Mengenal Hak Retensi Advokat
PROFESI HUKUM


Pendahuluan
Profesi advokat, dikenal sebagai officium nobile, profesi terhormat yang mulia. Filosofi ini menempatkan advokat sebagai salah satu pilar utama dalam penegakan hukum di mana integritas, kejujuran, dan kemandirian menjadi landasan dalam menjalankan tugasnya. Hubungan antara advokat dan klien terbentuk melalui sebuah perjanjian pemberian kuasa (lastgeving) yang tunduk pada ketentuan hukum perdata, khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Perjanjian ini, sebagaimana layaknya hubungan kontraktual, menciptakan hak dan kewajiban timbal balik. Klien memiliki kewajiban untuk membayar imbalan atas jasa hukum yang diberikan, sementara advokat memiliki hak untuk menerima honorarium atau success fee atas jerih payah profesionalnya. Dalam pemenuhan honorarium atau success fee, advokat memiliki hak retensi.
Pembahasan
Definisi Hak Retensi
Secara umum, hak retensi dapat didefinisikan sebagai hak untuk menahan suatu benda milik pihak lain sampai piutang yang berkaitan dengan benda tersebut dilunasi. Dalam konteks profesi advokat, hak retensi adalah wewenang yang dimiliki oleh advokat untuk menahan berkas atau dokumen perkara milik kliennya manakala honorarium atau biaya jasa hukum yang telah disepakati belum dibayarkan. Hak ini berfungsi sebagai bentuk jaminan (borgtocht) atau alat penekanan untuk mendorong klien memenuhi kewajiban finansialnya, sehingga advokat dapat melindungi hak-haknya atas jasa yang telah diberikan. Namun, penggunaan hak ini tidak dapat dilakukan secara sembarangan, melainkan harus berada dalam koridor hukum dan etika profesi yang telah ditetapkan.
Dasar Hukum Hak Retensi dalam Hukum Perdata
Fondasi hukum perdata bagi hak retensi advokat dapat ditemukan dalam Pasal 1812 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pasal ini secara eksplisit mengatur bahwa, "Penerima kuasa berhak untuk menahan kepunyaan pemberi kuasa yang berada di tangannya hingga kepadanya dibayar lunas segala sesuatu yang dapat dituntutnya akibat pemberian kuasa.". Ketentuan ini menegaskan bahwa hak retensi muncul secara otomatis sebagai konsekuensi dari perjanjian pemberian kuasa, tanpa memerlukan adanya perjanjian terpisah sebagai jaminan. Pasal ini memberikan advokat sebagai penerima kuasa, otoritas untuk menahan "kepunyaan pemberi kuasa," yang dalam hal ini dapat berupa berkas atau dokumen, sampai semua haknya seperti honorarium atau success fee dilunasi. Sifat hak ini adalah accesoir atau tambahan, artinya keberadaannya bergantung pada adanya perjanjian pokok yaitu pemberian kuasa itu sendiri.
Selain dasar hukum perdata, penggunaan hak retensi advokat juga diatur secara spesifik dalam Kode Etik Profesi. Pasal 4 Huruf K Kode Etik Advokat Indonesia menyatakan: "Hak retensi advokat terhadap klien diakui sepanjang tidak akan menimbulkan kerugian kepentingan klien.". Frasa ini menunjukkan bahwa meskipun advokat memiliki hak retensi yang sah secara hukum perdata, hak tersebut dibatasi secara ketat oleh norma etika yang menjunjung tinggi kepentingan klien.
Analisis Dualisme Hukum dan Etika
Penerapan hak retensi advokat menghadapi dualisme. Di satu sisi, ia merupakan hak yang sah untuk menagih piutang, sebagaimana diatur dalam Pasal 1812 KUHPerdata. Di sisi lain, hak ini ditempatkan di bawah etika profesi yang mengutamakan kepentingan klien, sebagaimana diatur dalam Kode Etik Advokat. Hal ini menciptakan dualisme antara hak pribadi advokat untuk dibayar dan kewajiban profesionalnya untuk melindungi klien. Berbeda dengan profesi lain yang juga memiliki hak retensi, advokat memiliki tanggung jawab fidusia (kepercayaan) yang lebih tinggi karena statusnya sebagai officium nobile. Kode Etik hadir sebagai pengingat bahwa hak perdata ini tidak boleh digunakan sebagai alat untuk mengorbankan atau merugikan klien, bahkan jika advokat merasa dirugikan secara finansial.
Syarat Sah Perjanjian Jasa Hukum
Pemberlakuan hak retensi advokat sangat bergantung pada sahnya perjanjian pemberian kuasa antara advokat dan klien. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian dianggap sah apabila memenuhi empat syarat: kesepakatan dari pihak yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat perjanjian, adanya suatu hal tertentu, dan adanya sebab yang halal. Apabila salah satu syarat ini tidak terpenuhi, maka hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian, termasuk hak retensi, dapat dipermasalahkan secara hukum. Oleh karena itu, advokat wajib memastikan bahwa perjanjian jasa hukum yang dibuat telah memenuhi seluruh unsur-unsur ini, terutama kesepakatan mengenai honorarium dan biaya lainnya, agar hak retensi memiliki landasan hukum yang kuat.
