Hak-hak atas Tanah: Asas, Konversi, Pencabutan, Pembatasan, dan Pembatalan

PERDATA

Insyirah Fatihah Hidayat

8/20/20255 min read

Pendahuluan

Tanah mempunyai kedudukan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia, baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Hak atas tanah diatur melalui berbagai peraturan perundang-undangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai landasan utamanya. Hak atas tanah pada hakikatnya merupakan hubungan hukum antara subjek hukum dengan objek berupa tanah, yang memberikan kewenangan tertentu kepada pemegang hak untuk memanfaatkan tanah sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian haknya. Pengaturan hak atas tanah di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari amanat konstitusi yang termuat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pembahasan

Pengaturan hak atas tanah di Indonesia didasarkan pada filosofi kebangsaan dan kerakyatan yang tercermin dalam Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menjadi landasan konstitusional yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

UUPA sebagai implementasi amanat konstitusi tersebut memiliki tujuan pokok untuk meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuran dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. Selain itu, UUPA bertujuan meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan serta memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Asas-Asas dalam UUPA

UUPA mengandung delapan asas fundamental yang menjadi dasar dan jiwa pelaksanaan hukum agraria nasional:

  • Asas Penguasaan oleh Negara merupakan asas yang menegaskan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah kekayaan nasional yang memiliki hubungan abadi dengan bangsa Indonesia. Asas ini tercantum dalam Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA, yang memberikan wewenang kepada negara untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa.

  • Asas Fungsi Sosial dinyatakan dalam Pasal 6 UUPA bahwa "semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial". Asas ini mengandung pengakuan atas kepentingan perorangan, kepentingan sosial, dan kepentingan umum atas tanah. Fungsi sosial memberikan kewenangan kepada pemilik hak untuk mempergunakan tanah dalam batas-batas yang ditentukan hukum, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan negara.

  • Asas Hukum Adat yang Disaneer tercantum dalam Pasal 5 UUPA, yang menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa.

  • Asas Nasionalitas atau Kebangsaan diatur dalam Pasal 9 UUPA, yang menegaskan bahwa hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa, serta setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh hak atas tanah.

Asas-asas lainnya meliputi asas kebangsaan atau demokrasi, asas non-diskriminasi, asas gotong royong, dan asas unifikasi yang bertujuan menyatukan hukum agraria dalam satu undang-undang yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia.

Asas Fungsi Sosial Hak Atas Tanah

Pasal 6 UUPA menegaskan bahwa "semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial". Konsep fungsi sosial ini mengandung makna bahwa:

  • Keseimbangan Kepentingan: Fungsi sosial mengakui adanya kepentingan perorangan, kepentingan sosial, dan kepentingan umum atas tanah yang harus saling mengimbangi.

  • Pembatasan Penggunaan: Hak atas tanah tidak dapat dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi, apalagi jika menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat haknya.

  • Kewajiban Pemeliharaan: Setiap pemegang hak atas tanah berkewajiban memelihara tanah dengan baik agar bertambah kesuburannya dan dicegah kerusakannya.

Implementasi asas fungsi sosial diwujudkan melalui berbagai program seperti landreform, konsolidasi tanah, redistribusi tanah, penertiban tanah terlantar, dan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Sistem Pendaftaran Tanah dan Kepastian Hukum

Untuk menjamin kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah, Pasal 19 UUPA mengatur tentang pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Pendaftaran tanah bertujuan untuk:

  • Kepastian Subjek Hukum: Menjamin kepastian mengenai orang atau badan hukum yang menjadi pemegang hak atas tanah

  • Kepastian Objek: Memberikan kepastian mengenai letak, batas, dan luas suatu bidang tanah

  • Kepastian Hak: Menjamin kepastian mengenai jenis hak atas tanah yang dimiliki

Sistem pendaftaran tanah di Indonesia menganut sistem publikasi negatif, di mana negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan dalam sertifikat. Namun, sertifikat tetap merupakan alat bukti yang kuat mengenai data fisik dan yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang tidak ada bukti lain yang membuktikan sebaliknya.

Kekuatan Pembuktian Sertifikat

Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Sertifikat memiliki perlindungan hukum selama 5 tahun setelah diterbitkan, dengan syarat:

  • Diterbitkan dengan prosedur yang sah

  • Diperoleh dengan itikad baik

  • Dikuasai secara nyata

  • Telah terbit selama 5 tahun

Konversi Hak Atas Tanah

Konversi hak atas tanah adalah proses peralihan status hak atas tanah lama (menurut hukum adat, agraria kolonial, atau administratif) menjadi hak atas tanah yang diakui oleh sistem hukum agraria nasional berdasarkan UUPA. Konversi bertujuan memberikan kepastian hukum hak atas tanah bagi pemegang hak lama melalui sistem pendaftaran tanah nasional.

