Macam-macam Putusan Pengadilan

PERDATA

Insyirah Fatihah Hidayat

9/17/20256 min read

Pendahuluan

Dalam hukum Indonesia, putusan pengadilan memegang peran sebagai puncak dari seluruh proses peradilan. Putusan ini merupakan pernyataan otoritatif yang menjadi manifestasi dari keadilan yang diperjuangkan. Sebuah putusan yang berkualitas adalah cerminan dari integritas sistem hukum, yang mampu menjawab permasalahan pencari keadilan secara objektif, adil, dan transparan.

Putusan dapat didefinisikan sebagai pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan, yang dikenal sebagai perkara kontentius. Definisi ini membedakan putusan dari produk hukum lain, seperti penetapan, yang merupakan hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair). Namun, dalam pengertian yang lebih luas, putusan juga mencakup hasil musyawarah para pihak yang disahkan oleh hakim untuk mengakhiri sengketa.

Pentingnya putusan tidak hanya terletak pada kemampuannya untuk mengakhiri suatu sengketa, tetapi juga pada potensi substansinya untuk menjadi preseden hukum (stare decisis) atau bahkan keputusan penting (landmark decision) yang memengaruhi perkembangan hukum di masa depan. Nilai ini muncul ketika putusan tersebut ratio decidendi, yakni dasar-dasar dan alasan hukum yang aktual, rasional, dan komprehensif.

Pembahasan

Klasifikasi Putusan Berdasarkan Sifatnya

Dalam hukum acara perdata, putusan akhir dapat dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan sifatnya, yang dikenal sebagai trias putusan. Ketiga jenis putusan ini, yaitu deklarator, konstitutif, dan kondemnator, memiliki fungsi dan implikasi hukum yang berbeda, terutama terkait dengan kekuatan eksekutorialnya.

  1. Putusan Deklarator (Declaratoir Vonnis)

    Putusan deklarator adalah putusan yang bertujuan untuk menerangkan atau menegaskan suatu keadaan atau kedudukan hukum semata-mata. Sifatnya hanya mengonfirmasi fakta atau status hukum yang telah ada, tanpa menciptakan hak atau kewajiban baru bagi para pihak. Putusan ini tidak memerlukan tindakan lebih lanjut atau paksaan dari pengadilan untuk dijalankan, karena sifatnya yang otomatis berlaku.

    Contoh konkret dari putusan deklarator adalah pernyataan hakim bahwa seseorang adalah ahli waris yang sah dari almarhum, atau penegasan bahwa sebuah ikatan perkawinan sah atau tidak sah secara hukum.

  2. Putusan Konstitutif (Constitutief Vonnis)

    Berbeda dengan putusan deklarator, putusan konstitutif memiliki kekuatan untuk menciptakan suatu keadaan hukum baru atau meniadakan keadaan hukum yang sudah ada. Putusan ini secara langsung mengubah status hukum para pihak yang berperkara. Seperti halnya putusan deklarator, putusan konstitutif juga tidak memerlukan eksekusi paksa, karena perubahan status hukum yang ditimbulkannya terjadi secara otomatis.

    Contoh yang paling umum adalah putusan perceraian. Putusan ini tidak hanya menyatakan ikatan perkawinan tidak sah (seperti putusan deklarator), tetapi secara langsung dan otomatis meniadakan ikatan perkawinan tersebut, mengubah status para pihak dari suami-istri menjadi janda atau duda. Contoh lainnya adalah putusan yang menyatakan suatu perusahaan pailit.

  3. Putusan Kondemnator (Condemnatoir Vonnis)

    Putusan kondemnator merupakan putusan yang memuat amar penghukuman, yang membebankan kewajiban kepada pihak yang kalah untuk melakukan atau menyerahkan sesuatu kepada pihak yang menang. Putusan ini mengandung sebuah perintah atau prestasi yang harus dipenuhi oleh pihak yang kalah.

    Bentuk amar kondemnator dapat bervariasi, seperti menghukum tergugat untuk membayar sejumlah uang, menyerahkan sebidang tanah, mengosongkan suatu bangunan, atau melakukan/tidak melakukan suatu tindakan. Karena sifatnya yang memerintahkan suatu perbuatan, putusan kondemnator adalah satu-satunya jenis putusan yang memerlukan eksekusi paksa oleh pengadilan jika pihak yang kalah tidak melaksanakannya secara sukarela. Proses eksekusi ini didahului dengan peringatan resmi dari pengadilan (aanmaning).

Hubungan antara Putusan

Ketiga jenis putusan ini, meskipun diklasifikasikan secara terpisah, pada dasarnya, setiap putusan — baik konstitutif maupun kondemnator — selalu mengandung unsur deklarator.

