Analisis Ketiadaan Mens rea dalam Perkara Tom Lembong
NEWS


Pendahuluan
Dalam doktrin hukum pidana, suatu tindak pidana baru dapat dinyatakan sempurna apabila terpenuhi dua unsur: actus reus (perbuatan fisik yang dilarang oleh hukum) dan mens rea (kondisi mental atau niat jahat). Kedua elemen ini, seringkali diibaratkan sebagai "jiwa dan raga" dari suatu delik, wajib dibuktikan secara meyakinkan guna menegakkan pertanggungjawaban pidana seseorang. Ketiadaan salah satu unsur tersebut, khususnya mens rea, dapat mengakibatkan suatu perbuatan, meskipun menimbulkan kerugian, tidak memenuhi kualifikasi sebagai tindak pidana. Perkara yang menimpa Thomas Trikasih Lembong (selanjutnya disebut "Tom Lembong"), mantan Menteri Perdagangan periode 2015-2016, terkait kebijakan impor gula, secara tajam menyoroti signifikansi dan kompleksitas pembuktian mens rea dalam praktik penegakan hukum di Indonesia.
Pembahasan
Actus reus dan Mens rea
Guna memahami argumentasi mengenai ketiadaan mens rea dalam perkara, perlu terlebih dahulu ditelaah dua pilar utama pembentukan tindak pidana:
Actus reus (Perbuatan Melawan Hukum)
Actus reus merupakan elemen fisik dari suatu kejahatan, yakni perbuatan atau serangkaian perbuatan yang secara tegas dilarang oleh undang-undang. Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum. dalam bukunya Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (2014), menjelaskan bahwa actus reus adalah "perbuatan yang dapat dicela (blameworthy conduct) yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan pidana." Elemen ini mencakup tidak hanya tindakan aktif, melainkan pula kelalaian yang diwajibkan oleh hukum, atau bahkan kondisi tertentu yang dilarang. Dalam konteks tindak pidana korupsi, actus reus dapat bermanifestasi dalam bentuk perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian keuangan negara, seperti penerimaan suap, pengadaan fiktif, atau penyalahgunaan wewenang.
Dalam perkara Tom Lembong, actus reus yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan dinyatakan terbukti oleh Majelis Hakim adalah terkait kebijakan penerbitan izin impor gula kristal mentah kepada sejumlah perusahaan swasta serta ketidaksesuaian prosedur koordinasi antar kementerian. Perbuatan ini, menurut putusan pengadilan, telah menyebabkan kerugian keuangan negara.
Mens rea (Niat Jahat)
Mens rea merupakan elemen mental atau psikologis yang menyertai actus reus. Elemen ini merujuk pada kondisi pikiran pelaku pada saat ia melakukan tindakan pidana. Sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. Moeljatno, S.H. dalam Asas-Asas Hukum Pidana (2008), mens rea atau "sifat batin yang salah" adalah "keadaan jiwa si pembuat, yaitu apakah ia pada waktu melakukan perbuatan yang dilarang itu menghendaki perbuatan itu serta tahu atau patut menduga akibatnya." Mens rea tidak semata-mata diartikan sebagai niat untuk melakukan tindakan fisik, melainkan niat untuk melakukan tindakan yang dilarang atau kesadaran akan konsekuensi dari tindakan tersebut. Bentuk mens rea bervariasi, meliputi niat sengaja (intention), pengetahuan (knowledge), kecerobohan (recklessness), hingga kelalaian (negligence). Unsur ini memegang peranan penting karena membedakan suatu tindak pidana dari sekadar kecelakaan atau kesalahan administratif.
Implikasinya adalah bahwa tanpa pembuktian mens rea, suatu tindak pidana tidak dapat dinyatakan terpenuhi. Apabila seseorang melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian tetapi tanpa niat jahat, tanpa kesadaran bahwa tindakannya melanggar hukum, atau tanpa menyadari adanya risiko yang tidak dapat dibenarkan, maka pertanggungjawaban pidana akan sulit ditegakkan secara sah.
