Membedah Jerat Hukum Pemalsuan Ijazah di Indonesia

PIDANA

Insyirah Fatihah Hidayat

6/26/20253 min read

Ijazah, sebagai dokumen resmi yang menjadi legitimasi seseorang dalam menempuh jenjang pendidikan dan kualifikasi keilmuan, memiliki nilai yang sangat krusial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia adalah gerbang menuju kesempatan karir, pendidikan lanjutan, bahkan pengakuan sosial. Namun, di tengah urgensi dan nilai sakralnya, praktik pemalsuan ijazah masih kerap ditemukan, menjadi duri dalam sistem hukum dan integritas sosial Indonesia.

Lantas, bagaimana hukum Indonesia memandang kejahatan pemalsuan ijazah ini?

Pemalsuan Ijazah: Kejahatan Pemalsuan Surat

Pemalsuan ijazah tidak lain adalah bagian dari tindak pidana pemalsuan surat. Sebuah perbuatan "memalsukan" (vervalsen) surat diartikan sebagai tindakan mengubah isi surat oleh orang yang tidak berhak, sehingga sebagian atau seluruh isinya berbeda dari surat aslinya.

Di Indonesia, tindak pidana pemalsuan surat telah diatur secara jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Bab XII Buku II, mulai dari Pasal 263 hingga Pasal 276.

Pasal 263 KUHP ayat (1) menyatakan, "Barang siapa yang membuat surat palsu ataupun memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang bermaksud untuk menjadikan bukti sesuatu hal dengan maksud untuk memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun”.

Secara rinci, pemalsuan surat dalam KUHP dikelompokkan menjadi 7 jenis kejahatan:

  1. Pemalsuan surat dalam bentuk pokok (Pasal 263)

  2. Pemalsuan surat yang diperberat (Pasal 264)

  3. Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik (Pasal 266)

  4. Pemalsuan surat keterangan dokter (Pasal 267 dan 268)

  5. Pemalsuan surat-surat tertentu (Pasal 269, 270, dan 271)

  6. Pemalsuan surat keterangan Pejabat tentang hak milik (Pasal 274)

  7. Menyimpan bahan atau benda untuk pemalsuan surat (Pasal 275)

Perkembangan Hukum: UU Nomor 1 Tahun 2023

Tidak hanya dalam KUHP lama, regulasi mengenai pemalsuan surat juga diperbarui dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU 1/2023), tepatnya pada Pasal 391 sampai Pasal 400.

Pasal 391 ayat (1) UU 1/2023 berbunyi, "Setiap orang yang membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari suatu hal, dengan maksud untuk menggunakan atau meminta orang lain menggunakan seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, jika penggunaan surat tersebut dapat menimbulkan kerugian, dipidana karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori VI".

UU 1/2023 juga mengelompokkan tindak pidana pemalsuan surat menjadi 8 macam:

  1. Pembuatan surat palsu pada umumnya (bentuk pokok pemalsuan surat)

  2. Melakukan pemalsuan surat tertentu

  3. Melakukan penyimpanan bahan atau alat yang digunakan untuk melakukan pemalsuan surat

  4. Keterangan palsu dalam akta autentik

  5. Pemalsuan terhadap surat keterangan

  6. Pembuatan paspor palsu

  7. Pemalsuan surat pengantar bagi hewan atau ternak

  8. Pemalsuan surat keterangan pejabat yang berwenang terhadap hak milik

Penting untuk diketahui, UU 1/2023 menjelaskan bahwa pemalsuan dokumen bisa terjadi pada seluruh lembar dokumen atau hanya sebagiannya. Contohnya, pembuatan ijazah palsu secara utuh atau mengubah keterangan yang tertera pada ijazah sehingga informasi di dalamnya tidak lagi sah.

Jerat Hukum Lainnya: UU ITE dan UU Sisdiknas

Selain KUHP dan UU 1/2023, pemalsuan dokumen juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 35 UU ITE secara spesifik menyebutkan bahwa manipulasi, penciptaan, pengubahan, penghilangan, atau perusakan dokumen elektronik dengan tujuan agar dianggap data otentik, merupakan tindakan pemalsuan dokumen elektronik. Pelanggaran pasal ini diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp12 miliar, sebagaimana diperkuat oleh Pasal 51 ayat (1) UU ITE.

Tak kalah penting, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) juga secara khusus mengatur tindak pidana terkait dokumen pendidikan. Pasal 69 ayat (1) UU Sisdiknas dengan tegas menyatakan, "Setiap orang yang dengan sengaja memberikan ijazah atau sertifikat kompetensi tanpa hak, dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)". Meskipun pasal ini lebih menitikberatkan pada pihak yang "memberikan" ijazah palsu, bukan yang "membuat" atau "menggunakan", ini menunjukkan komitmen negara dalam memberantas praktik ilegal terkait dokumen pendidikan. Bahkan, ayat (2) dari pasal yang sama memberikan ancaman pidana bagi pihak yang menerima atau menggunakan ijazah palsu.

Kesimpulan

Pemalsuan ijazah adalah kejahatan serius yang mengancam integritas sistem pendidikan dan tatanan sosial di Indonesia. Hukum Indonesia telah menyediakan landasan yang kuat untuk menindak para pelaku, menunjukkan komitmen negara dalam menjaga validitas dokumen pendidikan. Namun, penegakan hukum yang tegas harus diimbangi dengan upaya pencegahan melalui sistem verifikasi yang kuat dan edukasi berkelanjutan kepada masyarakat. Hanya dengan pendekatan komprehensif ini, harapan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang bersih, menjunjung tinggi kejujuran, serta pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan berintegritas dapat terwujud.

Referensi:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.