Sebuah putusan tidak dapat begitu saja memerintahkan pembayaran utang (kondemnator) atau menyatakan perceraian (konstitutif) tanpa terlebih dahulu menegaskan dasar hukum yang melandasinya. Dalam hal putusan kondemnator, hakim harus terlebih dahulu menyatakan atau menegaskan secara deklarator bahwa perbuatan tergugat adalah melawan hukum dan ia memiliki kewajiban untuk membayar utang. Pernyataan inilah yang menjadi fondasi logis, atau ratio decidendi, sebelum putusan penghukuman dijatuhkan. Demikian pula, putusan perceraian harus diawali dengan pernyataan bahwa alasan-alasan perceraian yang diajukan terbukti secara sah. Dengan demikian, putusan dapat dipandang sebagai instrumen berlapis di mana lapisan deklarator berfungsi sebagai fondasi logis, sedangkan lapisan konstitutif atau kondemnator adalah konsekuensi hukum yang muncul dari fondasi tersebut.

Klasifikasi Putusan Berdasarkan Tahapan Pemeriksaan

Selain berdasarkan sifatnya, putusan juga diklasifikasikan berdasarkan tahap di mana putusan tersebut dijatuhkan dalam alur pemeriksaan perkara.

  1. Putusan Sela (Interim Verdict)

    Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum putusan akhir dan bersifat sementara. Tujuannya adalah untuk memperlancar dan mempersiapkan jalannya pemeriksaan. Putusan ini seringkali diucapkan setelah adanya eksepsi atau insiden prosedural yang diajukan oleh salah satu pihak yang berperkara.

    Ada beberapa jenis putusan sela yang memiliki fungsi berbeda:

    • Putusan Preparatoir: Putusan ini tidak memiliki pengaruh terhadap pokok perkara atau putusan akhir. Fungsinya hanya untuk mempersiapkan dan mengatur jalannya pemeriksaan. Contohnya adalah putusan yang menolak penundaan pemeriksaan saksi atau menggabungkan dua perkara yang dianggap serupa.

    • Putusan Interlocutoir: Putusan ini berisi perintah-perintah yang berhubungan dengan pembuktian dan dapat memengaruhi putusan akhir. Contohnya adalah perintah untuk melakukan pemeriksaan setempat atau mendengarkan keterangan dari seorang ahli.

    • Putusan Insidentil: Putusan ini terkait dengan suatu insiden atau peristiwa sampingan yang terjadi selama persidangan. Salah satu contohnya adalah putusan yang memperbolehkan pihak ketiga (intervensi) untuk turut serta dalam perkara.

    • Putusan Provisi: Diatur dalam Pasal 180 HIR, putusan ini berisi tindakan sementara yang dijatuhkan sebelum putusan pokok perkara diputuskan. Tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan sementara bagi salah satu pihak. Misalnya, putusan yang memerintahkan salah satu pihak untuk menunda sementara pembangunan di atas tanah yang sedang disengketakan.

  2. Putusan Akhir (Final Verdict)

    Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan perkara pada tingkat peradilan tertentu. Putusan ini bersifat definitif dan merupakan pernyataan terakhir hakim mengenai sengketa yang diajukan kepadanya.

    Dalam perkara perdata, putusan akhir dapat berupa:

    • Mengabulkan: Putusan yang mengabulkan seluruh atau sebagian gugatan yang diajukan penggugat.

    • Menolak: Putusan yang menolak seluruh gugatan karena dalil-dalil gugatan tidak terbukti atau tidak beralasan hukum.

    • Niet Ontvankelijke Verklaard (NO): Putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima karena adanya cacat formal. Contoh cacat formal ini adalah gugatan yang error in persona (salah pihak) atau obscuur libel (gugatan yang tidak jelas dan tidak berdasar).

    Sementara itu, dalam perkara pidana, putusan akhir memiliki tiga bentuk utama yang memiliki implikasi hukum yang berbeda secara fundamental:

    • Putusan Pemidanaan: Dijatuhkan ketika hakim berpendapat bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

    • Putusan Bebas (Vrijspraak): Dijatuhkan ketika hakim berpendapat bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah atas dakwaan. Putusan ini secara hukum menyatakan bahwa terdakwa tidak bersalah dan dakwaan yang diajukan oleh jaksa tidak memiliki dasar pembuktian yang cukup.

    • Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (Ontslag van Rechtsvervolging): Dijatuhkan ketika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti telah dilakukan, tetapi perbuatan tersebut tidak merupakan tindak pidana atau tidak dapat dihukum.

