Alasan Pembenar dan Alasan Pemaaf dalam Hukum Pidana

PIDANA

Insyirah Fatihah Hidayat

8/28/20256 min read

Pendahuluan

Dalam sistem hukum pidana modern, fungsi utama hukum adalah untuk menjatuhkan sanksi atau pidana kepada mereka yang terbukti melakukan tindak pidana. Namun, konsep pemidanaan tidak hanya terbatas pada pembuktian unsur-unsur tindak pidana yang tertera dalam undang-undang. Sistem hukum juga mengakui adanya keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan seseorang tidak dapat dipidana, meskipun perbuatannya secara lahiriah memenuhi rumusan delik. Alasan-alasan ini dikenal sebagai alasan penghapus pidana.

Doktrin hukum pidana memisahkan dua konsep esensial: tindak pidana (strafbaar feit) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Tindak pidana merujuk pada perbuatan itu sendiri yang dilarang oleh undang-undang, sedangkan pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan apakah pelaku dapat dipersalahkan atas perbuatannya.

Pembahasan

Keberadaan alasan pembenar dan pemaaf merupakan perwujudan nyata dari salah satu asas hukum pidana terpenting, yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld beginsel). Asas ini memastikan bahwa pemidanaan hanya dijatuhkan kepada mereka yang memiliki kesalahan dan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Dengan demikian, tujuan penerapan alasan-alasan ini adalah untuk menjamin keadilan dan humanisme dalam penegakan hukum, menghindari pemidanaan yang tidak proporsional atau tidak adil.

Hukum pidana modern, terutama yang berakar pada tradisi hukum kontinental seperti di Indonesia, menganut ajaran dualisme yang memisahkan secara jelas antara unsur perbuatan (actus reus) dan unsur kesalahan (mens rea). Unsur perbuatan mencakup aspek-aspek objektif yang dapat diamati dari suatu tindakan, termasuk sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid). Sementara itu, unsur kesalahan berkaitan dengan sikap batin pelaku (schuld) yang mencerminkan apakah perbuatannya dapat dicela atau dipersalahkan.

Alasan penghapus pidana berfungsi sebagai "penghalang" yang menggugurkan salah satu dari dua unsur ini. Jika alasan pembenar diterima, maka unsur objektif, yaitu sifat melawan hukum, dari perbuatan tersebut dianggap gugur. Perbuatan yang semula dilarang oleh undang-undang menjadi dibenarkan dan sah secara hukum, sehingga perbuatan tersebut tidak lagi dianggap sebagai tindak pidana. Sebaliknya, jika alasan pemaaf diterima, unsur perbuatan tetap ada dan bersifat melawan hukum, namun unsur subjektif, yaitu kesalahan, tidak dapat dilekatkan pada diri pelaku. Perbedaan mendasar inilah yang menjadi landasan bagi konsekuensi hukum yang sangat berbeda dalam praktik peradilan.

Alasan Pembenar (Rechtvaardigingsgrond)

Alasan pembenar adalah alasan yang meniadakan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan. Hal ini berarti bahwa meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik, namun karena dibenarkan oleh undang-undang, perbuatannya dianggap sah. Sebagai contoh, tindakan seorang eksekutor yang menembak mati terpidana hukuman mati merupakan perbuatan menghilangkan nyawa, namun karena dilakukan berdasarkan perintah undang-undang, perbuatan tersebut dibenarkan dan eksekutor tidak dapat dipidana. Ciri-ciri utama alasan pembenar adalah sifatnya yang objektif, artinya ia melekat pada perbuatan itu sendiri, bukan pada kondisi atau sikap batin pelaku.

Alasan Pemaaf (Schulduitsluitingsgrond)

Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan unsur kesalahan (schuld) pada diri pelaku. Artinya, perbuatan yang dilakukan tetap dianggap melawan hukum, tetapi pelakunya tidak dapat dicela atau dipersalahkan atas perbuatannya. Ciri-ciri alasan pemaaf adalah sifatnya yang subjektif, yang melekat pada kondisi batin, psikis, atau keadaan internal pelaku pada saat perbuatan dilakukan. Sebagai contoh, seseorang yang melakukan pembunuhan karena gangguan jiwa yang parah tetap melakukan perbuatan yang melawan hukum, namun ia tidak dapat dipersalahkan karena jiwanya tidak sehat.

