Jenis-jenis Eksepsi dalam Hukum Acara Perdata Indonesia

PERDATA

Insyirah Fatihah Hidayat

9/5/20257 min read

Pendahuluan

Dalam praktik litigasi perdata, eksepsi merupakan instrumen yang digunakan oleh pihak tergugat untuk menanggapi gugatan yang diajukan oleh penggugat. Secara etimologis, istilah "eksepsi" berasal dari kata exceptie (Belanda) atau exception (Inggris) yang berarti pengecualian. Namun, dalam konteks hukum acara perdata, maknanya berkembang menjadi tangkisan atau bantahan yang diajukan oleh tergugat terhadap gugatan penggugat, yang esensinya tidak langsung menyentuh pokok atau substansi perkara.

Fungsi utama eksepsi adalah untuk mempersoalkan hal-hal yang menyangkut syarat-syarat formalitas gugatan, di mana gugatan tersebut dianggap mengandung cacat atau pelanggaran formil. Dengan demikian, eksepsi menjadi sebuah "penjaga gerbang" prosedural yang memastikan bahwa suatu gugatan telah memenuhi seluruh prasyarat yang ditetapkan oleh hukum acara sebelum substansinya dapat diperiksa oleh hakim. Pengajuan eksepsi memungkinkan tergugat untuk mengakhiri proses persidangan lebih awal, bahkan sebelum memasuki tahap pembuktian yang seringkali memakan waktu dan biaya.

Pembahasan

Tujuan Eksepsi: Putusan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO)

Tujuan akhir dari pengajuan eksepsi adalah untuk meminta hakim agar menjatuhkan putusan negatif, yaitu menyatakan gugatan penggugat "tidak dapat diterima" atau yang dikenal dengan istilah hukum Niet Ontvankelijke Verklaard (NO). Berbeda dengan putusan yang menolak gugatan (yang berarti pokok perkara telah diperiksa dan dianggap tidak memiliki dasar hukum), putusan NO tidak menyentuh substansi atau materi pokok perkara sama sekali.

Putusan NO memiliki implikasi yang signifikan. Ketika sebuah eksepsi dikabulkan, pengadilan akan mengakhiri seluruh proses pemeriksaan perkara tanpa masuk ke dalam substansi sengketa. Namun, putusan ini tidak mengikat secara permanen terhadap materi sengketa itu sendiri. Penggugat masih memiliki hak untuk mengajukan kembali gugatan yang sama setelah memperbaiki cacat formal yang menjadi alasan dikabulkannya eksepsi. Dengan kata lain, putusan NO mengakhiri gugatan yang diajukan, tetapi tidak mengakhiri potensi sengketa di masa depan, kecuali jika gugatan tersebut sudah tidak dapat diajukan kembali karena alasan hukum tertentu. Hal ini berbeda dengan putusan yang menolak gugatan, di mana putusan tersebut memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak dapat diajukan kembali.

Dasar Hukum Eksepsi

Penerapan eksepsi dalam hukum acara perdata di Indonesia berlandaskan pada beberapa ketentuan hukum. Dasar hukum utama eksepsi terdapat dalam Herziene Inlandsch Reglement (HIR), khususnya Pasal 133 dan Pasal 134, serta Pasal 118. Selain itu, Rechtsreglement voor de Buitengewesten (Rbg), sebagai acuan hukum acara di luar Jawa dan Madura, juga mengatur ketentuan serupa.

Untuk eksepsi yang berkaitan dengan formalitas gugatan, ketentuan Pasal 114 Reglement op de Rechtsvordering (Rv) sering kali digunakan sebagai acuan mengenai batas waktu pengajuannya. Di samping itu, peraturan pelengkap seperti Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) juga berperan penting, misalnya SEMA Nomor 1 Tahun 1971 dan SEMA Nomor 6 Tahun 1994, yang melengkapi syarat formalitas untuk surat kuasa khusus.

Klasifikasi Utama: Eksepsi Prosesuil dan Eksepsi Materiil

Dalam praktik peradilan, eksepsi secara umum diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, yaitu eksepsi prosesuil dan eksepsi materiil. Kedua jenis eksepsi ini memiliki perbedaan mendasar dalam fokus dan tujuannya. Eksepsi prosesuil lebih menekankan pada aspek keabsahan formal suatu gugatan, sementara eksepsi materiil lebih berfokus pada substansi gugatan yang tidak atau belum dapat diperkarakan karena berbagai alasan hukum.

