Grasi: Hak Prerogatif Presiden dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
PIDANA


Pendahuluan
Grasi merupakan salah satu instrumen hukum dalam sistem peradilan pidana Indonesia, dimana kewenangan ini diberikan langsung oleh konstitusi kepada Presiden sebagai kepala negara untuk memberikan pengampunan kepada terpidana. Sebagai manifestasi dari hak prerogatif yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, grasi bukan hanya sekedar mekanisme hukum semata, tetapi juga mencerminkan dimensi kemanusiaan, keadilan, dan politik hukum dalam upaya mencapai tujuan pemidanaan yang berkeadilan.
Pembahasan
Definisi Grasi
Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Secara etimologis, grasi berasal dari bahasa Belanda "gratie" yang berarti anugerah atau rahmat, sedangkan dalam terminologi hukum diartikan sebagai keringanan hukuman yang diberikan kepala negara kepada terhukum setelah mendapat keputusan hakim.
Menurut J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, dan J.T. Prasetyo dalam kamus hukum, gratie (grasi) adalah kekuasaan kepala negara yang dapat memberikan pengampunan kepada hakim atas penghapusan sebagian atau seluruhnya atau perubahan sifat atau bentuk hukuman.
Dalam kajian teori hukum pidana, grasi merupakan salah satu bentuk alasan penghapus pidana dan merupakan medium untuk mendapatkan pengampunan dalam bentuk perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Karakteristik Grasi
Menurut para ahli hukum, grasi memiliki karakteristik sebagai berikut:
Bukan merupakan upaya hukum - Grasi bukanlah upaya hukum dalam arti teknis yuridis, melainkan hak prerogatif kepala negara untuk memberikan pengampunan
Tidak menghilangkan kesalahan - Pemberian grasi tidak berarti menghilangkan kesalahan terpidana dan bukan merupakan rehabilitasi
Hak konstitusional Presiden - Grasi merupakan hak yang dijamin langsung oleh konstitusi dan dapat digunakan demi kepentingan kemanusiaan
Bentuk intervensi hukum - Wiryono Prodjodikoro menyatakan bahwa campur tangan presiden dalam bidang kekuasaan kehakiman merupakan bentuk penerobosan hukum oleh presiden sebagai kepala negara.
Dasar Hukum Grasi
Dasar hukum grasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia termuat dalam beberapa tingkatan peraturan:
Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 menyatakan: "Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung". Ketentuan ini mengalami perubahan dari UUD 1945 sebelum amandemen, di mana sebelumnya Presiden memiliki kewenangan mutlak, namun setelah amandemen Presiden harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, merupakan pengganti UU Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi. UU ini mengatur prinsip-prinsip umum tentang grasi serta tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2002, mengubah beberapa ketentuan penting, antara lain:
Menambahkan kewenangan Menteri Hukum dan HAM dalam proses grasi
Memperbaiki mekanisme pengajuan grasi
Memberikan batasan waktu pengajuan (yang kemudian dibatalkan MK)
Putusan MK Nomor 107/PUU-XIII/2015, putusan ini sangat penting karena membatalkan Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2010 yang membatasi pengajuan permohonan grasi dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. MK menilai pembatasan ini bertentangan dengan UUD 1945 dan berpotensi menghilangkan hak konstitusional terpidana.
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 26 Tahun 2023, mengatur tentang layanan grasi berbasis elektronik dan merupakan perubahan atas Permenkumham Nomor 49 Tahun 2016.
Kriteria Utama untuk Mendapatkan Grasi
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan, terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan grasi:
Syarat Putusan
Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht)
Putusan pemidanaan berupa pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun
Syarat Pemohon
Berdasarkan Pasal 6 UU Grasi, yang berhak mengajukan grasi adalah:
Terpidana atau kuasa hukumnya
Keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana
Keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana (khusus untuk terpidana mati)
Menteri Hukum dan HAM demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan
Batasan Pengajuan
Permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali
Tidak ada batasan waktu pengajuan (berdasarkan Putusan MK)
Kriteria Pertimbangan Substantif
Meskipun undang-undang tidak secara eksplisit merinci alasan pemberian grasi, berdasarkan praktik dan pendapat ahli, terdapat beberapa kriteria yang menjadi pertimbangan:
Faktor Kemanusiaan
Usia lanjut terpidana
Kondisi kesehatan yang memburuk atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
Kepentingan keluarga terpidana
Faktor Keadilan
Adanya keadaan yang tidak diperhitungkan hakim saat menjatuhkan pidana
Terpidana yang pernah berjasa bagi masyarakat
Pertimbangan bahwa pidana yang dijatuhkan dianggap "kurang adil"
Faktor Perilaku
Terpidana berkelakuan baik selama berada di Lembaga Pemasyarakatan
Menunjukkan perubahan sikap dan penyesalan yang mendalam
Memperlihatkan keinsyafan atas kesalahannya
Faktor Khusus
Pemberian grasi yang dikaitkan dengan hari besar bersejarah
Demi memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa
Untuk mempercepat rekonsiliasi nasional
Pengakuan Kesalahan sebagai Syarat
Menurut CHA Minanoer Rachman, syarat penting untuk mengajukan grasi adalah pengakuan kesalahan. "Dengan mengajukan grasi, maka ia mengakui kesalahannya, sehingga tertutup peluang melakukan upaya hukum. Sedangkan dalam upaya hukum, ia menganggap dirinya tidak bersalah. Jadi, jika meminta grasi maka mengakui bersalah dan meminta maaf".
