Actio Pauliana dalam Kepailitan dan PKPU
PERDATA


Pendahuluan
Dalam hubungan hukum antara kreditur dan debitur, seringkali timbul permasalahan ketika seorang debitur berusaha untuk mengurangi asetnya secara sengaja agar tidak dapat disita untuk membayar utang-utangnya. Situasi ini mengancam hak-hak kreditur dan merusak prinsip dasar dalam hukum jaminan. Untuk mengatasi perbuatan curang semacam itu, hukum perdata telah menyediakan sebuah instrumen hukum yang dikenal sebagai Actio Pauliana.
Pembahasan
A. Definisi dan Tujuan Actio Pauliana
Secara terminologi, actio pauliana dapat didefinisikan sebagai hak yang diberikan kepada kreditur untuk mengajukan permohonan pembatalan terhadap setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur yang tidak diwajibkan oleh undang-undang atau perjanjian, yang mengakibatkan kerugian pada pihak kreditur. Perbuatan hukum ini dapat mencakup tindakan-tindakan seperti hibah, penjualan aset dengan harga di bawah nilai pasar, atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo.
Tujuan utama dari pengajuan gugatan actio pauliana adalah untuk melindungi kepentingan kreditur. Melalui pembatalan transaksi yang curang, gugatan ini berupaya mengembalikan aset yang telah dialihkan oleh debitur ke dalam harta kepailitan (boedel pailit). Dengan demikian, aset-aset tersebut dapat dikelola oleh kurator dan dibagikan secara adil kepada seluruh kreditur. Actio pauliana dianggap sebagai salah satu cara untuk menyelamatkan harta pailit dari perbuatan curang yang dilakukan oleh debitur atau pihak ketiga yang bersekongkol dengannya.
Dasar Hukum
Dasar hukum actio pauliana diatur dalam dua kerangka hukum utama:
KUHPerdata
Secara umum, actio pauliana diatur dalam Pasal 1341 KUHPerdata. Pasal ini memberikan hak kepada setiap kreditur untuk menuntut pembatalan perbuatan yang tidak diwajibkan oleh debitur yang telah merugikannya. Agar gugatan ini dapat dikabulkan, penggugat harus membuktikan bahwa pada saat perbuatan tersebut dilakukan, baik debitur maupun pihak yang berinteraksi dengannya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan merugikan kreditur.
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU
Actio pauliana diatur secara lebih spesifik dan terperinci dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU), khususnya pada Pasal 41 sampai dengan Pasal 47. Dalam kepailitan, gugatan actio pauliana menjadi kewenangan eksklusif Kurator yang bertindak atas nama dan untuk kepentingan seluruh kreditur.
Perbedaan antara 2 Dasar Hukum
Meskipun keduanya mengatur tentang actio pauliana, terdapat perbedaan mendasar antara pengaturan di KUHPerdata dan UUKPKPU yang menunjukkan spesialisasi hukum dalam konteks kepailitan.
Subjek yang Berhak Menggugat
KUH Perdata: Setiap kreditur yang dirugikan
UU Kepailitan: Kurator, yang mewakili seluruh kreditur
Forum Peradilan
KUH Perdata: Pengadilan Negeri (Perkara perdata umum)
UU Kepailitan: Pengadilan Niaga, sebagai "gugatan lain-lain"
Ketentuan Pembuktian
KUH Perdata: Harus membuktikan bahwa debitur dan pihak ketiga mengetahui kerugian
UU Kepailitan: Menggunakan "pembuktian sederhana". Terdapat mekanisme pembuktian terbalik.
Tujuan Utama
KUH Perdata: Mengembalikan aset untuk kepentingan kreditur yang menggugat
UU Kepailitan: Mengembalikan aset ke harta pailit untuk kepentingan semua kreditur (boedel pailit)
Terdapat hubungan yang erat dan saling melengkapi antara kedua dasar hukum ini. Putusan Mahkamah Agung sering kali mengacu pada kedua pasal tersebut secara bersamaan menggunakan frasa "juncto" (jo.), menunjukkan bahwa UUKPKPU tidak menggantikan, melainkan menyempurnakan dan mengkhususkan prinsip yang telah ada di KUHPerdata, mengubah fokus dari perlindungan individu kreditur menjadi perlindungan kolektif dalam situasi kepailitan.
Syarat-Syarat dan Unsur Pembuktian
Gugatan actio pauliana tidak dapat diajukan secara sembarangan. Gugatan ini harus memenuhi sejumlah syarat materiil dan unsur subjektif yang ketat.
