembacaan dakwaan. Hakim memiliki peran aktif untuk memastikan kesukarelaan pengakuan dan dapat menolaknya jika ada keraguan. Hal ini berbeda dengan plea bargain yang melibatkan negosiasi dan tawar-menawar antara jaksa dan terdakwa di luar sidang.

Perspektif dan Kesiapan Pengacara terhadap Konsep Plea Bargain

Peran advokat menjadi sangat krusial dalam keberhasilan penerapan plea bargain atau "Jalur Khusus" di Indonesia. Advokat adalah garda terdepan dalam memastikan hak-hak konstitusional terdakwa terlindungi dan proses hukum berjalan secara adil (due process of law).

Pertama, advokat memiliki kewajiban untuk menjelaskan secara komprehensif kepada klien mengenai tahapan "Jalur Khusus", konsekuensi maksimal dari pengakuan bersalah, dan semua penawaran yang mungkin diajukan oleh penuntut umum. Ini mencakup pemahaman tentang hak-hak yang dilepaskan (seperti hak untuk banding atau hak untuk tidak memberatkan diri sendiri) dan potensi lamanya pidana yang akan dikenakan. Tanpa pendampingan hukum yang efektif, ada risiko tinggi terjadinya false confession (pengakuan palsu) yang diakibatkan oleh tekanan atau intimidasi selama proses pemeriksaan. Laporan menunjukkan masih minimnya bantuan hukum di tahap penahanan, yang dapat mempermudah praktik pemaksaan pengakuan.

Kedua, advokat berperan sebagai penyeimbang kekuatan antara tersangka/terdakwa dengan aparat penegak hukum. Dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang masih memiliki kecenderungan inquisitorial, posisi tersangka/terdakwa seringkali tidak seimbang dengan jaksa, dan cenderung hanya sebagai objek pemeriksaan. Kehadiran advokat dapat mencegah penyidik atau penuntut umum melakukan tindakan yang tidak profesional atau tidak manusiawi.

Ketiga, advokat harus memiliki kapasitas dan integritas yang memadai. Tantangannya adalah ketersediaan advokat yang merata di seluruh wilayah Indonesia, baik secara kuantitas maupun kualitas. Organisasi advokat perlu lebih aktif dalam melaksanakan kewajiban pro bono dan meningkatkan kapasitas agar dapat memberikan pembelaan yang efektif. Tanpa advokat yang kompeten dan berintegritas, tujuan "Jalur Khusus" untuk memberikan keadilan yang cepat dan efisien mungkin tidak akan tercapai, dan justru berpotensi melanggar hak asasi manusia.

Penutup

Peluang penerapan plea bargain melalui "Jalur Khusus" di Indonesia sangat besar untuk mengatasi masalah penumpukan perkara dan efisiensi peradilan. Namun, prasyarat utama keberhasilannya adalah penguatan peran advokat, memastikan pengakuan yang sukarela dan benar, serta menciptakan sistem pengawasan yang kuat terhadap seluruh aparat penegak hukum. Hanya dengan demikian, reformasi hukum acara pidana dapat benar-benar mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, biaya ringan, dan berkeadilan bagi semua.

Referensi

Alimuddin, Muh. Zuhud Al Khaer Zahir, Muh. Firdaus Rasyid, dan Muh. Fichriyadi Hastira. Plea Bargaining dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Negara Indonesia. Legal Standing Jurnal Ilmu Hukum Vol. 8 No. 2, Agustus 2024.

Choky Risda Ramadhan, Fachrizal Afandi, Korneles Materay, Sustira Dirga, Nur Ansar, Erasmus A. T. Napitupulu. (2024). Peluang Penerapan Plea Bargain dalam Hukum Acara Pidana Indonesia. Malang: Inara Publisher.

Choky Risda Ramadhan. (2015). "Jalur Khusus" dan Plea Bargaining: Serupa Tapi Tidak Sama. Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FHUI.

Junaidy Maramis, Nurhikmah Nachrawy, dan Herry Tuwaidan. Penambahan Plea Bargaining Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Lex Administratum Vol. 10 No. 5, 2022.

Rezky Abdi Fratama. Jalur Khusus (Plea Bargaining) dalam Hukum Acara Pidana. Badamai Law Journal Vol. 5 No. 2, September 2020.