Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif
PERDATA


Pendahuluan
Dalam hukum acara perdata, pemahaman terhadap kewenangan mengadili atau yang dikenal dengan istilah "kompetensi" adalah dasar yang harus dikuasai oleh setiap praktisi hukum. Kompetensi peradilan menentukan apakah suatu perkara dapat diterima dan diperiksa oleh sebuah lembaga peradilan. Kompetensi ini menjamin bahwa setiap sengketa hukum ditangani oleh badan peradilan yang berhak dan sesuai, sehingga menciptakan kepastian hukum dan menghindari tumpang tindih yurisdiksi.
Pembahasan
Secara terminologi, "kewenangan" atau "kekuasaan" mengadili sering disebut juga "kompetensi," sebuah istilah yang berasal dari bahasa Belanda, competentie. Kompetensi peradilan didefinisikan sebagai hak dan kekuasaan yang dimiliki oleh suatu badan peradilan untuk menerima, memeriksa, memutus, serta menyelesaikan suatu perkara atau sengketa yang diajukan kepadanya. Pembagian kewenangan ini terbagi menjadi dua jenis utama: kompetensi absolut dan kompetensi relatif.
Kompetensi Absolut: Kewenangan Berdasarkan Materi Perkara
Kompetensi absolut merujuk pada wewenang mutlak yang dimiliki oleh suatu lembaga peradilan untuk menangani jenis perkara tertentu secara spesifik. Pembagian wewenang ini terjadi antar-badan peradilan yang berbeda jenisnya, seperti Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Perkara yang menjadi kewenangan suatu peradilan tidak dapat diperiksa oleh peradilan lain. Dasar hukum pembagian ini, menurut Yahya Harahap, didasarkan pada lingkungan kewenangan di mana tiap-tiap lingkungan peradilan memiliki wewenang tertentu yang dilimpahkan undang-undang kepadanya (diversity jurisdiction).
Sebagai contoh, Pengadilan Agama memiliki kompetensi absolut untuk mengadili perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Ini berarti kasus perceraian, misalnya, hanya dapat ditangani oleh Pengadilan Agama dan tidak bisa diajukan ke Peradilan Umum. Demikian pula, Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) memiliki kompetensi absolut untuk menyelesaikan sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Benturan Kompetensi Absolut dalam Praktik
Meskipun pembagian kompetensi absolut tampak jelas, dalam praktiknya sering terjadi ambiguitas atau "benturan kompetensi". Salah satu contoh paling menonjol adalah sengketa tanah yang melibatkan Peradilan Umum dan PTUN.
Sengketa tanah sering kali memiliki dua dimensi yang berbeda. Pertama, aspek administratif, yang berkaitan dengan legalitas penerbitan sertifikat tanah oleh pejabat negara. Kedua, aspek perdata, yang menyangkut hak kepemilikan, perbuatan melawan hukum, atau wanprestasi. Sebuah sertifikat yang sah secara administratif belum tentu menjamin kepemilikan yang sah secara perdata.
Ini menciptakan situasi di mana kedua pengadilan memiliki kompetensi absolut yang berbeda atas satu sengketa yang sama. PTUN berwenang untuk mengadili sengketa terkait cacat administratif dalam prosedur penerbitan sertifikat. Tujuannya adalah untuk menilai apakah keputusan pejabat penerbit sertifikat sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, Peradilan Umum memiliki kewenangan untuk mengadili siapa yang paling berhak atas tanah tersebut berdasarkan bukti kepemilikan dan riwayat perdata tanah, terlepas dari sertifikat yang ada. Dengan demikian, seorang pihak yang merasa dirugikan dalam sengketa tanah mungkin perlu mengajukan gugatan secara terpisah di kedua lembaga peradilan untuk mendapatkan penyelesaian yang komprehensif. Perkara ini menantang prinsip sederhana dari kompetensi absolut dan menyoroti perlunya pemahaman yang bernuansa, di mana kedua peradilan pada dasarnya menjalankan fungsi yang saling melengkapi dalam menyelesaikan sengketa yang kompleks.
Kompetensi Relatif: Kewenangan Berdasarkan Wilayah Hukum
Kompetensi relatif adalah pembagian kewenangan mengadili antar-badan peradilan yang sejenis, yang berfokus pada wilayah hukum atau domisili para pihak yang bersengketa. Misalnya, kompetensi relatif mengatur pembagian kewenangan antara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, atau antara Pengadilan Agama Kabupaten Magetan dengan Pengadilan Agama Ngawi. Dasar hukum utamanya adalah Pasal 118 Het Indonesisch Rechtsreglement (HIR) dan Pasal 142 Reglement op de Buitengewesten (R.Bg).
Asas-Asas Penentuan Kewenangan Relatif
Pasal 118 HIR menetapkan prinsip-prinsip yang krusial dalam menentukan kewenangan relatif, yang sebagian besar didasarkan pada domisili tergugat. Asas-asas ini mencakup:
Actor Sequitur Forum Rei (Asas Domisili Tergugat): Ini adalah asas utama yang menyatakan bahwa gugatan harus diajukan di Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal atau kediaman tergugat.
Forum Rei Sitae (Asas Tempat Benda Tidak Bergerak): Apabila objek sengketa adalah benda tidak bergerak, maka kewenangan mengadili jatuh pada pengadilan di wilayah tempat benda tersebut berada.
Forum Electionis (Asas Domisili Pilihan): Asas ini memberikan hak kepada para pihak untuk secara eksplisit memilih pengadilan tertentu sebagai forum penyelesaian sengketa di masa depan, yang harus dicantumkan dalam suatu perjanjian atau akad.
Pilihan yang tersedia bagi penggugat, terutama ketika ada beberapa tergugat di wilayah berbeda (hak opsi), menjadikan penentuan pengadilan sebagai keputusan yang dapat memengaruhi kelancaran dan efektivitas proses hukum.