Objek Hak Retensi yang Sah
Objek dari hak retensi advokat adalah "kepunyaan" klien yang berada di tangan advokat sebagai hasil dari pemberian kuasa. Secara spesifik, objek ini mencakup berkas atau dokumen perkara klien. Contohnya termasuk surat-menyurat, akta, sertifikat tanah, atau dokumen penting lainnya yang diperlukan untuk mengurus perkara klien. Penting untuk dipahami bahwa advokat hanya dapat meretensi dokumen yang relevan dan terkait langsung dengan jasa hukum yang diberikan. Penahanan dokumen yang tidak memiliki kaitan langsung dengan perkara dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak sah.
Mekanisme Pemberlakuan Hak Retensi
Hak retensi secara teori muncul secara otomatis ketika klien tidak memenuhi kewajiban pembayarannya. Namun, dalam praktik, penggunaannya harus bijak. Ketika terjadi pergantian advokat, advokat lama memiliki kewajiban untuk menyerahkan semua surat dan keterangan penting kepada advokat yang baru. Namun, pada saat yang sama, advokat lama tetap berhak untuk memperhatikan hak retensinya. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan hak retensi harus dilakukan dengan tetap memperhatikan kelangsungan penanganan perkara klien. Sebagaimana Kode Etik Advokat mengatur, hak retensi adalah hak, bukan kewajiban, yang penggunaannya harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip kepatutan dan kepatuhan pada aturan yang ada.
Interpretasi Normatif yang Kabur
Salah satu tantangan terbesar dalam penerapan hak retensi advokat adalah kekaburan norma pada frasa "tidak akan menimbulkan kerugian kepentingan klien". Definisi "kerugian" di sini bersifat sangat subjektif dan terbuka terhadap berbagai interpretasi. Apa yang dianggap sebagai kerugian besar oleh klien—misalnya, tidak bisa melanjutkan urusan bisnis karena dokumen tertahan—mungkin dianggap oleh advokat sebagai dampak yang wajar dari tidak dipenuhinya kewajiban pembayaran. Ketidakjelasan ini menjadi pangkal perselisihan dan menciptakan ketidakpastian hukum, baik bagi advokat maupun klien, karena tidak ada pedoman yang jelas dari Dewan Kehormatan Organisasi Advokat mengenai batasan atau kondisi yang dapat dianggap sebagai "merugikan kepentingan klien."
Perspektif Ahli Hukum
Para ahli hukum memiliki pandangan yang beragam mengenai hak retensi. Prof. Subekti, misalnya, mendefinisikan hak retensi sebagai hak untuk menahan barang milik pemberi kuasa sampai kewajiban dipenuhi. Pandangan ini sejalan dengan fungsi hak retensi sebagai jaminan bagi advokat. Di sisi lain, beberapa pandangan juga menekankan bahwa advokat, sebagai manusia, berhak atas imbalan yang layak, dan hak retensi adalah salah satu instrumen untuk melindungi hak tersebut. Ini menegaskan bahwa hak retensi bukan semata-mata alat untuk menekan klien, melainkan juga bagian dari perlindungan hukum bagi advokat itu sendiri dalam menjalankan profesi.
Penutup
Profesi advokat memiliki paradoks yang melekat: di satu sisi, ia adalah officium nobile yang mengutamakan keadilan dan perlindungan hak klien; di sisi lain, ia adalah profesi yang juga harus memastikan keberlanjutan finansial bagi pelakunya. Penggunaan hak retensi, yang pada dasarnya adalah alat pragmatis untuk menagih honorarium, dapat menciptakan ketegangan dengan etika profesi yang menjunjung tinggi kepentingan klien. Penggunaan hak ini secara tidak proporsional dapat merusak kepercayaan publik dan merusak citra profesi. Oleh karena itu, seorang advokat harus senantiasa berupaya mencapai keseimbangan yang rapuh antara melindungi haknya sendiri dan menjaga martabat profesi yang diembannya.
Referensi
Ahmatmijar, Puji Kurniawan, Riski Putra Harahap, Rahmatul Fajri, dan Ahmad Rifandi Ritonga. 2024. Advokat dalam Pendampingan Hukum Klien di Indonesia. Yogyakarta: Semesta Aksara.
Anderson. Penerapan Hak Retensi Pemilik Bengkel Sentral Motor Dalam Perjanjian Perbaikan Sepeda Motor di Kecamatan Tebas Kabupaten Sambas. E-Journal Fatwa Hukum 5 (2), 2022.
Badrulzaman Mariam Darus. 2011. K.U.H.Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan. Bandung: Alumni.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Kode Etik Advokat Indonesia.
Revolis Syah Rizal Wahyu Jonansa, Anang Sulistiyono, dan Afandi. Implementasi Hak Retensi dalam Pemenuhan Hak Honorarium Advokat (Studi di Kantor Advokat Husein Tarang & Partner di Malang). Dinamika 28 (12), 2022.
Sri Sofwan Soedewi Masjchoen. 2003. Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta: Liberty.