Asas-Asas Hukum Acara Perdata dan Pidana

ILMU HUKUM

Insyirah Fatihah Hidayat

8/26/20255 min read

Pendahuluan

Hukum adalah pilar utama sebuah negara yang menjunjung tinggi keadilan dan ketertiban. Dalam kerangka hukum tersebut, dikenal dua kategori utama yang memiliki fungsi saling melengkapi: hukum materiil dan hukum acara. Jika hukum materiil mengatur substansi hak, kewajiban, dan larangan—menjawab pertanyaan "apa" yang boleh atau tidak boleh dilakukan—maka hukum acara, yang sering disebut procedural law atau adjective law, berfungsi sebagai perangkat untuk menegakkan hukum materiil tersebut. Hukum acara adalah serangkaian aturan dan prosedur yang menjadi panduan bagi pengadilan untuk mendengar, mengadili, dan memutuskan perkara, baik itu sengketa perdata, tindak pidana, maupun proses administratif. Dengan kata lain, hukum acara adalah "cara mempertahankan" sebuah hukum, menjadikannya instrumen vital yang mewujudkan hak dan kewajiban yang diatur dalam hukum materiil.

Hukum materiil tanpa hukum acara ibarat sebuah gagasan tanpa kekuatan penegakan, atau sebuah mesin yang tidak memiliki mekanisme untuk beroperasi. Tanpa prosedur yang jelas dan baku, setiap pelanggaran hukum materiil akan menjadi sengketa yang tak terpecahkan dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian. Oleh karena itu, hukum acara dan asas-asasnya tidak hanya menjadi pelengkap, melainkan fondasi struktural yang memastikan "mesin" keadilan dapat beroperasi secara adil, transparan, dan efisien.

Pembahasan

Perbedaan Mendasar antara Hukum Acara dan Hukum Materiil

Untuk memahami asas-asas hukum acara, penting untuk terlebih dahulu membedakannya dengan hukum materiil. Secara sederhana, hukum materiil (substantive law) adalah inti dari sistem hukum yang berisikan norma-norma yang menentukan hak dan kewajiban setiap individu atau entitas hukum. Contohnya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mendefinisikan tindak pidana dan sanksi pidananya, atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang mengatur tentang perjanjian, hak kepemilikan, dan warisan. Aturan-aturan ini menjelaskan "apa" yang harus ditegakkan.

Di sisi lain, hukum acara (procedural law) merupakan peraturan hukum yang fungsinya melaksanakan atau menegakkan hukum materiil. Hukum ini mengatur bagaimana cara mewujudkan hak dan kewajiban yang terganggu akibat adanya pelanggaran atau sengketa. Hukum acara menyediakan prosedur, tata cara, dan mekanisme yang harus diikuti oleh para pihak yang bersengketa, hakim, serta penegak hukum lainnya. Para ahli bahkan secara khusus mendefinisikan hukum acara sebagai "cara mempertahankan" sebuah hukum. Jadi, jika hukum materiil adalah tujuannya, maka hukum acara adalah jalannya. Keduanya adalah dua sisi dari satu koin yang sama; tidak ada hukum materiil yang dapat ditegakkan tanpa hukum acara, dan hukum acara tidak akan memiliki makna tanpa adanya hukum materiil sebagai objek yang ditegakkan. Hubungan saling ketergantungan ini membentuk sistem peradilan yang terstruktur dan teratur.

Asas-Asas Umum sebagai Pondasi Sistem Peradilan

Asas-asas hukum acara merupakan pondasi yang lebih tinggi dari sekadar peraturan prosedural. Asas-asas ini mewujudkan nilai-nilai etis yang menjadi landasan bagi seluruh sistem peradilan di Indonesia. Prinsip-prinsip ini harus dipahami sebagai pedoman universal yang melampaui batasan hukum perdata atau pidana. Beberapa prinsip dasar tersebut meliputi keadilan, kedaulatan hukum, kepastian hukum, akuntabilitas, dan efisiensi.

Prinsip keadilan, menjadi pijakan utama yang menuntut setiap individu mendapatkan perlakuan yang adil dan setara di hadapan hukum. Prinsip ini tidak hanya berlaku dalam ruang sidang, melainkan juga dalam setiap tindakan dan putusan yang diambil oleh hakim.

Prinsip kedaulatan hukum menegaskan bahwa setiap putusan harus didasarkan pada hukum yang berlaku dan prosedur yang diatur oleh undang-undang, serta hakim harus bertindak secara independen.

Kepastian hukum menjamin bahwa proses peradilan harus jelas, terdokumentasi, dan dapat diprediksi. Prinsip ini memberikan pemahaman yang jelas bagi para pihak tentang hak-hak mereka dan prosedur yang akan dilalui.

Akuntabilitas, sebagai prinsip lainnya, menuntut setiap tindakan yang diambil dalam proses peradilan dapat dipertanggungjawabkan. Putusan hakim, misalnya, harus disertai alasan yang kuat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat dan pengadilan yang lebih tinggi.

Efisiensi menekankan pentingnya penyelesaian sengketa secara cepat dan biaya yang wajar. Prinsip-prinsip ini secara kolektif memberikan perlindungan hukum, transparansi, dan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

Asas-Asas dalam Hukum Acara Perdata

Hukum acara perdata berfokus pada penyelesaian sengketa hukum antar individu atau entitas, di mana para pihak memiliki peran sentral dalam menentukan jalannya perkara.