Jenis-Jenis Alasan Pembenar dalam KUHP

  1. Daya Paksa (Overmacht) - Pasal 48 KUHP

    Pasal 48 KUHP secara umum menyatakan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dapat dipidana. Konsep overmacht ini unik karena dapat berfungsi sebagai alasan pembenar maupun pemaaf, tergantung pada konteksnya. Para ahli membaginya ke dalam tiga bentuk:

    • Vis Absoluta (Paksaan Mutlak): Pelaku sepenuhnya digunakan sebagai "alat" oleh orang lain, di mana kehendaknya tidak ada sama sekali. Contohnya adalah seseorang yang didorong dengan kuat hingga tubuhnya menabrak orang lain dan menyebabkan kematian. Dalam kasus ini, perbuatan sepenuhnya dilakukan oleh orang yang memaksa.

    • Vis Compulsiva (Paksaan Relatif): Pelaku masih memiliki kehendak, tetapi berada di bawah tekanan atau ancaman yang berat. Ia dihadapkan pada pilihan sulit, seperti seorang kasir yang terpaksa menyerahkan uang karena diancam dengan senjata.

    • Noodtoestand (Keadaan Darurat): Terjadi ketika ada konflik antara dua kepentingan atau kewajiban hukum yang sama-sama harus diprioritaskan. Contoh klasik adalah polisi yang merusak properti (misalnya, memecahkan kaca jendela) untuk menyelamatkan nyawa seseorang dari kebakaran.

  2. Pembelaan Terpaksa (Noodweer) - Pasal 49 ayat (1) KUHP

    Noodweer adalah alasan pembenar yang menghapus sifat melawan hukum dari tindakan membela diri. Syarat-syaratnya ketat dan harus terpenuhi seluruhnya:

    • Harus ada serangan yang melawan hukum dan terjadi seketika (saat itu juga). Jika serangan telah berakhir, tindakan balasan tidak dapat lagi dibenarkan sebagai noodweer.

    • Pembelaan ditujukan untuk melindungi badan, kehormatan kesusilaan, atau harta benda milik diri sendiri maupun orang lain.

    • Tindakan pembelaan harus proporsional atau seimbang dengan serangan yang diterima. Keseimbangan ini akan diuji dan dipertimbangkan oleh hakim dalam persidangan.

  3. Menjalankan Peraturan Undang-Undang - Pasal 50 KUHP

    Pasal ini memberikan alasan pembenar bagi seseorang yang melakukan perbuatan untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan. Meskipun perbuatan tersebut secara terpisah dapat dianggap sebagai tindak pidana, sifat melawan hukumnya gugur karena adanya perintah yang lebih tinggi dari undang-undang. Contoh paling lugas adalah seorang eksekutor hukuman mati yang melaksanakan putusan pengadilan. Meskipun ia melakukan pembunuhan, tindakan tersebut dibenarkan karena ia menjalankan perintah undang-undang.

  4. Menjalankan Perintah Jabatan yang Sah - Pasal 51 ayat (1) KUHP

    Alasan pembenar ini berlaku jika suatu perbuatan dilakukan atas perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang. Tindakan ini dibenarkan karena merupakan kewajiban yang melekat pada jabatan. Misalnya, seorang anggota Polri yang melakukan penangkapan atas perintah pejabat penyidik yang sah, ia tidak dapat dipidana meskipun perbuatan tersebut bisa jadi melanggar privasi atau kebebasan orang yang ditangkap.

Jenis-Jenis Alasan Pemaaf dalam KUHP

  1. Ketidakmampuan Bertanggung Jawab - Pasal 44 KUHP

    Pasal ini menyatakan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan karena kondisinya kurang sempurna akalnya atau sakit yang berubah akalnya tidak dapat dipidana. Hal ini terkait dengan kondisi mental dan kejiwaan pelaku pada saat perbuatan dilakukan. Pembuktiannya memerlukan pemeriksaan mendalam oleh ahli kejiwaan yang akan menyimpulkan apakah pelaku memiliki kemampuan berpikir untuk menguasai pikirannya dan mengerti makna serta akibat dari perbuatannya. Contoh putusan pengadilan menunjukkan bahwa pelaku tindak pidana serius seperti pembunuhan dapat dilepaskan dari segala tuntutan karena didiagnosis menderita skizofrenia, retardasi mental, atau gangguan kejiwaan berat lainnya yang menyebabkan ia tidak mampu membedakan fantasi dan realitas.

  2. Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas (Noodweer Exces) - Pasal 49 ayat (2) KUHP

    Berbeda dengan noodweer yang merupakan alasan pembenar, noodweer exces adalah alasan pemaaf. Alasan ini muncul ketika pembelaan yang dilakukan melampaui batas yang wajar atau proporsional, dan kelebihan tindakan tersebut secara langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat (hevige gemoedsbeweging) akibat serangan yang dialami. Perbuatan pembelaan yang berlebihan ini tetap bersifat melawan hukum, tetapi pelaku tidak dapat dipersalahkan karena kondisi batinnya yang tidak normal. Contohnya adalah seorang korban yang secara terus-menerus memukul atau menembak penyerangnya meskipun ancaman telah hilang, karena berada dalam keadaan panik atau terkejut luar biasa.