Klasifikasi Putusan Berdasarkan Kehadiran Pihak

Klasifikasi ini didasarkan pada kehadiran para pihak dalam persidangan saat putusan dijatuhkan.

  1. Putusan Kontradiktor

    Putusan kontradiktor adalah putusan yang dijatuhkan ketika tergugat hadir atau pernah hadir dalam persidangan. Ini merupakan jenis putusan yang paling umum dan mencerminkan adanya interaksi aktif antara kedua belah pihak dalam proses peradilan.

  2. Putusan Verstek

    Putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim ketika pihak tergugat atau kuasanya tidak hadir dalam persidangan, meskipun telah dipanggil secara sah dan patut. Dasar hukum putusan ini diatur dalam Pasal 125 HIR dan Pasal 149 RBg. Putusan verstek dapat dijatuhkan jika tergugat tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah pemanggilan yang layak dan resmi. Mekanisme ini bertujuan untuk menjaga kelancaran proses peradilan agar tidak terhambat oleh pihak yang mangkir. Terhadap putusan verstek, pihak tergugat yang tidak hadir masih dapat mengajukan upaya hukum perlawanan, yang disebut verzet.

Klasifikasi Putusan Berdasarkan Tingkat Peradilan dan Upaya Hukum

Putusan pengadilan juga dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat peradilan tempat putusan itu dijatuhkan. Setiap tingkatan peradilan menawarkan upaya hukum yang berbeda.

  1. Putusan Tingkat Pertama

    Ini adalah putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan pada tingkat pertama, seperti Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Putusan ini mengakhiri pemeriksaan pada tingkatan tersebut, namun belum memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), sehingga masih terbuka untuk upaya hukum lanjutan.

  2. Putusan Banding

    Putusan banding adalah putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat banding, seperti Pengadilan Tinggi. Putusan ini dihasilkan setelah salah satu pihak mengajukan upaya hukum banding karena tidak puas dengan putusan tingkat pertama. Upaya banding memungkinkan pemeriksaan kembali terhadap fakta dan penerapan hukum yang dilakukan oleh hakim tingkat pertama.

  3. Putusan Kasasi

    Putusan kasasi adalah putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung. Upaya hukum kasasi adalah upaya hukum biasa terakhir dan berfungsi untuk membatalkan putusan dari pengadilan yang lebih rendah. Namun, tidak seperti banding, kasasi hanya memeriksa penerapan hukum, bukan fakta-fakta perkara.

    Alasan-alasan yang dapat diajukan dalam permohonan kasasi diatur secara spesifik, antara lain:

    • Pengadilan yang lebih rendah tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.

    • Hakim salah dalam menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.

    • Hakim lalai memenuhi syarat-syarat prosedural yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang dapat membatalkan putusan.

  4. Putusan Peninjauan Kembali (PK)

    Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung sebagai upaya hukum luar biasa. Upaya PK hanya dapat diajukan satu kali, dan yang paling penting, tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

    PK hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan yang sangat terbatas dan luar biasa, di antaranya:

    • Ditemukannya bukti baru (novum) yang bersifat menentukan yang tidak dapat ditemukan saat perkara diperiksa.

    • Putusan didasarkan pada kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang baru diketahui setelah putusan.

    • Terdapat putusan yang saling bertentangan antara pihak yang sama.

    • Terdapat kekhilafan atau kekeliruan hakim yang nyata dalam putusan.

Penutup

Putusan pengadilan adalah instrumen hukum yang multifaset, yang dirancang untuk menjawab berbagai tantangan prosedural dan substansial dalam sistem peradilan. Putusan tidak dapat dipandang sebagai sebuah entitas tunggal, melainkan sebuah pernyataan berlapis yang memiliki fungsi dan implikasi yang saling terhubung. Sebagai ujung tombak penegakan hukum, putusan yang adil dan benar tidak hanya memulihkan hubungan sosial antara pihak yang bersengketa, tetapi juga membangun kepercayaan publik terhadap institusi peradilan.

Referensi

Ahmad Mujahidin. 2012. Pembaruan Hukum Acara Peradilan Agama. Bogor: Ghalia Indonesia.

Andre G. Mawey. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum. Lex Crimen V (2), Feb 2016.

Finallisa, Widhi Handoko, Mujiono Hafidh Prasetyo. Pelaksanaan Putusan Yang Bersifat Condemnatoir Dalam Perkara Pembagian Harta Bersama (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Kudus). Notarius 13 (1), 2020.

Sarwono. 2011. Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek. Jakarta: Sinar Grafika.

Yahya Harahap. 2011. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.