Hak Tanggungan: Definisi, Dasar Hukum, Sifat, Subjek & Objek

PERDATA

Insyirah Fatihah Hidayat

8/10/20259 min read

Pendahuluan

Untuk memperoleh kredit atau pembiayaan, jaminan merupakan salah satu bentuk keamanan yang krusial bagi pemberi pinjaman. Hak Tanggungan (HT) adalah instrumen hukum yang memberikan jaminan atas tanah dan bangunan di Indonesia. Keberadaan Hak Tanggungan sangat penting dalam memfasilitasi akses kredit dan membangun kepercayaan antara pemberi pinjaman dan peminjam, yang pada gilirannya mendukung kegiatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Pembahasan

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT), ketentuan jaminan atas tanah tersebar di berbagai peraturan, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Staatblad, maupun peraturan lainnya. Fragmentasi peraturan ini menyebabkan ketidakpastian hukum dan kurangnya efisiensi dalam sistem jaminan.

UUHT hadir untuk menyatukan dan memperkuat hukum jaminan atas tanah, mewujudkan unifikasi Hukum Tanah Nasional, yang merupakan salah satu tujuan utama Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. Unifikasi ini memberikan kerangka hukum yang lebih jelas dan terstruktur, esensial untuk stabilitas transaksi properti dan kredit.

Tujuan dan Manfaat Hak Tanggungan bagi Kreditur dan Debitur

Tujuan utama dari Hak Tanggungan adalah memberikan jaminan atas suatu tanah atau bangunan sebagai bentuk keamanan bagi pemberi pinjaman (kreditur) untuk pelunasan utang tertentu. Ini berarti bahwa properti yang dibebani Hak Tanggungan berfungsi sebagai alat pengaman bagi kreditur jika debitur gagal memenuhi kewajibannya.

Manfaat yang diberikan oleh Hak Tanggungan sangat signifikan bagi kedua belah pihak yang terlibat:

  1. Manfaat bagi Kreditur:

    • Meminimalkan Risiko: Dengan properti sebagai jaminan, kreditur dapat meminimalkan risiko pinjaman dan memastikan pembayaran pinjaman sesuai perjanjian. Jaminan ini memberikan kepastian bahwa ada aset yang dapat digunakan untuk melunasi utang jika terjadi wanprestasi.

    • Kepastian Hukum: Sebagai suatu bentuk jaminan, Hak Tanggungan memberikan kepastian hukum yang kuat bagi pemberi pinjaman. Kepastian ini berasal dari sifat-sifat Hak Tanggungan yang akan dijelaskan lebih lanjut.

    • Hak Mendahulu (Preferensi): Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan (preferen) kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain dalam pelunasan utang. Artinya, kreditur pemegang Hak Tanggungan akan diprioritaskan dalam pembayaran dari hasil penjualan objek jaminan dibandingkan dengan kreditur tanpa jaminan atau dengan jaminan peringkat lebih rendah.

    • Hak Eksekusi: Jika debitur cidera janji (wanprestasi), pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek yang dijaminkan melalui pelelangan umum dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Ini adalah mekanisme penegakan hukum yang kuat untuk kreditur.

  2. Manfaat bagi Debitur:

    Hak Tanggungan memfasilitasi akses kredit dan membangun kepercayaan antara pemberi pinjaman dan peminjam. Debitur dapat menjadikan rumah atau tanah sebagai aset yang mempunyai nilai ekonomis untuk dijadikan jaminan utang, guna mengembangkan usaha (bisnis) atau keperluan lainnya. Tanpa adanya jaminan yang kuat seperti Hak Tanggungan, lembaga keuangan akan lebih enggan memberikan pinjaman dalam jumlah besar, atau akan mengenakan bunga yang jauh lebih tinggi untuk mengkompensasi risiko yang lebih besar.