  1. Eksepsi Prosesuil (Formal/Procedural Exceptions)

    Eksepsi prosesuil adalah bantahan yang didasarkan pada keabsahan formal suatu gugatan. Tujuannya adalah agar hakim menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima. Eksepsi ini secara garis besar terbagi menjadi dua kelompok: eksepsi kewenangan mengadili dan eksepsi di luar kewenangan mengadili.

    • Eksepsi Kewenangan Mengadili (Eksepsi Kompetensi)

      Eksepsi ini mempertanyakan apakah pengadilan yang bersangkutan memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus suatu perkara.

      • Kompetensi Absolut (Declinatory Exceptions)

        Eksepsi kompetensi absolut berkaitan dengan pembagian kekuasaan antara badan-badan peradilan yang berbeda. Pertanyaan yang diajukan adalah, apakah perkara tersebut merupakan kewenangan pengadilan umum, peradilan agama, peradilan militer, atau peradilan tata usaha negara. Sebagai contoh, gugatan mengenai sengketa perceraian bagi pihak yang beragama Islam merupakan kewenangan mutlak pengadilan agama, bukan pengadilan negeri.

        Eksepsi ini memiliki sifat yang sangat penting sehingga dapat diajukan kapanpun selama proses pemeriksaan perkara, bahkan hingga sebelum putusan dijatuhkan pada tingkat pertama. Lebih dari itu, hakim memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan kewenangan absolutnya secara ex officio (berdasarkan jabatannya) tanpa harus menunggu eksepsi dari pihak tergugat. Hal ini menunjukkan bahwa masalah kewenangan absolut adalah masalah ketertiban umum yang fundamental dan tidak dapat diabaikan.

        Dalam praktiknya, Putusan Mahkamah Agung sering mengabulkan eksepsi kompetensi absolut. Sebagai contoh, sejumlah putusan pengadilan menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara perdata karena sengketa tersebut seharusnya menjadi kewenangan pengadilan lain, seperti Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau pengadilan khusus lainnya.

      • Kompetensi Relatif (Relative Exceptions)

        Berbeda dengan kompetensi absolut, eksepsi kompetensi relatif berkaitan dengan kewenangan wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang sama, misalnya antara Pengadilan Negeri di Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri di Jakarta Selatan. Eksepsi ini diatur dalam Pasal 118 HIR, yang menetapkan beberapa asas, di antaranya: actor sequitur forum rei (gugatan diajukan di tempat tinggal tergugat) dan forum rei sitae (gugatan diajukan di tempat objek sengketa, seperti tanah, berada).

        Dalam prosedur pengajuannya, eksepsi kompetensi relatif memiliki batasan waktu yang ketat. Eksepsi ini harus diajukan pada sidang pertama dan bersamaan dengan saat mengajukan jawaban pokok perkara. Aturan ini didasarkan pada prinsip efisiensi peradilan dan mencegah taktik penundaan yang tidak perlu. Jika tergugat tidak mengajukan eksepsi ini pada sidang pertama, haknya untuk mempersoalkan kewenangan wilayah dianggap telah dilepaskan atau hangus. Dalam putusan-putusan pengadilan, eksepsi kompetensi relatif seringkali dikabulkan ketika gugatan diajukan di pengadilan yang tidak sesuai dengan domisili para pihak atau lokasi objek sengketa.

    • Eksepsi di Luar Kewenangan Mengadili

      Kelompok eksepsi ini tidak terkait dengan kewenangan pengadilan, melainkan dengan cacat pada surat gugatan itu sendiri.

      • Eksepsi Gugatan Kabur (Obscuur Libel)

        Eksepsi obscuur libel adalah bantahan yang menyatakan bahwa surat gugatan penggugat tidak terang, tidak jelas, atau kabur. Ketidakjelasan ini dapat timbul dari beberapa alasan, antara lain: (i) dasar hukum gugatan yang tidak jelas, (ii) fakta atau peristiwa yang melandasi gugatan tidak terperinci, (iii) objek sengketa tidak jelas, atau (iv) adanya pertentangan antara dalil gugatan (posita) dengan tuntutan (petitum).

        Eksepsi ini berfungsi sebagai penegakan prinsip peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. Ia memaksa penggugat untuk menyusun gugatan dengan cermat dan teliti. Jika gugatan kabur, hakim tidak akan dapat mengadili pokok perkara dengan baik, dan tergugat juga tidak bisa menyusun pembelaan yang tepat. Pengadilan sering mengabulkan eksepsi ini, yang mengakibatkan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard).

