Kecakapan dan Kewenangan dalam Hukum Perdata

PERDATA

Insyirah Fatihah Hidayat

7/26/20255 min read

Pendahuluan

Dalam hukum perdata, konsep kecakapan dan kewenangan merupakan dua pilar penting yang menentukan keabsahan suatu perbuatan hukum. Meskipun seringkali dianggap serupa, keduanya memiliki perbedaan mendasar dalam tujuan, subjek, dan akibat hukumnya.

Pembahasan

Kecakapan Bertindak dalam Hukum

Kecakapan bertindak atau kecakapan hukum (bekwaamheid) merujuk pada kemampuan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum sendiri yang menimbulkan akibat hukum. Prinsip umum kecakapan diatur dalam Pasal 1329 BW yang menyatakan bahwa "semua orang cakap dalam melakukan perbuatan.” Namun, Pasal 1330 BW menambahkan pengecualian, yaitu "kecuali oleh UU dia dinyatakan tidak cakap”. Hal ini berarti setiap individu dianggap cakap, kecuali undang-undang secara eksplisit menyatakan sebaliknya.

Ada tiga golongan orang yang dinyatakan tidak cakap menurut Pasal 1330 BW:

  1. Orang yang Belum Dewasa

    Kedewasaan dalam konteks hukum perdata tidak hanya diukur dari usia, tetapi juga dari status. Menurut Pasal 330 BW, seseorang dianggap dewasa apabila telah berumur 21 tahun atau telah melangsungkan perkawinan sebelumnya. Dengan demikian, sekalipun seseorang baru berusia 17 tahun, ia dianggap dewasa jika telah menikah.

    Bagi orang yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, ia berada di bawah perwalian. Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) juga mengatur hal ini. Pasal 47 UU Perkawinan menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan berada di bawah kekuasaan orang tuanya, kecuali dicabut dari kekuasaannya. Jika tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, anak tersebut berada di bawah perwalian (Pasal 50 UU Perkawinan). Perlu dicatat bahwa Pasal 66 UU Perkawinan menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam BW terkait perkawinan yang telah diatur dalam UU Perkawinan dinyatakan tidak berlaku. Oleh karena itu, ukuran dewasa yang berlaku sekarang berdasarkan UU Perkawinan adalah di atas 18 tahun, karena di bawah usia tersebut mereka berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian.

    Perbedaan antara kekuasaan orang tua dan perwalian terletak pada status perkawinan orang tua dan tanggung jawab pelaporan, yaitu:

    • Kekuasaaan orang tua hanya ada sepanjang perkawinan orang tuanya masih utuh. Pengeluaran anak tidak perlu dicatat dan dilaporkan.

    • Jika sudah tidak utuh (perceraian), baik karena kematian maupun gugatan cerai, bukan lagi kekuasaan orang tua, tetapi berubah menjadi wali. Keputusan perwalian ditetapkan oleh pengadilan. Apabila anak yang berada di bawah perwalian, mendapat warisan dari orang lain, orang tua yang menjadi wali harus mencatat seluruh pengeluaran yang digunakan untuk anak. wali harus melaporkan pengeluaran yang digunakan untuk anak setelah perceraian hingga sang anak menikah.

    • Terkait pewarisan, anak tetap mewarisi dari ayah dan ibu walaupun ayah ibunya telah bercerai. Adapun perwalian dilaksanakan dalam rangka mengurus kepentingan anak di kemudian hari setelah orang tua bercerai.

    Menurut KUH Pidana, usia dewasa adalah 16 tahun, kemudian dalam UU Perlindungan Anak dan UU Peradilan Anak menyatakan bahwa usia dewasa Adalah 18 tahun.

    Mengenai status kedewasaan jika perkawinan dibubarkan sebelum usia 22 tahun, Pasal 330 BW ayat 2 menyatakan bahwa mereka tidak kembali lagi dalam istilah belum dewasa, artinya mereka tetap dianggap cakap meskipun usia mereka belum 22 tahun.

  2. Orang yang Ditaruh di Bawah Pengampuan (curatele)

    Pengampuan adalah tindakan hukum untuk melindungi kepentingan seseorang yang karena kondisi mental atau fisiknya tidak mampu mengurus kepentingannya sendiri. Pasal 433 BW menjelaskan bahwa setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, bahkan jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Kriteria ini bersifat permanen ("selalu ada") atau temporer ("kadang-kadang"). Selain itu, seseorang juga dapat ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya (Pasal 433 BW). Berdasarkan doktrin yurisprudensi, pemabuk juga dapat ditaruh di bawah pengampuan, dan di beberapa negara, pengguna obat-obatan terlarang juga termasuk dalam kategori ini.