Implikasi Prosedural Eksepsi Kompetensi
Dalam proses peradilan, tergugat dapat mengajukan eksepsi atau tangkisan terhadap gugatan yang diajukan oleh penggugat. Salah satu jenis eksepsi yang paling umum adalah eksepsi mengenai kewenangan mengadili, baik absolut maupun relatif. Perlakuan hukum terhadap kedua eksepsi ini berbeda secara signifikan.
Eksepsi kompetensi absolut dapat diajukan kapan saja selama proses pemeriksaan perkara berlangsung. Bahkan, seorang hakim memiliki kewajiban untuk menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili secara ex officio, meskipun tanpa adanya eksepsi dari tergugat. Sementara itu, eksepsi kompetensi relatif memiliki batasan yang lebih ketat, yaitu harus diajukan pada jawaban pertama tergugat. Jika tergugat tidak mengajukan eksepsi pada tahap ini, haknya untuk menangkis kewenangan relatif pengadilan dianggap gugur.
Konsekuensi Hukum
Konsekuensi dari diterimanya eksepsi kompetensi memiliki dampak langsung pada kelangsungan perkara. Jika eksepsi kompetensi absolut dikabulkan oleh hakim, maka putusan yang dijatuhkan adalah putusan akhir (eind vonnis) yang menyatakan pengadilan tersebut tidak berwenang mengadili perkara. Dengan putusan ini, pemeriksaan pokok perkara akan berhenti total, dan perkara dianggap selesai di tingkat pertama. Pihak yang tidak puas dengan putusan ini dapat langsung mengajukan upaya hukum banding.
Sebaliknya, jika eksepsi kompetensi relatif dikabulkan, putusan yang dijatuhkan adalah putusan sela (interlocutory decision). Meskipun secara teknis merupakan putusan sela, dalam praktiknya putusan ini memiliki efek putusan akhir, yaitu menghentikan pemeriksaan perkara dan menyatakannya selesai.
Analisis Putusan Pengadilan terkait Eksepsi Kompetensi Relatif
Analisis terhadap Putusan Nomor 3197/Pdt.G/2022/PA.Cbn memberikan gambaran nyata mengenai penerapan kompetensi relatif. Dalam perkara ini, gugatan perceraian diajukan oleh penggugat di Pengadilan Agama Cibinong, berdasarkan surat domisili yang dimilikinya. Namun, tergugat mengajukan eksepsi kompetensi relatif dengan dalih bahwa domisili terakhir bersama adalah di Bekasi.
Hakim dalam kasus ini mengabulkan eksepsi tergugat. Pertimbangan hakim didasarkan pada fakta bahwa bukti yang diajukan tergugat, yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK), memiliki kekuatan hukum yang lebih jelas dibandingkan surat domisili penggugat. Putusan ini menggarisbawahi pentingnya prinsip actor sequitur forum rei dan menegaskan bahwa domisili yang sah dan terakhir dari para pihak adalah penentu utama kompetensi relatif.
Mahkamah Agung sebagai Puncak Penyelesaian Sengketa Kewenangan
Sistem peradilan Indonesia memiliki mekanisme khusus untuk menyelesaikan konflik yurisdiksi melalui Mahkamah Agung (MA). Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, salah satu tugas dan wewenang MA adalah memeriksa dan memutus "sengketa tentang kewenangan mengadili".
Ini berarti, jika terjadi perselisihan atau benturan kompetensi antara dua pengadilan yang berbeda, Mahkamah Agung adalah arbiter terakhir yang akan memutuskan di mana perkara tersebut seharusnya diperiksa. Keberadaan mekanisme ini menunjukkan adanya sistem kendali dan keseimbangan yang dirancang untuk mencegah kekosongan hukum dan menjamin bahwa setiap perkara, sesulit apa pun pembagian kewenangannya, akan menemukan forum pengadilan yang tepat. Dengan demikian, MA berperan sebagai penjamin kepastian hukum dalam hal yurisdiksi.
Penutup
Kompetensi peradilan, yang terbagi menjadi kompetensi absolut dan kompetensi relatif, merupakan dua lapis filter dalam sistem peradilan. Kompetensi absolut berfungsi sebagai lapisan pertama yang memisahkan perkara berdasarkan jenis atau materinya, memastikan setiap sengketa ditangani oleh lingkungan peradilan yang memang memiliki wewenang spesifik untuknya. Sementara itu, kompetensi relatif berfungsi sebagai lapisan kedua yang membagi kewenangan antar-pengadilan sejenis berdasarkan wilayah, membawa proses peradilan lebih dekat kepada para pihak yang bersengketa.
Pada akhirnya, segala kerumitan dalam pembagian kompetensi peradilan ini bermuara pada satu tujuan utama: mewujudkan peradilan yang adil, sederhana, cepat, dan berbiaya ringan, di mana setiap perkara diperiksa di forum yang paling tepat. Konsep kompetensi peradilan adalah manifestasi nyata dari upaya sistem hukum untuk menjamin kepastian hukum dan memberikan keadilan yang beradab bagi setiap pencari keadilan.
Referensi
Het Indonesisch Rechtsreglement (HIR)
Rechtsreglement Buitengewesten (R.Bg)
Saepudin, Ani Yumarni, dan Saddam Husein. Analisis Putusan Hakim Terkait Kompetensi Relatif Gugatan Cerai di Pengadilan Agama Cibinong (Studi Putusan Nomor: 3197/Pdt.G/2022/Pa. Cbn)”. Kariah Tauhid 3 (8), 2024.
Subekti, R. dan Tjitrosudibio, T. 2005. Kamus Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.
Yahya Harahap. 2012. Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Rajawali Press.