      • Eksepsi Cacat Pihak (Error in Persona)

        Eksepsi ini diajukan ketika terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam penarikan pihak yang digugat atau yang menggugat. Terdapat beberapa bentuk error in persona yang umum terjadi dalam praktik:

        • Diskualifikasi in Person: Terjadi apabila penggugat tidak memiliki hak atau tidak cakap untuk mengajukan gugatan. Contohnya adalah ketika pihak yang tidak ikut dalam perjanjian justru mengajukan gugatan pembatalan perjanjian.

        • Salah Sasaran Pihak yang Digugat: Terjadi ketika gugatan diarahkan kepada pihak yang keliru dan tidak memiliki hubungan hukum langsung dengan pokok sengketa.

        • Gugatan Kurang Pihak (Exceptio Plurium Litis Consortium): Gugatan tidak melibatkan pihak-pihak yang seharusnya dilibatkan dalam sengketa, di mana putusan hakim nantinya akan memengaruhi pihak yang tidak diikutkan. Sebagai contoh, dalam gugatan kepemilikan tanah, penjual tanah tidak ditarik sebagai pihak.

        • Eksepsi error in persona menjaga integritas proses peradilan dengan memastikan bahwa hanya pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan kedudukan hukum (legal standing) yang benar yang terlibat dalam sengketa.

      • Eksepsi Ne Bis In Idem

        Asas ne bis in idem merupakan prinsip hukum yang melarang suatu perkara diperiksa untuk kedua kalinya jika telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dengan subjek, objek, dan pokok perkara yang sama. Eksepsi ini bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan mencegah seseorang diadili lebih dari satu kali untuk perbuatan atau perkara yang sama.

        Jika eksepsi ne bis in idem dikabulkan, hakim akan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard), dan pemeriksaan perkara akan dihentikan secara permanen. Berbeda dengan eksepsi formal lainnya yang memungkinkan penggugat memperbaiki gugatannya, ne bis in idem adalah hambatan definitif dan final yang tidak dapat diperbaiki. Hal ini mencerminkan kekuatan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sebagai penentu akhir dari suatu sengketa.

  2. Eksepsi Materiil (Material Exceptions)

    Eksepsi materiil adalah bantahan yang menyentuh substansi atau hak yang diperkarakan, namun diajukan sebelum pemeriksaan pokok perkara.

    • Eksepsi Prematur (Dilatoire Exceptie)

      Eksepsi ini diajukan ketika gugatan dianggap diajukan sebelum waktunya atau prematur. Sebuah gugatan dapat dianggap prematur karena beberapa alasan, misalnya, syarat-syarat dalam perjanjian yang menjadi dasar gugatan belum terpenuhi, atau proses penyelesaian sengketa wajib seperti mediasi atau arbitrase belum ditempuh. Eksepsi ini mendorong para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur yang telah disepakati atau diwajibkan oleh undang-undang sebelum membebani pengadilan. Pengadilan akan mengabulkan eksepsi prematur jika menemukan bahwa gugatan diajukan terlalu dini.

    • Eksepsi Peremptoir (Peremptoire Exceptie)

      Eksepsi peremptoir adalah bantahan yang bertujuan untuk menyingkirkan atau menolak gugatan secara mutlak. Bantahan ini didasarkan pada alasan yang membuat gugatan secara fundamental tidak dapat diperkarakan. Contoh dari eksepsi ini termasuk:

      • Exceptio temporis: Bantahan yang menyatakan gugatan telah melewati batas waktu atau daluarsa.

      • Exceptio doli mali: Bantahan yang menyatakan perjanjian yang mendasari gugatan mengandung unsur penipuan.

      • Exceptio non adimpleti contractus: Bantahan yang menyatakan bahwa penggugat sendiri belum memenuhi prestasinya dalam perjanjian sehingga tidak berhak menuntut pemenuhan prestasi dari tergugat.

      Eksepsi peremptoir menjadi pertahanan yang kuat bagi tergugat karena jika berhasil, gugatan dapat digugurkan secara permanen tanpa perlu memasuki ranah pembuktian yang rumit.