Dasar hukum konversi tertuang dalam Pasal I Aturan Peralihan UUPA dan berbagai peraturan pelaksanaannya. Proses konversi pada asasnya terjadi karena hukum (van rechtswege), namun ada yang memerlukan tindakan penegasan yang bersifat deklaratoir.

Pencabutan Hak Atas Tanah untuk Kepentingan Umum

Pasal 18 UUPA mengatur tentang pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum dengan ketentuan bahwa "untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang".

Syarat pencabutan hak atas tanah meliputi:

  • Kepentingan umum benar-benar menghendaki

  • Harus ada izin Presiden sesuai UU No. 20 Tahun 1961

  • Harus disertai ganti rugi yang layak

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum mendefinisikan kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Pembatasan Kepemilikan Tanah

Untuk mencegah penguasaan tanah yang berlebihan dan memastikan distribusi yang adil, negara mengatur batas maksimal kepemilikan tanah berdasarkan jenis dan peruntukannya:

  1. Tanah Pertanian

    Berdasarkan Pasal 3 ayat (3) Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2016, batas luas kepemilikan tanah pertanian untuk perorangan adalah:

    • Tidak padat: maksimal 20 hektar

    • Kurang padat: maksimal 12 hektar

    • Cukup padat: maksimal 9 hektar

    • Sangat padat: maksimal 6 hektar

  2. Tanah untuk Rumah Tinggal

    • WNI: maksimal 5.000 meter persegi (tidak lebih dari 5 bidang tanah)

    • WNA: maksimal 2.000 meter persegi

Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah

Pembatalan sertifikat hak atas tanah dapat dilakukan karena adanya cacat hukum administratif dalam penerbitannya atau melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Mekanisme pembatalan dapat dilakukan melalui:

  • Permohonan kepada Menteri ATR/BPN: Untuk cacat hukum administratif seperti kesalahan perhitungan luas tanah, tumpang tindih hak atas tanah, atau pemalsuan dokumen

  • Gugatan ke PTUN: Dengan batas waktu 90 hari sejak diterima atau diumumkannya keputusan badan/pejabat tata usaha negara

Perkembangan Hukum Agraria Pasca UU Cipta Kerja

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah membawa perubahan signifikan dalam pengaturan hukum agraria Indonesia. Perubahan utama meliputi:

  • Penguatan Hak Pengelolaan: UU Cipta Kerja memperkenalkan konsep hak pengelolaan yang lebih luas sebagai "hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian diserahkan kepada pemegang haknya"

  • Pembentukan Bank Tanah: Lembaga baru yang berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan distribusi tanah untuk berbagai kepentingan

  • Pengaturan Ruang Atas dan Bawah Tanah: PP No. 18 Tahun 2021 mengatur kebijakan baru terkait pemberian hak pada ruang atas tanah dan ruang bawah tanah

Peraturan pelaksana utama adalah PP No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah yang menyatukan, mengharmoniskan, dan memperbarui berbagai peraturan sebelumnya.

Regulasi Terbaru Tahun 2025

Perkembangan terkini dalam hukum agraria Indonesia ditandai dengan dikeluarkannya beberapa peraturan baru pada tahun 2025:

  • Permen ATR/BPN No. 5 Tahun 2025: Mengatur pelimpahan kewenangan penetapan hak atas tanah dan kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan berbagai indikator termasuk kondisi geografis, kepadatan penduduk, dan potensi risiko sengketa

  • Permen ATR/BPN No. 2 Tahun 2025: Mengatur perubahan atas pelimpahan kewenangan penetapan hak atas tanah dan kegiatan pendaftaran tanah

Program pemerintah untuk menyertifikasi seluruh tanah di Indonesia pada tahun 2025 menunjukkan komitmen untuk memberikan kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penutup

Hak atas tanah dalam sistem hukum agraria Indonesia merupakan konstruksi hukum yang dibangun atas dasar filosofi kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial. UUPA sebagai landasan utama meletakkan dasar-dasar hukum agraria nasional yang menggantikan dualisme hukum tanah warisan kolonial dengan sistem hukum yang bersatu dan mengakar pada nilai-nilai hukum adat yang telah disaneer.

Implementasi hak atas tanah di Indonesia menunjukkan keseimbangan antara pengakuan hak-hak individual dengan kepentingan sosial melalui asas fungsi sosial yang menjadi jiwa UUPA. Sistem pendaftaran tanah yang telah mapan memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak, meskipun masih menggunakan sistem publikasi negatif yang memerlukan kehati-hatian dalam praktiknya.