Kohabitasi atau Living Together dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023
PIDANA


Pendahuluan
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, KUHP yang berlaku sejak masa kolonial Belanda (WvS Hindia Belanda) tidak mengenal istilah kohabitasi sebagai delik pidana. Hukum pidana di Indonesia hanya mengenal tindak pidana perzinahan (overspel) yang diatur dalam Pasal 284 Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Pasal ini secara spesifik mengatur hubungan seksual yang dilakukan oleh seseorang yang terikat perkawinan dengan orang lain yang bukan merupakan pasangan sahnya. Konsep kohabitasi, atau hidup bersama sebagai suami istri di luar ikatan perkawinan yang sah, tidak secara eksplisit diatur sebagai tindak pidana dalam WvS Hindia Belanda.
Pengesahan UU No. 1/2023 pada akhir tahun 2022, yang akan mulai berlaku efektif pada Januari 2026, membawa perubahan signifikan dengan adanya pengaturan tindak pidana kohabitasi dalam Pasal 412. Kehadiran pasal ini memicu perdebatan di masyarakat, dengan munculnya berbagai pandangan, baik yang mendukung maupun menentang kriminalisasi kohabitasi. Pihak yang mendukung umumnya berargumen bahwa pengaturan ini bertujuan untuk melindungi lembaga perkawinan yang diagungkan dan dihormati dalam masyarakat Indonesia, serta menjaga nilai-nilai moral dan kesusilaan. Sebaliknya, pihak yang menentang mengkhawatirkan potensi kriminalisasi yang luas dan dampak negatifnya terhadap kelompok-kelompok rentan, terutama bagi pasangan yang pernikahannya tidak tercatat secara administratif atau masyarakat adat dengan sistem perkawinan yang belum diakui secara legal.
Pembahasan
Definisi Kohabitasi dan Perbedaan antara Perzinahan dan Kohabitasi
Kohabitasi, yang dikenal juga dengan istilah "living together" di masyarakat Indonesia, merujuk pada situasi di mana sepasang laki-laki dan perempuan hidup bersama layaknya suami istri tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah secara hukum. Istilah lain yang sering dikaitkan dengan kohabitasi antara lain "living in non-matrimonial union," "conjugal union," atau "cohabitation,”. Perbuatan ini umumnya dianggap negatif oleh sebagian masyarakat karena sering diidentikkan dengan aktivitas seksual di luar pernikahan.
Perbedaan mendasar antara perzinahan dan kohabitasi terletak pada fokus pengaturan dan cakupan perbuatannya. Perzinahan (Pasal 284 WvS Hindia Belanda dan Pasal 411 UU 1/2023) secara spesifik mengkriminalisasi tindakan persetubuhan yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya. Sementara itu, kohabitasi (Pasal 412 UU 1/2023) lebih luas cakupannya, yaitu melarang "hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah," yang tidak hanya terbatas pada hubungan seksual, tetapi mencakup seluruh pola hidup layaknya pasangan menikah, seperti tinggal bersama, berbagi peran domestik, dan pengakuan sosial sebagai pasangan. Meskipun demikian, konteks pengaturan kohabitasi dalam UU 1/2023 tetap erat kaitannya dengan hubungan seksual, mengingat tujuan utamanya adalah melindungi lembaga perkawinan.
Pengaturan Kohabitasi di Berbagai Negara
Tim perumus UU 1/2023 melakukan kajian komparatif terhadap pengaturan kohabitasi di berbagai negara untuk mendapatkan referensi dalam merumuskan ketentuan ini di Indonesia. Negara-negara seperti Yugoslavia, Cina, dan Kanada memiliki pengaturan yang mengkriminalisasi kohabitasi, tetapi dengan batasan dan kondisi spesifik yang berbeda.
Yugoslavia (1951): Pasal 193 Yugoslavia mengkriminalisasi orang dewasa yang hidup bersama di luar ikatan perkawinan dengan anak di bawah umur 14 tahun, serta orang tua atau wali yang mengizinkan atau mendorong perbuatan tersebut. Penuntutan tidak dilakukan jika perkawinan dilangsungkan.
Cina: Pasal 259 Hukum Pidana Cina mengkriminalisasi seseorang yang dengan sadar hidup bersama atau kawin dengan suami/istri dari prajurit aktif.
Kanada: Pasal 293 Kanada mengatur pelarangan poligami dan segala bentuk hidup bersama sebagai suami istri dengan lebih dari satu orang pada waktu yang sama, baik yang diakui secara hukum maupun tidak.
Dari perbandingan ini, dapat disimpulkan bahwa negara-negara lain cenderung mengatur kriminalisasi kohabitasi dengan batasan yang jelas dan kondisi spesifik, seperti anak di bawah umur, atau dalam konteks poligami. Berbeda dengan rumusan kohabitasi pada UU 1/2023 yang cenderung bersifat umum tanpa adanya batasan spesifik.
