Katarsis: Wakil Rakyat “Pilihan” Rakyat


Sebuah ungkapan diri dari melihat gejolak demonstrasi yang baru-baru ini terjadi. Menyeruak pemandangan yang penuh daya. Di jalanan, amarah, harapan, dan tuntutan tumpah ruah menjadi energi kolektif. Potret murni "suara rakyat". Namun, terbesit tanya: mengapa energi sebesar ini seringkali menguap, dan siklus kekecewaan yang sama terulang kembali dalam tiap periode kemudian?
Jawabannya mungkin terletak pada jebakan pemikiran yang tidak kita sadari, sebuah ilusi yang dibungkus rapi dalam konsep "hak politik" dan "demokrasi prosedural". Catatan ini bukanlah ajakan untuk menjadi apatis, melainkan untuk menjadi jauh lebih kritis.
Demokrasi Prosedural = Ritual yang Melenakan
Sejak kecil saya biasa diajarkan bahwa puncak dari partisipasi warga negara adalah menggunakan hak pilihnya di bilik suara. Pemilu digambarkan sebagai sebuah mekanisme suci di mana semua suara setara, sebuah ritual agung di mana rakyat adalah raja. Inilah yang menurut saya disebut sebagai demokrasi prosedural: selama tahapan-tahapan formal kampanye, pencoblosan, dan penghitungan terlaksana, maka demokrasi dianggap telah berjalan.
Namun, dari kacamata saya, pendekatan ini masih menyimpan banyak keresahan tentang pengandaian negara di masa depan seperti “apa?”, yang kemudian mereduksi demokrasi menjadi hanya sekadar ritual teknis. Fokus pada prosedur seringkali mengabaikan substansi: apakah pilihan yang disajikan kepada kita benar-benar representatif? Ataukah kita hanya diberi kebebasan untuk memilih di antara kandidat-kandidat yang telah disaring dan disetujui oleh elit politik dan elit ekonomi yang sama?
Hukum pemilu dan partai politik, yang seharusnya menjadi wasit yang adil, justru seringkali menjadi alat untuk melanggengkan status quo. Aturan mengenai ambang batas parlemen, biaya politik yang mahal, dan akses media yang tidak setara secara inheren menciptakan arena permainan yang tidak adil. Akibatnya, kita terjebak dalam siklus memilih "yang tidak terlalu buruk" di antara pilihan yang buruk, bukan memilih yang terbaik untuk kepentingan rakyat. Ritual mencoblos pun menjadi katarsis sesaat yang melenakan kita dari kenyataan bahwa struktur kekuasaan yang sesungguhnya tidak banyak berubah.
Ilusi "Hak": Ketika Hukum Menjadi Alat Status Quo
Pendekatan kritis juga menantang cara kita memandang "hak". Kita sering menganggap hak politik sebagai perisai sakti. Namun, sekedar mengingatkan, bahwa hukum tidaklah netral; ia adalah produk dari pertarungan kekuasaan. Hak yang tertulis di atas kertas bisa menjadi kosong tanpa adanya struktur sosial dan ekonomi yang mendukungnya.
Anda memiliki hak untuk memilih, tetapi hak itu menjadi ilusi jika informasi tentang calon dimonopoli oleh media yang partisan atau dibanjiri oleh hoaks dari para pendengung bayaran. Anda memiliki hak untuk berpendapat, tetapi hak itu terasa tumpul ketika kritik Anda dianggap sebagai subversi dan ruang-ruang publik yang dikuasai oleh narasi tunggal para penguasa.
Menurut saya, Kekeliruan terbesar dalam menggunakan hak politik kita adalah menganggapnya sebagai tindakan individual yang terisolasi dari sistem. Kita keliru ketika kita berpikir bahwa memilih orang "baik" saja sudah cukup, tanpa mempertanyakan sistem yang memungkinkan orang "jahat" dapat berkuasa dengan mudah. Hukum, dalam konteks ini, tidak selalu menjadi solusi. Sebaliknya, ia bisa menjadi bagian dari masalah, memberi legitimasi pada sebuah sistem yang secara fundamental tidak adil, hanya karena prosedurnya telah diikuti.
Menjadi Warga Negara Kritis: Dari "Siapa" ke "Mengapa"
Lalu, bagaimana kita keluar dari jebakan ini? Solusi saya adalah dengan menggeser cara kita berpikir: dari sekadar bertanya siapa yang akan dipilih, menjadi bertanya mengapa pilihan kita hanya sebatas ini. Ini adalah langkah untuk berevolusi dari pemilih pasif menjadi warga negara yang kritis dan berpikir.
Mulailah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membongkar, bukan yang mengkonfirmasi:
Mengapa Isu Ini yang Diangkat? Alih-alih terpukau dengan janji kampanye (misal: "pembangunan jalan tol"), tanyakan: mengapa isu infrastruktur lebih diprioritaskan daripada, katakanlah, reformasi agraria atau perlindungan buruh? Kepentingan siapa yang dilayani oleh prioritas ini?
Siapa di Belakang Mereka? Lupakan sejenak citra publik yang ditampilkan. Lacak aliran dana kampanyenya. Siapa donatur terbesarnya? Apakah ada rekam jejak hubungan dengan korporasi ekstraktif, pengembang properti, atau oligarki? Ini bukan soal “souzon”, ini soal menelusuri potensi konflik kepentingan.
Apa Akar Masalahnya? Jika seorang calon menawarkan solusi "Bantuan Langsung Tunai" untuk kemiskinan, kita bisa bertanya: apa akar dari kemiskinan tersebut? Apakah kebijakannya hanya akan menjadi "pemadam kebakaran" sementara, atau ia berani menyentuh masalah struktural seperti sistem upah yang tidak adil atau akses lahan yang timpang?
Melampaui Bilik Suara
Pada akhirnya, catatan ini saya buat untuk mengajak kita berpikir bahwa amarah di jalanan tidak boleh berakhir menjadi kepasrahan di bilik suara. Energi perlawanan itu harus ditransformasikan menjadi kesadaran kritis yang permanen.
Demokrasi sejati bukanlah peristiwa lima tahunan. Ia adalah perjuangan sehari-hari yang dilakukan di ruang diskusi, dalam pengorganisasian komunitas, melalui jurnalisme independen, dan dalam setiap upaya kita untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas.
Menggunakan hak politik secara kritis berarti menyadari bahwa suara kita lebih dari sekadar selembar kertas. Ia adalah alat untuk membongkar struktur yang timpang, bukan sekadar untuk memilih administrator baru bagi sistem yang lama. Hanya dengan logika dan keberanian untuk mempertanyakan inilah, masa depan bangsa dan negara dapat kita perjuangkan secara substantif, bukan lagi secara ilusi.