    Penting untuk dipahami bahwa Hak Tanggungan berfungsi sebagai instrumen hukum yang sekaligus menjadi katalisator ekonomi. Keberadaannya tidak hanya sekadar mengatur hubungan hukum antara debitur dan kreditur, tetapi juga mengurangi risiko bagi pemberi pinjaman. Pengurangan risiko ini secara langsung mendorong kesediaan bank dan lembaga keuangan lainnya untuk menyalurkan kredit. Peningkatan ketersediaan kredit, pada gilirannya, memungkinkan individu dan badan usaha untuk mengakses modal yang diperlukan untuk investasi, ekspansi bisnis, atau pemenuhan kebutuhan finansial lainnya. Proses ini secara langsung berkontribusi pada peningkatan aktivitas ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan.

Definisi dan Karakteristik Esensial Hak Tanggungan

  1. Definisi Yuridis Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 (UUHT)

    Hak Tanggungan, sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT). Menurut Pasal 1 butir (1) UUHT, Hak Tanggungan didefinisikan sebagai:

    Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.”

    Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

  2. Sifat-Sifat Pokok Hak Tanggungan

    Hak Tanggungan memiliki beberapa sifat pokok yang membedakannya dari jenis jaminan lainnya dan memberikan kekuatan hukum yang signifikan:

    • Sifat Tidak Dapat Dibagi-bagi (Indivisibility)

      Sifat ini berarti bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh objek Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya. Meskipun utang yang dijamin telah dilunasi sebagian, Hak Tanggungan tetap membebani seluruh objek jaminan sampai seluruh utang lunas sepenuhnya. Konsep ini memastikan bahwa kreditur memiliki jaminan penuh atas seluruh nilai objek hingga kewajiban debitur terpenuhi secara keseluruhan. Namun, Pasal 2 ayat (2) UUHT membuka kemungkinan untuk memperjanjikan penyimpangan dari sifat ini dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Jika Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa objek, dapat diperjanjikan bahwa pelunasan utang dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing objek, sehingga objek yang telah lunas dapat dibebaskan dari Hak Tanggungan.

    • Asas Droit de Suite (Hak Mengikuti)

      Asas ini menyatakan bahwa Hak Tanggungan selalu mengikuti objek yang dijaminkan, di tangan siapa pun objek itu berada. Artinya, meskipun hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan telah beralih atau berpindah kepemilikan kepada pihak lain (misalnya melalui jual beli atau pewarisan), Hak Tanggungan yang ada tetap melekat pada tanah tersebut dan mengikat pembeli atau penerima hak yang baru. Kreditur pemegang Hak Tanggungan masih tetap berhak untuk menjual objek jaminan melalui pelelangan umum apabila debitur cidera janji, tanpa terpengaruh oleh perubahan kepemilikan.

    • Asas Preferensi (Hak Mendahulu)

      Asas preferensi memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegang Hak Tanggungan dibandingkan dengan kreditur-kreditur lain dalam pelunasan piutang dari hasil penjualan objek Hak Tanggungan. Jika debitur wanprestasi dan objek jaminan harus dijual, pemegang Hak Tanggungan pertama akan menerima pelunasan piutangnya terlebih dahulu dari hasil penjualan tersebut, sebelum kreditur-kreditur lain.

    • Asas Spesialitas dan Publisitas

      • Asas Spesialitas: Hak Tanggungan harus memuat uraian yang jelas dan spesifik mengenai objek yang dijaminkan, termasuk kepemilikan, letak, batas-batas, dan luas tanahnya. Ini memastikan bahwa objek jaminan teridentifikasi dengan pasti dan tidak menimbulkan keraguan.

      • Asas Publisitas: Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pendaftaran ini merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan dan agar Hak Tanggungan mengikat pihak ketiga. Dengan pendaftaran, informasi mengenai pembebanan Hak Tanggungan menjadi terbuka dan dapat diketahui umum, sehingga memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

    • Sifat Accessoir (Ikutan)

      Hak Tanggungan memiliki sifat accessoir, yang berarti keberadaannya tergantung pada adanya perjanjian pokok, yaitu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan utang yang dijamin pelunasannya. Hak Tanggungan tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya utang yang dijamin. Jika piutang yang dijamin hapus karena pelunasan atau sebab-sebab lain, dengan sendirinya Hak Tanggungan yang bersangkutan juga menjadi hapus.