  3. Menjalankan Perintah Jabatan yang Tidak Sah - Pasal 51 ayat (2) KUHP

    Alasan pemaaf ini diberikan kepada bawahan yang menjalankan perintah atasan yang tidak sah, tetapi melakukannya dengan itikad baik karena meyakini bahwa perintah tersebut sah dan menjadi bagian dari kewajibannya. Alasan ini mengakui bahwa meskipun perbuatannya melanggar hukum, pelaku tidak dapat dipersalahkan karena ia bertindak berdasarkan keyakinan yang salah namun beralasan.

Alasan Penghapus Pidana di Luar Undang-Undang

Selain alasan yang secara eksplisit diatur dalam KUHP, doktrin hukum dan yurisprudensi di Indonesia juga mengakui adanya alasan pembenar atau pemaaf yang tidak tercantum dalam undang-undang. Hakim memiliki kewajiban untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat sebagai dasar pertimbangan putusan. Hal ini menjadi landasan bagi pengakuan hukum adat sebagai alasan penghapus pidana dalam beberapa kasus. Selain itu, doktrin tidak adanya kesalahan sama sekali (afwezigheid van alle schuld atau avas) juga berkembang melalui putusan pengadilan, yang menunjukkan bahwa ketidakmampuan untuk bertindak secara berbeda, bahkan di luar kondisi yang diatur, dapat menjadi alasan penghapus pidana.

Alasan Penghapus Pidana dalam KUHP Baru (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023)

KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) tidak hanya mengkonsolidasikan dan memperjelas perbedaan antara alasan pembenar dan pemaaf, tetapi juga secara fundamental mengubah paradigmanya dengan penerapannya pada korporasi. KUHP baru menertibkan dan memberikan pembagian yang lebih tegas antara kedua alasan ini, yang diharapkan dapat meningkatkan kejelasan dan kepastian hukum. Inovasi terpentingnya adalah perluasan pertanggungjawaban pidana korporasi. Pasal 50 KUHP baru memungkinkan korporasi untuk mengajukan alasan pembenar yang diajukan oleh pengurusnya, menunjukkan pengakuan bahwa entitas hukum juga dapat memiliki "kehendak" yang dapat dibenarkan. Perubahan ini menyetarakan hak pembelaan diri antara subjek hukum perseorangan dan korporasi, yang merupakan langkah maju dalam penegakan hukum pidana modern.

Penutup

Secara fundamental, alasan pembenar menggugurkan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan, bersifat objektif, dan berujung pada putusan bebas (vrijspraak). Sementara itu, alasan pemaaf menggugurkan kesalahan pada pelaku, bersifat subjektif, dan berujung pada putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). Konsep-konsep ini mencerminkan komitmen sistem hukum pidana Indonesia untuk tidak hanya menghukum perbuatan yang salah, tetapi juga memastikan bahwa hanya orang yang dapat dipersalahkan yang dijatuhi hukuman.

Referensi

Adami, C. Alasan Pemaaf Sebagai Penghapus Pidana dalam Tindak Pelaku Penyimpangan Seksual Fetisisme. Jurnal Kertha Wicara, 11 (2), 2020.

Amrani, H., & Ali, M. (2015). Sistem Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Rajawali Pers.

Baihaqi, I. Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas (Noodweer Exces) Sebagai Alasan Dalam Penghapusan Pidana. Jurnal Hukum Jurisdictie 6 (1), 2024.

Huda, C. Melaksanakan Ketentuan Undang-Undang Sebagai Alasan Penghapus Pidana Berdasarkan Pasal 50 KUHP. Jurnal Lex Privatum 8 (4), 2020.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

I Made Widnyana. (2010). Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Fikahat Aneska.

Moeljatno. (2008). Asas-asas Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

Pasaribu, Y. (2017). Yang Lalai dan Akibat Hukumnya Ditinjau dari Pasal 359 dan 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jurnal Lex et Societatis 5 (1), 2017.

Rahmat, W. Pembelaan Terpaksa (Noodweer) Sebagai Alasan Pembenar Dalam Hukum Pidana. Jurnal Review UNES , 2022.

Rattu, R. Daya Paksa (Overmacht) Dalam Pasal 48 KUHP Dari Sudut Doktrin dan Yurisprudensi. Jurnal Lex Crimen 8 (11), 2019.