Asas "Accipere Quid Ut Justitiam Facias Non Est Tam Accipere Quam Extorquere": Analisis Integritas Hakim dalam Penegakan Hukum
ILMU HUKUM


Pendahuluan
Sistem peradilan Indonesia telah lama menghadapi tantangan serius dalam menjaga integritas dan kepercayaan publik. Salah satu asas hukum klasik yang sangat relevan dalam konteks ini adalah "Accipere quid ut justitiam facias non est tam accipere quam extorquere" yang bermakna "menerima sesuatu sebagai imbalan untuk menegakkan keadilan lebih condong kepada tindakan pemerasan daripada sekadar penerimaan." Asas ini menekankan bahwa tindakan menerima imbalan apapun dalam proses penegakan keadilan pada hakikatnya merupakan bentuk korupsi yang merusak prinsip fundamental sistem hukum.
Dalam perkembangan hukum modern Indonesia, asas ini memiliki relevansi yang sangat tinggi mengingat maraknya kasus suap yang melibatkan penegak hukum. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa sejak tahun 2011 hingga 2024, setidaknya terdapat 29 hakim yang ditetapkan sebagai tersangka akibat menerima suap untuk mempengaruhi hasil putusan dengan total nilai suap mencapai sekitar Rp108 miliar.
Profesionalisme penegak hukum, sebagaimana diatur dalam berbagai kode etik profesi, mensyaratkan adanya independensi, objektivitas, dan integritas dalam menjalankan tugas. Etika profesi hukum memainkan peran yang sangat penting dalam memastikan bahwa praktisi hukum menjalankan tugas mereka dengan standar etika yang tinggi, sebagaimana tertuang dalam kode etik hakim, jaksa, dan advokat. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat, tetapi juga mengikis fondasi negara hukum yang berkeadilan.
Pembahasan
Makna dan Filosofi Asas Hukum
Asas "Accipere quid ut justitiam facias non est tam accipere quam extorquere" merupakan salah satu adagium hukum yang berakar dari tradisi hukum Romawi dan telah diadopsi dalam sistem hukum modern. Secara harfiah, asas ini dapat diterjemahkan sebagai "menerima sesuatu sebagai imbalan untuk menegakkan keadilan bukanlah sekadar menerima, melainkan lebih kepada pemerasan."
Filosofi yang mendasari asas ini adalah pengakuan bahwa keadilan merupakan sesuatu yang tidak dapat diperjualbelikan. Ketika seorang penegak hukum menerima imbalan apapun bentuknya dalam rangka menjalankan tugasnya untuk menegakkan keadilan, maka tindakan tersebut telah mengubah sifat dari penerimaan yang bersifat pasif menjadi tindakan aktif yang koruptif. Penerimaan imbalan dalam konteks penegakan hukum bukan sekadar gratifikasi biasa, melainkan bentuk pemerasan terhadap sistem keadilan itu sendiri.
Asas ini menegaskan bahwa dalam konteks penegakan hukum, tidak ada zona abu-abu antara yang benar dan yang salah. Setiap bentuk penerimaan yang berkaitan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugas merupakan bentuk korupsi yang harus dihindari dan ditindak secara tegas. Hal ini sejalan dengan prinsip fundamental bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu dan tanpa ada kepentingan pribadi yang dapat mempengaruhi keputusan.
Landasan Hukum dalam Sistem Hukum Indonesia
Implementasi asas ini dalam sistem hukum Indonesia memiliki landasan yuridis yang kuat melalui berbagai peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi instrumen hukum utama yang mengatur tentang tindak pidana suap dan gratifikasi.
Pasal 12B UU Tipikor secara tegas menyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Ketentuan ini membedakan dua kategori berdasarkan nilai: gratifikasi senilai Rp 10 juta atau lebih mengalihkan beban pembuktian kepada penerima untuk membuktikan bahwa gratifikasi tersebut bukan suap, sedangkan untuk gratifikasi di bawah Rp 10 juta, beban pembuktian berada pada penuntut umum.