    Seseorang yang ditaruh di bawah pengampuan (disebut kurandus) memiliki kedudukan yang sama dengan orang yang belum dewasa (Pasal 452 BW). Oleh karena itu, mereka membutuhkan seorang pengampu yang mengurus kepentingannya. Penting untuk membedakan antara orang sakit jiwa dengan orang dungu, sakit otak, atau mata gelap. Tidak semua penyakit kejiwaan berarti seseorang dapat ditempatkan di bawah pengampuan.

    Akibat hukum dari perbuatan yang dilakukan oleh orang di bawah pengampuan berbeda tergantung waktu perbuatannya. Pasal 446 BW menyatakan bahwa pengampuan mulai berlaku sejak putusan atau penetapan diucapkan. Jika tindakan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan, perbuatan tersebut batal demi hukum. Namun, Pasal 447 BW menyatakan bahwa tindakan perdata yang dilakukan sebelum perintah pengampuan diucapkan, tetapi dasar pengampuan (dungu, sakit otak, atau mata gelap) sudah ada pada saat tindakan itu dilakukan, dapat dibatalkan. Ini berarti orang yang dungu, gila, atau mata gelap, perbuatannya dapat dibatalkan jika dilakukan sebelum ada penetapan pengadilan, dan batal demi hukum jika dilakukan setelah ada penetapan pengadilan.

  3. Orang-orang Perempuan (yang Bersuami)

    Pada awalnya, Pasal 330 BW bagian ketiga menyatakan bahwa perempuan yang telah menikah (bersuami) dianggap tidak cakap. Ketidakcakapan ini berbeda dengan kurandus; seorang istri diperbolehkan berbuat tetapi harus didampingi oleh suami, dan tindakannya tidak sah tanpa persetujuan suami. Namun, dengan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 163, Mahkamah Agung meminta hakim untuk tidak memberlakukan Pasal 108 dan 110 BW, yang berarti hakim harus menganggap perempuan bersuami tetap cakap untuk bertindak sendiri sepanjang tidak berkaitan dengan harta bersama. Meskipun demikian, ada pandangan yang menyatakan bahwa SEMA tersebut tidak serta merta menjadikan perempuan sepenuhnya cakap dalam bertindak.

Kewenangan Bertindak dalam Hukum

Kewenangan bertindak berbeda dengan kecakapan. Pasal 1330 BW juga menyebutkan kategori keempat "kepada siapa UU telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu”. Poin ini lebih mengacu kepada ketidakwenangan (bevoegdheid), bukan ketidakcakapan. Pasal ini menunjuk pada Pasal 1467-1470 BW, yang mengatur larangan-larangan tertentu bagi orang-orang yang sebenarnya cakap, seperti hakim, pengacara, panitera, dan pegawai. Mereka dilarang melakukan proses jual beli atas barang tertentu, dan ancamannya adalah batal demi hukum.

Perbedaan Kecakapan dan Kewenangan

Berikut adalah perbedaan mendasar antara kecakapan dan kewenangan:

Perbedaan akibat hukum ini sangat krusial. Perbuatan yang "dapat dibatalkan" (vernietigbaar) memiliki akibat hukum sampai ada pembatalan oleh pengadilan, dan pembatalan tersebut bersifat konstitutif. Artinya, perbuatan tersebut tetap sah sampai ada putusan pengadilan yang membatalkannya. Sebaliknya, perbuatan yang "batal demi hukum" (nietig van rechtswege) dianggap tidak pernah ada dan tidak memiliki akibat hukum sejak awal, serta bersifat deklaratif, artinya pengadilan hanya menetapkan bahwa perbuatan tersebut memang batal.

Dalam konteks perjanjian, jika syarat subjektif (kecakapan dan kesepakatan) tidak terpenuhi, perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Namun, jika syarat objektif (hal tertentu dan sebab yang halal) tidak terpenuhi, perjanjian tersebut batal demi hukum.

Penutup

Kecakapan dan kewenangan adalah dua aspek fundamental dalam hukum perdata yang mengatur keabsahan perbuatan hukum. Kecakapan berfokus pada kemampuan individu untuk melakukan perbuatan hukum, dengan pengecualian bagi mereka yang belum dewasa, di bawah pengampuan, dan pada masa lalu juga perempuan bersuami. Tujuannya adalah melindungi pihak yang tidak cakap, dan akibat hukumnya umumnya adalah dapat dibatalkan. Sementara itu, kewenangan berkaitan dengan batasan hukum bagi orang-orang yang cakap untuk melakukan perbuatan tertentu, dengan tujuan melindungi pihak lain. Akibat hukum dari pelanggaran kewenangan adalah batal demi hukum.

Referensi

Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 163 Tahun 2023.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Pidana Anak.

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Perlindungan Anak.