  1. Asas Hakim Bersifat Menunggu dan Dualitas Peran Hakim (Pasif vs. Aktif)

    Asas ini berarti hakim tidak diperbolehkan untuk secara aktif mencari-cari di masyarakat untuk menyelesaikan sengketa. Inisiatif untuk mengajukan perkara atau gugatan sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang merasa dirugikan.

    Namun, begitu suatu perkara diajukan dan didaftarkan, peran hakim berubah menjadi "aktif" dalam mengelola jalannya persidangan. Hakim memiliki kewenangan untuk memimpin persidangan, menentukan hari sidang, memanggil saksi, dan memerintahkan penyampaian alat bukti. Sifat pasif hakim pada tahap inisiasi menjamin kebebasan individu, sementara sifat aktif pada tahap persidangan berfungsi untuk memastikan bahwa proses hukum berjalan dengan efektif, efisien, dan sesuai prosedur untuk mencapai keadilan. Hakim tetap memiliki batasan dalam perannya yang pasif; mereka dilarang memutus hal-hal yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari apa yang dituntut oleh pihak penggugat (iudex non ultra petita).

  2. Asas Persidangan Terbuka untuk Umum

    Persidangan terbuka untuk umum memastikan bahwa setiap orang dapat menghadiri dan mendengarkan pemeriksaan perkara di ruang sidang. Asas ini secara tegas diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

  3. Asas Audiatur et Altera Pars (Mendengar Kedua Belah Pihak)

    Asas ini menuntut hakim untuk memperlakukan kedua belah pihak yang bersengketa secara setara dan tidak memihak. Setiap pihak harus diberikan kesempatan yang sama untuk menyampaikan argumen, bukti, dan keterangan mereka. Seorang hakim tidak diperbolehkan untuk menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai kebenaran mutlak jika pihak lawan belum didengar atau belum diberi kesempatan untuk menanggapi.

  4. Asas Beracara Dikenakan Biaya dan Tidak Ada Keharusan Mewakilkan

    Asas beracara dikenakan biaya menyatakan bahwa setiap orang yang akan beperkara harus menanggung biaya perkara, yang meliputi biaya kepaniteraan, pemanggilan, dan administrasi. Namun, negara memiliki komitmen untuk memastikan bahwa keadilan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Bagi mereka yang tidak mampu secara finansial, tersedia opsi untuk mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo) dengan melampirkan surat keterangan tidak mampu.

    Asas tidak ada keharusan mewakilkan memberikan kebebasan bagi para pihak untuk memilih apakah akan diwakili oleh kuasa hukum atau tidak. Ini berarti proses persidangan dapat terjadi secara langsung antara para pihak yang berkepentingan tanpa harus melalui perantara.

Asas-Asas dalam Hukum Acara Pidana

Berbeda dengan hukum acara perdata, hukum acara pidana berfokus pada penegakan hukum publik, di mana negara (melalui jaksa) bertindak sebagai pihak penuntut untuk melindungi kepentingan masyarakat.

  1. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)

    Prinsip ini menyatakan bahwa setiap orang yang didakwa melakukan tindak pidana harus dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah melalui putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Asas ini memberikan perlindungan mendasar terhadap hak asasi manusia, mencegah penahanan sewenang-wenang, dan menempatkan beban pembuktian sepenuhnya pada Jaksa Penuntut Umum. Dalam konteks teknis penyidikan, asas ini menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai subjek pemeriksaan, bukan objek yang dapat diperlakukan sewenang-wenang untuk mendapatkan pengakuan.

  2. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

    Asas ini, yang juga berlaku dalam hukum acara pidana, tercantum dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa proses peradilan dapat diselesaikan secara efektif dan efisien tanpa membebani masyarakat. "Sederhana" diartikan sebagai proses pemeriksaan yang tidak bertele-tele, "cepat" berarti segera, terutama untuk menghindari penahanan yang berkepanjangan yang melanggar hak asasi manusia, dan "biaya ringan" berarti biaya yang terjangkau bagi masyarakat.

  3. Asas Persamaan di Muka Hukum (Equality Before the Law)

    Asas persamaan di muka hukum menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan dan hak yang sama di mata hukum, tanpa memandang status sosial, kekayaan, atau kekuasaan. Hal ini diperkuat oleh Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa "Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang". Asas ini memastikan bahwa hukum tidak hanya menjadi alat bagi yang berkuasa, melainkan instrumen yang memberikan jaminan dan kepastian bagi setiap warga negara.

Penutup

Asas-asas hukum acara bukanlah sekadar rangkaian prosedur teknis, melainkan dasar yang menjaga integritas, transparansi, dan keadilan sistem peradilan Indonesia. Asas-asas ini berfungsi sebagai acuan ideal bagi para penegak hukum dan juga sebagai alat kontrol bagi masyarakat untuk mengawasi berjalannya proses peradilan. Pemahaman mendalam tentang asas-asas ini tidak hanya penting untuk memahami bagaimana hukum bekerja, tetapi juga untuk menganalisis dan mengkritik praktik-praktik yang mungkin menyimpang dari idealisme hukum.

Referensi

Andi Hamzah. (2017). Hukum Acara Pidana Indonesia. Semarang: Sinar Grafika.

C.S.T. Kansil. (2006). Model Hukum Perdata: Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).