Syarat Materiil
Perbuatan Hukum yang Merugikan: Syarat utama adalah perbuatan yang dilakukan oleh debitur harus secara nyata merugikan kepentingan kreditur. Kerugian terjadi ketika perbuatan tersebut menyebabkan berkurangnya aset yang seharusnya menjadi jaminan pelunasan utang debitur.
Perbuatan Hukum yang "Tidak Diwajibkan": Gugatan hanya bisa diajukan untuk membatalkan perbuatan hukum yang tidak diwajibkan oleh undang-undang atau perjanjian. Sebagai contoh, pembayaran utang yang sudah jatuh tempo tidak dapat dibatalkan melalui actio pauliana meskipun pembayaran tersebut mengurangi aset debitur dan merugikan kreditur lain. Sebaliknya, tindakan seperti hibah atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo dapat digugat karena termasuk perbuatan yang tidak diwajibkan.
Unsur Subjektif (Itikad Tidak Baik)
Unsur paling krusial dan seringkali menjadi tantangan dalam pembuktian adalah adanya itikad tidak baik dari pihak-pihak yang terlibat. Penggugat (kreditur atau kurator) harus mampu membuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, baik debitur maupun pihak ketiga yang berinteraksi dengannya mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan merugikan kreditur. Dalam kasus perbuatan hukum sepihak seperti hibah, pembuktian niat buruk dari debitur saja sudah dianggap cukup.
Mekanisme Pembuktian Terbalik
Untuk mengatasi kesulitan dalam membuktikan niat curang, hukum kepailitan menyediakan mekanisme pembuktian terbalik (omkering van de bewijslast). Dalam situasi tertentu, terutama jika perbuatan hukum mencurigakan dilakukan dalam jangka waktu tertentu sebelum putusan pailit atau melibatkan pihak afiliasi, beban pembuktian beralih kepada pihak debitur dan/atau pihak ketiga. Mereka harus membuktikan bahwa transaksi tersebut dilakukan dengan itikad baik dan tidak bertujuan merugikan kreditur. Apabila mereka gagal menyajikan bukti yang meyakinkan, hakim dapat mengabulkan gugatan actio pauliana.
Dalam kepailitan, kurator memiliki kewenangan mutlak (absolute authority) untuk mengajukan gugatan actio pauliana. Kurator bertindak sebagai wakil yang sah dari seluruh kreditur, sehingga tidak ada lagi tumpang tindih gugatan dari masing-masing kreditur yang mungkin dirugikan. Kurator, setelah berkonsultasi dengan Hakim Pengawas, dapat mengajukan gugatan pembatalan transaksi ke Pengadilan Niaga jika terbukti transaksi tersebut merugikan harta pailit.
Berdasarkan jurisprudensi terdapat karakteristik dalam action pauliana, Pertama, actio pauliana memiliki jangkauan yang luas, bahkan mencakup aset-aset yang berstatus harta bersama dalam perkawinan jika terbukti ada upaya pengalihan yang merugikan. Kedua, putusan MA No. 560 K/Pdt.Sus-Pailit/2021 secara tegas menunjukkan bahwa pemenuhan syarat materiil saja tidak cukup. Masalah prosedural, seperti ketidaklengkapan pihak (plurium litis consortium), dapat membatalkan gugatan meskipun substansinya kuat.
Penutup
Actio pauliana adalah instrumen hukum yang esensial dan efektif dalam sistem hukum perdata dan kepailitan di Indonesia. Keberadaannya memberikan perlindungan bagi kreditur dengan menyediakan mekanisme untuk membatalkan perbuatan curang yang dilakukan oleh debitur untuk menghindari tanggung jawab.
Referensi
Fuady, Munir. (2002). Hukum Kepailitan. Bandung: Citra Aditya Bhakti.
Ginting, Elyta Ras. (2018). Hukum Kepailitan: Teori Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika.
Haryanto, Hendra dkk. Actio Pauliana Sebagai Upaya Kurator Dalam Kepailitan. Binamulia Hukum, 10 (1), 2021.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Maha, H., & Lubis, S. D. Analisis Yuridis Actio Pauliana terhadap Penyitaan Boedel Pailit (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 560 K/Pdt.Sus-Pailit/2021). UNES Law Review 6 (1), 2023.
Sjahdeini, Sutan Remy. (2005). Hukum Pailit Dalam Teori Dan Praktek (Edisi Revisi Disesuaikan Dengan UU No. 37 Tahun 2004). Bandung: Citra Aditya Bakti.
Syahrin, Alvi. Actio Pauliana Konsep Hukum dan Problematikanya. Jurnal Lex Librum 4 (1), 2017.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.