Ketiadaan Mens rea dalam Perkara Tom Lembong
Putusan pengadilan terhadap Tom Lembong telah memicu perdebatan luas, khususnya karena ketiadaan bukti yang meyakinkan mengenai mens rea dalam bentuk niat jahat atau keuntungan pribadi. Beberapa poin yang menguatkan argumentasi ini adalah sebagai berikut:
Tidak Ada Indikasi Keuntungan Pribadi
Fakta paling signifikan yang terungkap dari putusan Majelis Hakim adalah pengakuan eksplisit bahwa Tom Lembong tidak terbukti menikmati hasil korupsi dan oleh karenanya tidak dibebankan kewajiban membayar uang pengganti kerugian negara. Hal ini secara fundamental melemahkan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain, yang merupakan esensi dari Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang didakwakan. Apabila tidak terdapat keuntungan pribadi atau niat untuk memperkaya diri, maka tujuan utama penegakan pidana korupsi, yaitu memberantas greedy crime menjadi tidak relevan.
Kriminalisasi Diskresi Kebijakan Publik
Tom Lembong, dalam kapasitasnya sebagai Menteri Perdagangan, memiliki diskresi dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan impor. Meskipun kebijakan yang diambil mungkin dinilai keliru atau tidak optimal oleh beberapa pihak, hal tersebut tidak serta-merta mengindikasikan adanya niat jahat. Para pejabat publik mengambil keputusan dalam lingkungan yang kompleks, seringkali di bawah tekanan, dan dengan informasi yang terbatas. Ketiadaan koordinasi atau penunjukan pihak tertentu (misalnya koperasi daripada Badan Usaha Milik Negara/BUMN) dapat dipandang sebagai kesalahan administratif atau kebijakan yang tidak tepat, bukan sebagai tindakan yang dilakukan dengan niat kriminal untuk merugikan negara. Prinsip Business Judgment Rule (BJR) yang lazim diterapkan dalam hukum korporasi, seharusnya juga dapat dipertimbangkan dalam konteks kebijakan publik, di mana keputusan yang diambil dengan itikad baik dan berdasarkan informasi yang tersedia tidak seharusnya dikriminalisasi.
Absennya Bukti Aliran Dana atau Kickback
Pihak pembela dan sejumlah pengamat hukum secara konsisten menyoroti ketiadaan bukti aliran dana atau kickback yang diterima oleh Tom Lembong. Dalam perkara korupsi, bukti transfer dana ilegal atau indikasi keuntungan finansial pribadi seringkali menjadi indikator kuat adanya mens rea berupa niat memperkaya diri. Absennya bukti semacam ini, yang juga diakui oleh Majelis Hakim dengan tidak membebankan uang pengganti, menunjukkan bahwa keputusan yang diambil Tom Lembong lebih condong kepada maladministration (maladministrasi) daripada malfeasance (perbuatan jahat yang disengaja untuk tujuan pribadi).
Pertimbangan "Ekonomi Kapitalis" yang Meragukan
Salah satu pertimbangan memberatkan Majelis Hakim yang menyatakan Tom Lembong "lebih mengedepankan ekonomi kapitalis" merupakan pertimbangan yang patut dipertanyakan dan tidak relevan dengan pembuktian unsur pidana berdasarkan hukum positif Indonesia. Hukum pidana seharusnya berfokus pada pelanggaran norma hukum yang jelas, bukan pada ideologi ekonomi seorang pejabat. Pertimbangan semacam ini mengindikasikan pergeseran fokus dari pembuktian mens rea yang objektif menuju interpretasi subjektif yang dapat mengancam kepastian hukum.
Argumentasi Ranah Hukum Administrasi
Mengingat ketiadaan pembuktian mens rea yang memadai dan fakta bahwa Tom Lembong tidak terbukti menikmati hasil kejahatan, perkara ini seharusnya lebih tepat diselesaikan dalam ranah hukum administrasi.
Pelanggaran Administratif
Apabila ditemukan adanya prosedur yang tidak ditaati, ketidaksesuaian kebijakan dengan peraturan yang lebih tinggi, atau kelalaian dalam koordinasi, maka sanksi yang seharusnya diterapkan adalah sanksi administratif. Argumen ini berlandaskan pada prinsip pemisahan ranah hukum pidana dan hukum administrasi negara. Kesalahan atau kelalaian dalam pelaksanaan wewenang yang tidak disertai niat jahat, seharusnya diselesaikan melalui mekanisme hukum administrasi. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP), khususnya Pasal 1 angka 5 yang mendefinisikan Diskresi sebagai keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan tidak mengatur, tidak lengkap, tidak jelas, atau adanya stagnasi pemerintahan. UU AP juga mengatur tentang penyalahgunaan wewenang, namun lebih fokus pada penyelesaian administratif dan ganti rugi, bukan pidana, kecuali ada unsur niat jahat yang dibuktikan.