Pengaturan Kohabitasi dalam UU No. 1 Tahun 2023
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, pengaturan kohabitasi diatur dalam Pasal 412. Pasal ini dirumuskan sebagai upaya untuk melindungi lembaga perkawinan dan pada hakikatnya melarang bentuk hubungan seksual di luar perkawinan yang sah. Meskipun demikian, pasal ini dianggap sebagai kriminalisasi baru yang lebih luas dari tindak pidana perzinahan yang sudah ada sebelumnya.
Rumusan Pasal 412 KUHP baru adalah sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan atau
b. orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan
(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Mekanisme Pengaduan atas Perbuatan Kohabitasi dalam UU No. 1 Tahun 2023
Pasal 412 UU 1/2023 mengatur bahwa tindak pidana kohabitasi merupakan delik aduan, artinya penuntutan hanya bisa dilakukan jika ada pihak yang mengadukan. Pihak yang berhak melakukan pengaduan, terbatas pada suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan, orang tua atau anak kandung (berusia minimal 16 tahun) bagi orang yang tidak terikat perkawinan. Khusus untuk orang tua, meskipun tidak ada penjelasan eksplisit mengenai orang tua kandung atau angkat, salah satu tim perumus UU 1/2023 berpendapat bahwa yang berhak melaporkan adalah orang tua kandung, sejalan dengan ketentuan untuk anak.
Berbeda dengan ketentuan umum delik aduan dalam Pasal 30 KUHP, pengaduan kohabitasi tidak terikat batas waktu 3 bulan dan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai. Namun, Pasal 30 ayat (2) yang menyatakan bahwa pengaduan yang telah ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi, juga dikecualikan untuk tindak pidana kohabitasi. Artinya, pengaduan kohabitasi masih dapat diajukan kembali meskipun telah dicabut, selama belum melewati masa kedaluwarsa, yang menimbulkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan sebagai alat ancaman.
Permasalahan Pengaturan Kohabitasi: Delik Aduan Terbatas
Pengaturan kohabitasi sebagai delik aduan terbatas, di mana hanya suami/istri, orang tua, atau anak yang terdampak yang dapat mengadu, menimbulkan permasalahan signifikan. Secara praktis, sangat sulit bagi pihak keluarga untuk mengajukan pengaduan terhadap kerabat terdekatnya, mengingat dampak sosial dan emosional yang akan timbul. Meskipun hak untuk mengadu diberikan kepada pihak-pihak tersebut dengan alasan adanya ikatan keluarga (perkawinan atau darah), dalam realitasnya, jarang sekali ada anggota keluarga yang bersedia membawa kasus kohabitasi kerabatnya ke ranah hukum. Hal ini berbanding terbalik dengan praktik di beberapa peraturan daerah sebelumnya yang memperbolehkan setiap orang untuk melaporkan perbuatan kohabitasi, meskipun praktik penegakannya seringkali diskriminatif dan bermasalah secara hukum.
Kondisi ini menciptakan dilema. Di satu sisi, pengaturan delik aduan terbatas bertujuan untuk menghindari kriminalisasi yang berlebihan dan menjaga privasi keluarga. Namun, di sisi lain, batasan ini dapat membuat pasal kohabitasi sulit untuk diimplementasikan secara efektif, karena kurangnya keinginan dari pihak yang berhak mengadu untuk melibatkan aparat penegak hukum dalam masalah pribadi keluarga mereka.
Penutup
Pengaturan tindak pidana kohabitasi dalam UU 1/2023 sebagai KUHP baru menandai perubahan paradigma dalam hukum pidana Indonesia. Dari sebelumnya hanya mengenal perzinahan, kini ada upaya untuk mengkriminalisasi hidup bersama di luar ikatan perkawinan yang sah. Meskipun didasari oleh niat untuk melindungi lembaga perkawinan dan nilai-nilai moral, implementasi pasal ini menghadapi berbagai tantangan.
Potensi kriminalisasi terhadap perkawinan tidak tercatat merupakan isu krusial yang perlu diperhatikan. Selain itu, mekanisme delik aduan terbatas yang hanya memungkinkan suami/istri, orang tua, atau anak untuk mengadu, berpotensi menghambat efektivitas penegakan pasal ini di lapangan. Ke depan, diperlukan interpretasi yang cermat dan mungkin penyesuaian regulasi untuk memastikan bahwa tujuan pengaturan kohabitasi dapat tercapai tanpa menimbulkan ketidakadilan atau dampak negatif yang tidak diinginkan bagi masyarakat. Harmonisasi antara perlindungan nilai-nilai sosial dan penegakan hak asasi manusia akan menjadi kunci dalam implementasi UU 1/2023.
Referensi
Arief, B. N. (2014). Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta: Pranada Media.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). (2024). Modul KUHP 2023: Tindak Pidana Kohabitasi. Jakarta: ICJR.
Tim ICJR. (2023). Mengenal KUHP Baru: Yang Baru, Bermasalah, dan Langkah Ke Depan. Jakarta: ICJR.