Sanksi yang diatur dalam Pasal 12B ayat (2) UU Tipikor cukup berat, yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Ketentuan Pasal 12C memberikan pengecualian bagi gratifikasi yang dilaporkan kepada KPK dalam waktu 30 hari kerja setelah diterima.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga memberikan landasan bagi independensi peradilan. Pasal 4 menegaskan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang, yang menjadi dasar bagi hakim untuk bertindak secara objektif dan tidak terpengaruh oleh faktor eksternal termasuk gratifikasi atau suap.
Kasus-Kasus Terkini dan Penerapan Hukum
Penerapan asas ini dapat dilihat dalam berbagai kasus yang telah ditangani oleh aparat penegak hukum. Salah satu kasus yang mencuri perhatian adalah kasus suap yang melibatkan empat hakim dalam perkara korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO) pada tahun 2025. Dalam kasus ini, empat hakim yaitu Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dan tiga Hakim Tipikor Jakarta Pusat diduga menerima suap untuk mengeluarkan putusan lepas pada perkara korupsi yang melibatkan tiga korporasi sawit besar.
Kasus Ronald Tannur di Pengadilan Negeri Surabaya pada tahun 2024 juga menunjukkan implementasi asas ini. Tiga hakim yaitu Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul terbukti menerima suap dalam bentuk uang tunai untuk memberikan vonis bebas kepada terdakwa. Putusan yang didasarkan pada suap ini kemudian dibatalkan dan para hakim dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan UU Tipikor.
Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 97 PK/Pid.Sus/2019 terkait kasus Irman Gusman, MA menegaskan bahwa gratifikasi hanya dapat dibuktikan benar terjadi apabila terdakwa menerima hadiah atas tindakan yang memang merupakan tanggung jawabnya. Putusan ini menunjukkan penerapan prinsip kehati-hatian dalam membuktikan unsur gratifikasi sekaligus menegaskan pentingnya korelasi antara pemberian dengan jabatan yang diemban.
Sistem Pengawasan dan Penegakan Etika
Pengawasan terhadap implementasi asas ini dilakukan melalui berbagai mekanisme kelembagaan. Komisi Yudisial memiliki kewenangan untuk mengawasi perilaku hakim dan memberikan sanksi bagi pelanggaran kode etik. Sanksi yang dapat dijatuhkan meliputi tiga kategori: sanksi ringan (teguran lisan atau tertulis), sanksi sedang (penundaan kenaikan gaji, penurunan gaji, penundaan kenaikan pangkat, non-palu selama enam bulan, mutasi, atau pembatalan promosi), dan sanksi berat (pembebasan dari jabatan, non-palu hingga dua tahun, penurunan pangkat, pemberhentian dengan hak pensiun, atau pemberhentian tidak dengan hormat).
Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang terdiri dari empat anggota KY dan tiga hakim agung berperan dalam memutuskan sanksi terberat berupa pemberhentian tidak dengan hormat. Mekanisme ini memberikan checks and balances dalam sistem pengawasan hakim.
Bagi jaksa, pengawasan dilakukan melalui Kode Perilaku Jaksa sebagaimana diatur dalam Peraturan Jaksa Agung RI No. PER-014/A/JA/11/2012. Sanksi bagi jaksa yang melanggar kode etik meliputi pembebasan dari tugas jaksa selama 3 bulan hingga 1 tahun, dan pengalihtugasan pada satuan kerja lain selama 1-2 tahun.
Advokat diatur melalui Kode Etik Advokat Indonesia yang menekankan prinsip kemandirian, kejujuran, kerahasiaan, dan keterbukaan. Dewan Kehormatan berperan dalam mengawasi dan menegakkan kode etik advokat dengan berbagai sanksi sesuai tingkat pelanggaran.