Prosedur dan Waktu Pengajuan

Secara umum, eksepsi diajukan oleh tergugat dalam surat jawaban pertama yang disampaikan di persidangan. Namun, terdapat pengecualian penting untuk Eksepsi Kompetensi Absolut, yang dapat diajukan kapan saja selama proses pemeriksaan dan bahkan dapat dipertimbangkan oleh hakim tanpa pengajuan dari pihak tergugat. Sementara itu, eksepsi di luar kewenangan mengadili, pada prinsipnya, memiliki waktu pengajuan yang sama dengan eksepsi kompetensi relatif, yaitu harus diajukan pada sidang pertama. Aturan waktu yang berbeda ini menunjukkan bahwa penguasaan hukum acara dan strategi hukum yang tepat sangat penting. Apabila pengacara melewatkan tenggat waktu untuk eksepsi tertentu, hak untuk mengajukannya akan hangus, yang dapat memengaruhi keberhasilan pembelaan secara keseluruhan.

Konsekuensi Putusan Hakim

Setelah eksepsi diajukan, hakim akan mempertimbangkannya sebelum masuk ke pemeriksaan pokok perkara. Ada dua kemungkinan hasil dari pertimbangan tersebut, yaitu eksepsi dikabulkan atau eksepsi ditolak.

  • Jika Eksepsi Dikabulkan: Hakim akan menjatuhkan putusan yang bersifat negatif. Putusan ini menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard). Konsekuensinya, hakim tidak akan melanjutkan pemeriksaan terhadap pokok perkara. Meskipun gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, penggugat masih memiliki kesempatan untuk mengajukan gugatan baru setelah memperbaiki cacat formil yang menjadi penyebab gugatannya tidak diterima.

  • Jika Eksepsi Ditolak: Hakim akan melanjutkan pemeriksaan terhadap pokok perkara. Putusan penolakan eksepsi ini akan menjadi bagian dari pertimbangan dalam putusan akhir perkara.

Penutup

Eksepsi memainkan peran yang sangat penting. Pertama, ia berfungsi sebagai mekanisme kontrol formal yang memastikan setiap gugatan yang diajukan ke pengadilan memenuhi seluruh persyaratan yang ditetapkan. Kedua, ia merupakan alat strategis yang memungkinkan tergugat untuk menyanggah gugatan tanpa harus memasuki ranah pembuktian yang kompleks dan memakan waktu. Eksepsi yang berhasil akan mengakhiri perkara lebih awal dengan putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard), yang memberikan efisiensi bagi peradilan dan kepastian hukum bagi para pihak.

Referensi

Bhakti Arssywahid dan Muriani. Analisis tentang Eksepsi Kewenangan Absolut yang Ditolak oleh Majelis Hkim (Putusan No.420/Pdt.G/2020/PN Jkt.Sel). Jurnal Reformasi Hukum Trisakti 6 (1), 2024.

Dara Pustika Sukma. Pengajuan Eksepsi Oleh Terdakwa Terhadap Surat Dakwaan Penuntut Umum Atas Dasar Obscuur Libel Dan Implikasinya Jika Diterima Oleh Hakim Dalam Perkara Penguasaan Tanah Secara Melawan Hukum. Jurnal Verstek 1 (2), 2013.

Khodijah Puteri Miftahul Rizqi. Upaya Hukum yang Dapat Dimohonkan Terhadap Putusan Perkara Pidana yang Ne Bis In Idem. Jurist-Diction 4 (1), 2021.

Muhammad Faisal, Fajar Fadly, Anwar Sulaiman Nasution. Pentingnya Melakukan Eksepsi Terhadap Surat Gugatan Dalam Perkara Perdata Di Persidangan Pengadilan Negeri Padangsidimpuan. Muqoddimah: Jurnal Ilmu Sosial, Politik, dan Humaniora 7 (1), 2023.

Nahruddin, Sufirman Rahman, dan Anzar Makkuasa. Penerapan Asas Nebis In Idem Dalam Perkara Perdata: Telaah Putusan Nomor 352/Pdt.G/2019/PA.Mrs. Journal of Lex Generalis (JLS) 4 (1), 2023.

Vanggy Poli, Grace H. Tampongangoy, dan Grace M .F. Karwur. Analisis Yuridis Implementasi Asas Nebis In Idem Dalam Perkara Perdata (Studi Kasus Putusan Nomor: 145/Pdt.G/2017/Pn.Thn. Lex Privatum IX (4), 2021.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata.

Herziene Inlandsch Reglement (HIR)

Rechtsreglement voor de Buitengewesten (Rbg)