Prosedur Pemberian Grasi
Tahap Pengajuan
Pemberitahuan Hak
Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama. Jika pada waktu putusan dijatuhkan terpidana tidak hadir, hak tersebut diberitahukan secara tertulis oleh panitera pengadilan tingkat pertama.
Pengajuan Permohonan
Permohonan grasi diajukan secara tertulis kepada Presiden dengan ketentuan:
Dapat diajukan langsung oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya
Dapat disampaikan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan
Salinan permohonan disampaikan kepada pengadilan tingkat pertama
Tahap Pemrosesan
Pengiriman Berkas ke Mahkamah Agung
Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak penerimaan salinan permohonan grasi, pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara kepada Mahkamah Agung.
Administrasi di Mahkamah Agung
Kepaniteraan Muda mendaftarkan permohonan grasi setelah berkas dinyatakan lengkap
Berkas diserahkan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk penunjukan hakim agung
Hakim Agung yang ditunjuk memberikan pertimbangan paling lama 3 bulan
Pertimbangan Mahkamah Agung
Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya berkas perkara.
Tahap Keputusan
Keputusan Presiden
Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Keputusan dapat berupa:
Peringanan atau perubahan jenis pidana
Pengurangan jumlah pidana
Penghapusan pelaksanaan pidana
Jangka Waktu Keputusan
Presiden memberikan keputusan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung.
Penyampaian Keputusan
Keputusan Presiden disampaikan kepada terpidana paling lambat 14 (empat belas) hari sejak penetapannya. Salinan keputusan juga disampaikan kepada Mahkamah Agung, pengadilan tingkat pertama, dan kejaksaan negeri.
Pemberian Grasi oleh Presiden
Merry Utami (2023), terpidana mati kasus narkotika Merry Utami mendapat grasi berupa perubahan hukuman mati menjadi penjara seumur hidup. Dia telah menjalani masa tahanan selama 22 tahun sebelum mendapat grasi.
Annas Maamun (2019), Mantan Gubernur Riau yang divonis 7 tahun penjara karena korupsi alih fungsi lahan mendapat grasi berupa pengurangan hukuman menjadi 6 tahun. Alasan pemberian grasi adalah pertimbangan kemanusiaan karena usia lanjut (78 tahun) dan kondisi kesehatan yang memburuk.
Lima Tahanan Politik Papua (2015), Jokowi memberikan grasi kepada lima tahanan politik dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai upaya rekonsiliasi dan menyelesaikan konflik di Papua. Mereka adalah Apotnalogolik Lokobal, Numbungga Telenggen, Kimanus Wenda, Linus Hiluka, dan Jefrai Murib.
Pemberian Grasi yang Menimbulkan Kontroversi
Kasus Schapelle Corby (2012), pemberian grasi kepada Schapelle Corby oleh Presiden SBY menimbulkan kontroversi besar karena:
Baru pertama kali pemerintah Indonesia memberikan grasi kepada WNA terpidana narkotika
Grasi serupa tidak pernah diberikan kepada WNI yang menjadi terpidana narkoba
Dinilai bertentangan dengan kebijakan pemerintah yang memperketat remisi untuk narapidana narkoba
Dianggap sebagai preseden buruk dalam upaya pemberantasan narkotika
Kritik dari Berbagai Pihak:
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi menilai kebijakan ini kurang transparan dan konsisten
Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana, mempertanyakan proses dikabulkannya grasi
Anggota Komisi III DPR menilai bertentangan dengan moratorium remisi untuk pelaku kejahatan narkoba
Kasus Annas Maamun (2019), pemberian grasi kepada mantan Gubernur Riau ini menuai kritik keras karena:
KPK mengaku kaget dan menyatakan kasus Annas kompleks dan merugikan negara
Mempertanyakan komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi
Indonesia Corruption Watch menyatakan korupsi adalah kejahatan luar biasa yang tidak dapat ditoleransi dengan pemotongan masa hukuman
ICW menilai indikator 'kemanusiaan' tidak dapat diukur secara jelas
Penutup
Grasi mencerminkan keseimbangan antara kekuasaan prerogatif Presiden dan prinsip keadilan yang diamanatkan oleh konstitusi, sekaligus menunjukkan kekayaan dimensi hukum, politik, dan kemanusiaan dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Meskipun pemberian grasi sering kali menimbulkan perdebatan, baik dari segi transparansi maupun konsistensi kebijakan, evolusi regulasi dan mekanisme pengawasan menunjukkan upaya berkelanjutan untuk meningkatkan akuntabilitas dalam penerapan kebijakan grasi.
Referensi
Adrian Maramis. Pemberian Grasi dalam Ketentuan Perundang-undangan yang Berlaku di Indonesia.