Jimly Asshiddiqie (2005) menegaskan bahwa kesalahan yang disebabkan oleh ketidakhati-hatian atau kekurangan profesionalisme tanpa adanya unsur kesengajaan untuk merugikan, merupakan ranah maladministrasi yang sanksinya bersifat administratif, seperti teguran, penurunan pangkat, atau pemberhentian tidak dengan hormat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Hukum administrasi dirancang untuk mengatur dan memperbaiki perilaku birokrasi, bukan untuk menghukum dengan sanksi pidana yang berat atas kesalahan kebijakan yang tidak disertai niat jahat.
Pencegahan Kriminalisasi Kebijakan Publik
Kriminalisasi kebijakan publik yang tidak disertai mens rea yang jelas berpotensi menimbulkan chilling effect (efek mengerikan) yang berbahaya. Kriminalisasi kebijakan publik tanpa pembuktian mens rea yang jelas berpotensi menimbulkan chilling effect (efek mengerikan) yang berbahaya, karena akan membuat pejabat publik enggan mengambil keputusan yang inovatif atau berani demi kepentingan publik karena khawatir akan dipidanakan jika keputusan tersebut, di kemudian hari, dianggap keliru atau merugikan, meskipun tanpa niat jahat. Kondisi ini dapat menghambat kinerja birokrasi dan menciptakan lingkungan di mana pejabat lebih memilih mempertahankan status quo daripada mengambil risiko yang diperlukan untuk kemajuan.
Selain itu, hal ini bertentangan dengan semangat prinsip legalitas (nullum crimen nulla poena sine praevia lege poenali) yang mensyaratkan bahwa suatu perbuatan baru dapat dipidana jika diatur secara jelas dalam undang-undang sebelum perbuatan itu dilakukan, termasuk unsur-unsur subjektifnya (mens rea). Apabila setiap kesalahan dalam diskresi kebijakan dapat dipidanakan tanpa niat jahat, maka kepastian hukum bagi pejabat publik akan terancam.
Fokus pada Akuntabilitas, Bukan Pembalasan Pidana:
Tujuan utama hukum pidana adalah menghukum pelaku dan memberikan efek jera terhadap tindakan yang disertai niat jahat. Apabila tidak terdapat niat jahat, maka tujuan pembalasan (retributif) dari hukum pidana tidak terpenuhi secara substansial. Sebaliknya, tujuan hukum administrasi adalah memastikan akuntabilitas birokrasi, memperbaiki proses kebijakan yang keliru, dan mencegah kerugian negara melalui mekanisme pengawasan internal dan eksternal. Fokus seharusnya tertuju pada perbaikan sistem dan peningkatan kapasitas birokrasi melalui audit kinerja oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Inspektorat Jenderal Kementerian, serta rekomendasi perbaikan yang sifatnya administratif, bukan pada pembalasan pidana yang tidak proporsional dan tanpa dasar mens rea yang kuat.
Penutup
Perkara Tom Lembong Thomas Trikasih Lembong merupakan kasus yang signifikan dalam diskursus hukum pidana di Indonesia, khususnya terkait implementasi prinsip mens rea dalam tindak pidana korupsi yang melibatkan kebijakan publik. Ketiadaan bukti niat jahat, absennya keuntungan pribadi, serta karakteristik kesalahan yang lebih mengarah pada mal-administrasi, seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam penentuan ranah hukum yang tepat. Memidanakan pejabat atas kesalahan kebijakan tanpa pembuktian mens rea yang jelas dapat mengikis batas antara hukum pidana dan hukum administrasi, menciptakan ketidakpastian hukum, dan menghambat inovasi dalam tata kelola pemerintahan. Guna menjamin keadilan dan efisiensi birokrasi, penegakan hukum wajib secara ketat membedakan antara pelanggaran pidana yang didasari niat jahat dengan kesalahan administratif yang seharusnya ditangani melalui mekanisme non-pidana.
Referensi
Jimly Asshiddiqie. (2005). Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press.
Eddy O.S. Hiariej. (2014). Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
Moeljatno. (2008). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Dwidja, Muladi, dan Priyatno. (2010). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Mardjono Reksodiputro. (1994). Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.