Tantangan Implementasi dan Upaya Perbaikan
Implementasi asas ini menghadapi berbagai tantangan sistemik. Faktor internal meliputi lemahnya integritas personal, gaya hidup konsumtif, dan budaya kerja yang materialistik. Sistem pengawasan yang belum efektif, lemahnya sanksi hukum, dan adanya intervensi politik juga menjadi kendala eksternal.
Mahkamah Agung telah mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi permasalahan ini. Pembentukan aplikasi penunjukan majelis hakim secara robotik (Smart Majelis) pada pengadilan tingkat pertama dan banding bertujuan meminimalisir potensi judicial corruption. Revisi SK KMA RI Nomor 48/KMA/SK/II/2017 tentang Pola Promosi dan Mutasi Hakim juga dilakukan untuk memperketat sistem karir hakim.
Badan Pengawasan Mahkamah Agung telah membentuk Satuan Tugas Khusus (SATGASSUS) untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kedisiplinan, kinerja, dan kepatuhan hakim dan aparatur terhadap kode etik di wilayah hukum DKI Jakarta.
Upaya pencegahan juga dilakukan melalui penerapan Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) yang mencakup pakta integritas bagi seluruh ASN, prosedur tindak lanjut yang efektif atas penerimaan gratifikasi, penerapan klausul anti penyuapan di setiap kontrak, penghindaran konflik kepentingan, dan pemberian konsekuensi bagi pelanggar.
Dampak Sosial dan Upaya Pemulihan Kepercayaan
Pelanggaran terhadap asas ini menimbulkan dampak yang sangat luas bagi masyarakat. Hilangnya kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dapat mengakibatkan masyarakat kehilangan keyakinan terhadap supremasi hukum. Hal ini berpotensi menciptakan kondisi dimana masyarakat lebih memilih menyelesaikan sengketa di luar jalur hukum formal atau bahkan melakukan main hakim sendiri.
Untuk memulihkan kepercayaan publik, diperlukan pendekatan holistik yang meliputi penegakan hukum yang tegas dan konsisten, reformasi struktural dalam sistem peradilan, peningkatan transparansi dan akuntabilitas, serta edukasi anti-korupsi yang berkelanjutan. Peran whistleblower perlu diperkuat dengan memberikan perlindungan yang memadai bagi pelapor tindak pidana korupsi.
Partisipasi masyarakat dalam pengawasan kinerja penegak hukum juga menjadi kunci penting. Mekanisme pengaduan masyarakat yang mudah diakses dan responsif dapat membantu mengidentifikasi praktik-praktik yang menyimpang sejak dini.
Penutup
Asas "Accipere quid ut justitiam facias non est tam accipere quam extorquere" mengandung nilai filosofis yang sangat mendalam tentang integritas dalam penegakan hukum. Asas ini menegaskan bahwa keadilan adalah sesuatu yang sakral dan tidak dapat diperjualbelikan dalam bentuk apapun. Setiap bentuk penerimaan imbalan dalam konteks penegakan hukum, sekecil apapun, pada hakikatnya merupakan bentuk pemerasan terhadap sistem keadilan itu sendiri.
Implementasi asas ini dalam sistem hukum Indonesia telah memiliki landasan yuridis yang kuat melalui UU Tipikor, UU Kekuasaan Kehakiman, dan berbagai kode etik profesi hukum. Namun demikian, tantangan dalam implementasinya masih sangat besar, sebagaimana terlihat dari masih maraknya kasus suap yang melibatkan penegak hukum.
Pemberantasan praktik suap dan gratifikasi memerlukan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan. Penguatan sistem pengawasan internal, reformasi hukum dengan sanksi yang lebih tegas, peningkatan kesejahteraan penegak hukum, dan pembentukan budaya anti-korupsi menjadi kunci keberhasilan upaya ini.