Dasar Hukum Hak Tanggungan

  1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT)

    UUHT adalah payung hukum utama yang mengatur secara komprehensif mengenai Hak Tanggungan di Indonesia. Undang-undang ini merupakan wujud unifikasi hukum jaminan atas tanah, menggantikan ketentuan-ketentuan yang sebelumnya tersebar dan tidak terkoordinasi. UUHT mengatur berbagai aspek, mulai dari definisi, karakteristik, objek, subjek, tata cara pemberian, pendaftaran, peralihan, penghapusan, hingga mekanisme eksekusi Hak Tanggungan. Tujuan utama UUHT adalah menciptakan kepastian hukum yang kuat bagi para pihak yang terlibat dalam transaksi kredit dengan jaminan tanah, sehingga mendorong iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi.

  2. Keterkaitan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960

    UUHT tidak dapat dilepaskan dari UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Hak Tanggungan dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA. UUPA adalah dasar hukum agraria di Indonesia yang mengatur jenis-jenis hak atas tanah, seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai. UUHT mengidentifikasi hak-hak atas tanah ini sebagai objek yang dapat dibebani Hak Tanggungan, terutama Hak Milik, HGU, dan HGB yang wajib didaftar dan dapat dipindahtangankan. Dalam perkembangannya, Hak Pakai yang wajib didaftarkan dan dapat dipindahtangankan juga dapat dijadikan objek Hak Tanggungan, menyesuaikan kebutuhan masyarakat dan perkembangan hak itu sendiri. Keterkaitan ini memastikan bahwa pengaturan Hak Tanggungan selaras dengan sistem hukum pertanahan nasional.

  3. Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Terkait (Fokus pada Pembaruan Regulasi)

    Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik (Permen ATR/Kepala BPN No. 5 Tahun 2020) Peraturan ini mencabut Permen Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 2019 dan mulai berlaku pada tanggal 8 April 2020. Tujuannya adalah untuk menerapkan pelayanan hak tanggungan terintegrasi secara elektronik (Sistem HT-el) guna meningkatkan pelayanan yang memenuhi asas keterbukaan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Permen ini merupakan respons terhadap perkembangan hukum, teknologi, dan kebutuhan masyarakat akan layanan yang lebih efisien. Pelayanan Hak Tanggungan, sebagaimana dimaksud dalam Permen ini, dilaksanakan secara elektronik melalui Sistem HT-el. Ini menandai pergeseran besar dari proses manual ke digital, yang diharapkan dapat mempercepat dan menyederhanakan prosedur bagi semua pihak yang terlibat.

Subjek dan Objek Hak Tanggungan

  1. Subjek Hak Tanggungan

    Subjek Hak Tanggungan adalah pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian Hak Tanggungan, yaitu pemberi Hak Tanggungan (debitur) dan pemegang Hak Tanggungan (kreditur).

    Pemberi Hak Tanggungan (Debitur): Syarat dan Kewenangan

    • Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan ini harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Ini berarti bahwa pihak yang memberikan jaminan haruslah pemilik sah dari objek tersebut atau memiliki hak yang sah untuk membebaninya.

    • Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), dapat dicantumkan janji-janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan, antara lain:

      • Membatasi kewenangan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan, menentukan atau mengubah jangka waktu sewa, dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Tanggungan.

      • Membatasi kewenangan untuk mengubah bentuk atau tata susunan objek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Tanggungan.

      • Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis dari pemegang Hak Tanggungan.

      • Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada saat eksekusi Hak Tanggungan.

    • Selain itu, sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan akan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan (pemberi Hak Tanggungan), kecuali diperjanjikan lain.

    Pemegang Hak Tanggungan (Kreditur): Syarat dan Kedudukan

    • Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Umumnya, pihak ini adalah bank atau lembaga keuangan lainnya yang memberikan pinjaman atau kredit.

    • Pemegang Hak Tanggungan memiliki hak-hak, antara lain:

      • Hak yang diutamakan (preferensi): Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain untuk pelunasan utang tertentu.

      • Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan: Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama memiliki hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Janji ini dapat dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan.