Masyarakat juga memiliki peran penting dalam mengawal implementasi asas ini melalui partisipasi aktif dalam pengawasan kinerja penegak hukum dan menuntut transparansi serta akuntabilitas dalam setiap proses peradilan. Hanya melalui komitmen bersama dari seluruh elemen bangsa, cita-cita mewujudkan sistem peradilan yang bersih, profesional, dan berintegritas dapat terwujud.
Asas ini mengingatkan kita bahwa profesi hukum adalah "officium nobile" (profesi yang mulia) yang harus dijaga kemuliaannya melalui dedikasi total kepada keadilan dan kebenaran. Setiap penegak hukum harus selalu mengingat sumpah profesinya dan menjadikan asas ini sebagai panduan dalam setiap pengambilan keputusan, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan dapat dipulihkan dan diperkuat.
Referensi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Peraturan Jaksa Agung RI No. PER-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Etik Jaksa
Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Putusan Mahkamah Agung Nomor 97 PK/Pid.Sus/2019 (Kasus Irman Gusman)
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 11/Pid.B/TPK/2008/PN.JKT.PST (Kasus Urip Tri Gunawan)
Putusan Mahkamah Agung Nomor 515 K/PID.Sus/2017
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 75/PID.SUS-TPK/2023/PN JKT PST
Burhanudin, Achmad Asfi. "Peran Etika Profesi Hukum Sebagai Upaya Penegakan Hukum Yang Baik." El-Faqih: Jurnal Pemikiran Dan Hukum Islam 4, no. 2 (2018): 50–67.
Faizzah, Irvani, et al. "Peran Etika Profesi Hukum Dalam Meningkatkan Profesionalisme Penegak Hukum Di Indonesia." Jurnal Lexs Specialist (2022).
Ginting, Yuni Priskila, et al. "Pentingnya Pemahaman dan Penerapan Nilai-Nilai Moral dan Etika dalam Praktik Profesi Hukum." Jurnal Hukum (2023).
Syahputra, Bintang Audy dan Ahmad Yubaidi. "Peran Kode Etik Profesi Hukum dalam Upaya Penegakan Hukum di Indonesia." Jurnal Hukum (2023).
Indonesia Corruption Watch. "Tren Korupsi Hakim Tahun 2011-2024." antikorupsi.org, 2025.
BBC Indonesia. "Empat hakim jadi tersangka suap kasus ekspor minyak sawit." bbc.com/indonesia, 16 April 2025.
Hukumonline. "91 Adagium Hukum Keren dan Artinya, Anak Hukum Wajib Tahu." hukumonline.com, 5 Agustus 2024.
Kejaksaan Agung RI. "3 Oknum Hakim jadi Tersangka Perkara Korupsi Suap Penanganan Perkara di PN Jakarta Pusat." story.kejaksaan.go.id, 14 April 2025.
Komisi Pemberantasan Korupsi. "Tentang KPK - Undang-undang Terkait." kpk.go.id, 29 April 2024.
Mahkamah Agung RI. "Sikap Mahkamah Agung Terhadap Dugaan Suap atau Gratifikasi Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat." pn-tegal.go.id, 20 April 2025.
Chazawi, Adami. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (Edisi Revisi). Malang: MNC Publishing, 2018.
Kansil, C.S.T. Etika Profesi Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 2003.
Muhammad, Abdulkadir. Etika Profesi Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.
Suseno, Franz Magnis. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Jakarta: Kanisius, 1987.
Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Jawa Tengah. "Tata Cara Pelaporan Gratifikasi." bkd.jatengprov.go.id, 2024.
Inspektorat Kabupaten Aceh Barat Daya. "Modul Gratifikasi." 2022.
Komisi Yudisial. "KY Beri Sanksi bagi Hakim yang Melanggar Kode Etik." komisiyudisial.go.id, 3 Agustus 2023.
Pemerintah Kota Yogyakarta. "Gratifikasi - Inspektorat." inspektorat.jogjakota.go.id, 2021.