      • Hak untuk mengelola objek: Dalam APHT, dapat dicantumkan janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri jika debitur sungguh-sungguh cidera janji

      • Hak untuk menyelamatkan objek: Dapat dicantumkan janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek jika diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan.

      • Hak atas uang ganti rugi atau asuransi: Janji dapat dicantumkan bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi atau uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan dilepaskan haknya, dicabut untuk kepentingan umum, atau diasuransikan.

    • Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan yang diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan. Sertifikat ini memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

    • Pemegang Hak Tanggungan juga memiliki kewajiban, seperti memberikan pernyataan tertulis mengenai pelepasan Hak Tanggungan jika piutang telah lunas, dan menyerahkan sertifikat Hak Tanggungan untuk pencoretan (roya).

  2. Objek Hak Tanggungan

    Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat dijadikan jaminan utang.

    • Jenis-jenis Hak Atas Tanah yang Dapat Dibebani (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai)

      Menurut Pasal 4 ayat (1) UUHT, hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah:

      • Hak Milik: Hak terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.

      • Hak Guna Usaha (HGU): Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu.

      • Hak Guna Bangunan (HGB): Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu tertentu.

      • Hak Pakai: Hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain. Meskipun pada awalnya Hak Pakai tidak ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan dalam UUPA karena tidak wajib didaftar, perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat telah memungkinkan Hak Pakai yang wajib didaftarkan dan dapat dipindahtangankan untuk dijadikan objek Hak Tanggungan.

      Jenis-jenis hak atas tanah ini dipilih karena sifatnya yang wajib didaftar dan dapat dipindahtangankan, memenuhi asas publisitas yang krusial untuk jaminan.

  3. Konsep "Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah" sebagai Satu Kesatuan

    • Hak Tanggungan tidak hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah saja, tetapi juga dapat meliputi bangunan, tanaman, dan hasil karya yang sudah ada atau yang akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Konsep ini dikenal sebagai asas accesie dalam hukum kebendaan, di mana segala sesuatu yang melekat atau dibangun di atas tanah dianggap menjadi bagian dari tanah itu sendiri.

    • Penting untuk dicatat bahwa semua benda ini haruslah merupakan milik dari pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dinyatakan secara tegas di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Jika bangunan, tanaman, atau hasil karya tersebut tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan pada Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh pemiliknya atau pihak yang diberi kuasa dengan akta otentik.

Penutup

Hak Tanggungan adalah instrumen hukum di Indonesia yang memberikan jaminan atas tanah dan bangunan untuk pelunasan utang, yang bertujuan untuk meminimalkan risiko bagi kreditur dan memfasilitasi akses kredit bagi debitur. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT) adalah landasan hukum utama yang menyatukan peraturan jaminan atas tanah, menggantikan ketentuan yang sebelumnya tersebar di berbagai peraturan. Sifat-sifat pokok Hak Tanggungan meliputi tidak dapat dibagi-bagi, asas droit de suite (hak mengikuti), preferensi (hak mendahulu), spesialitas, publisitas, dan accessoir (ikutan). Objek Hak Tanggungan dapat berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai yang terdaftar, serta benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut.

Referensi

Adrian Sutedi. (2010). Hukum Hak Tanggungan. Jakarta: Sinar Grafika.

Apriska Sonia Pattinasarany. Aspek Hukum Hak Milik atas Rumah dan Tanah Menurut UU No. 1 Tahun 2011 sebagai Jaminan Utang dengan Dibebani Hak Tanggungan. Lex Privatum VII (7), Oktober-Desember 2019.

Maria SW Soemardjono. (1996). Hak Tanggungan dan Fidusia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Marindowati. Pendaftaran Hak Tanggungan Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum 1 (1), Januari-April 2007.

Naufal Alfian Tri Pamungkas, Muhamad Rafi Putra Hariyadi, Tumpal Paskalis, Muhamad Fadhlinaufal Sukma Ramadhan. Penyelesaian Sengketa Objek Hak Tanggungan Yang Diambil Debitur Dengan Surat Pelunasan Hutang Yang Tidak Sah (Analisis Putusan Nomor 81/Pdt.G/2019/PN Kpn). Diponegoro Private Law Review 8 (2), 2021.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.